Suara bising kendaraan lewat membuat dia tidak mendengar jelas ucapan Tyta.
“Oh, enggak. Kubeli lain waktu saja ya ?”
Tyta mengembalikan soal ujian itu. Mengucapkan terima kasih lalu menancap gas berlalu dari sana.
***
Nurani. Kata itu terus menggedor pintu hati Tyta. Apakah menjadi seorang PNS berarti menumpulkan hati nurani ?
Tyta teringat kisah rekan kerja senior. Waktu itu atas nama iseng, dia ikut ujian penyeleksian Calon Pegawai Negeri Sipil. Tanpa disangka-sangka ternyata lulus tanpa sogok. Mereka semua terkejut karena karir dan posisi Ari lumayan mentereng di chart perusahaan, kok tiba-tiba dia membanting stir ‘turun’ grade dengan penempatan kerja di daerah terpencil pula. Meski ikut bahagia. Namun pilihan tepatkah itu ?
Ternyata keraguan sama dia alami. Namun kata orang the show must go on, jadi Ari pun tetap pada keputusannya.
Diawal menjadi PNS, Ari masih sering singgah ke kantor membawa oleh-oleh cerita seru untuk kami. Menyingkap tabir yang biasa kuping dengar sebagai rahasia umum seputar disiplin yang parah, capability dibawah ‘pengharapan’ dan undertable cases. Belum lagi tools kantor yang ‘jadul’. Dia mengaku shock dan susah beradaptasi dengan pola kerja berbanding terbalik dengan perusahaan swasta.
“Halah, lama-lama kau terbiasa jugalah. Masa kambing menolak ngembik,”kata seorang kawan sinis
Pembicaraan kami jadi kayak gossip infotainment yang semakin digosok makin sip. Ada yang bilang PNS itu kayak pengangguran berdasi. Tidak perlu capek kerja, tapi gaji jalan terus a.k.a gaji buta. Sudah gitu dapat gaji ke-13, ke-14 lagi. Yang lain komentar kerja mereka lambat, dicap pemalas. Karir aman bebas pecat. Begitu ‘soak’, uang pensiun cair. Katanya pelayan masyarakat tapi malah diservice masyarakat. Hingga akhirnya seorang kawan mengakhiri perdebatan ‘tradisi PNS’ itu dengan kata bijak :
“Buat kami bangga dengan menjadi dirimu sendiri. Karena kami tahu, kamu bukan orang semacam itu."