Mohon tunggu...
JENY KHAENI
JENY KHAENI Mohon Tunggu... karyawan swasta -

JENY KHAENI is a passionate reader who loves to write, creativity addicted, and an enthusiastic amateur photographer. She is working in shipping company. Follow her on twitter@JKHAENI

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

What If You Were Positive ?

1 September 2015   16:59 Diperbarui: 1 September 2015   16:59 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

“Kamu pasti bisa !” bisik Jessy menyemangati Namira.

Namira maju ke podium. Pelajar pindahan dari Nanyang School Singapore malam itu berbalut kaos putih dengan bawahan celana jeans berwarna navy blue. Ada pita merah tersemat didadanya. Remaja berusia 16 tahun itu terlihat kikuk. Menandakan dia bukanlah seorang pembicara yang terbiasa dengan situasi seperti itu. Dihadapan dia ada ratusan pasang mata memandang lurus ke arahnya dengan memegang lilin ditangan. Mereka sedang menanti dia berbicara.

Rembulan mengintip dibalik awan. Seakan tidak ingin melewatkan pemandangan dibawah Bumi Perkemahan Sibolangit malam itu. Cuaca Sibolangit yang sejuk menambah kegugupan Namira.

Namira menengok ke belakang, mencari Jessy, aktifis SAHIVA USU yang mengundangnya. Jessy tertarik pada isi blog Namira yang berisi HIV/AIDS awareness. Selipan kisah hidup remaja belia itu juga sangat menyentuhnya. Itu yang memutuskan Jessy selaku ketua panitia HAS menggandeng Namira mengisi acara peringatan Hari AIDS Sedunia.

Wajah yang dicari Namira pun ketemu. Jessy tersenyum sambil mengacungkan kedua jempol ke arahnya. Memberi kode tanda mulai.

“Selamat malam sahabatku semua.” akhirnya Namira membuka suara. Dia masih berupaya mengatasi kegugupannya.

“Saya bukanlah seorang pembicara profesional dan saya bukanlah pelengkap acara seremonial ini. Saya datang atas nama cinta dan bersuara atas derita yang didera oleh kawan-kawan yang sedang sekarat, para sahabat yang masih berjuang, para remaja yang menjadi korban, para bayi tanpa dosa yang terlahir dengan membawa virus ini ditubuhnya, para tenaga kesehatan yang terinfeksi, para yatim yang ditinggal mati oleh orang tuanya. Saya datang kemari untuk menyalakan lilin kasih dihati anda semua. Agar estafet cahaya ini tidak pernah padam."

“Anda tahu arti 1 Desember ?” tanya Namira ke audiens.

“Hari Aids Sedunia”, jawab seluruh suara kompak

“Kapan kasus AIDS pertama terindentifikasi ?”

“Tahun 1981 di Los Angeles, AS,’ jawab salah seorang mahasiswa

“Lalu apakah anda tahu makna pita merah ?”tanya Namira menunjuk pita yang tersemat di dadanya.

Seorang mahasiswi mengacungkan tangan dan menjawab.

“Pita merah merupakan symbol internasional dari AIDS Awareness yang ditujukan sebagai kepedulian terhadap HIV/AIDS. Pita merah lahir pada tahun 1991 sebagai kreasi dari visual Aids kota New York. Mereka ingin menemukan suatu tanda peringatan abadi dan menjadi symbol untuk mempersatukan semua pihak di seluruh dunia agar peduli terhadap penyebaran AIDS. Memberikan dukungan kepada ODHA dan orang –orang yang meninggal dunia akibat korban HIV/AIDS dan mereka yang merawat ODHA”

“Sekarang katakan kepada saya berapa kali anda telah melewati bulan desember?”

“19, 22, 24… 26 …..” jawab audiens dari berbagai arah.

“Anda sangat beruntung. Masih ada desember berikutnya menanti. Bersyukur dan bersuka citalah. Tapi tidak papaku, Aditya. Desember tidak akan pernah datang lagi untuknya. Juga bulan-bulan yang lain.” mata Namira berkaca-kaca.

“Dia meninggal di bulan April. Tepat setelah 4 bulan pemeriksaan tidak sengaja pertamanya.”suara Namira bergetar.

“Saat itu keluhan papa adalah dada sesak dengan sakit tak terperikan. Mama curiga terkena radang paru-paru. Setelah diperiksa, ternyata paru-paru papa sudah bolong, ginjal sebelah kanan rusak dan tidak berfungsi. Sistem imunitas tubuh sudah tidak mampu memproteksi dirinya. Hasil pemeriksaan menunjukkan jumlah virus HIV dalam tubuh teramat banyak dan berkembang ke fase AIDS. Dalam kurun waktu itu, papa sama sekali tidak mengetahui tubuhnya penuh dengan virus.

“Dan…dan…” suara Namira tercekat.

“Ternyata mama ikut tertular. Dia HIV positif. Adikku, Cecil juga tertular,” air mata Namira jatuh mengalir dipipinya. Luka itu begitu jelas di raut wajah Namira. Perih dan pedih mengiris hati.

Dulu bagi Namira, HIV/AIDS awareness hanyalah iklan semata di TV. Lebih mirip seremonial belaka pemandangan yang dia lihat saat perjalanan pulang dari sekolah. Para aktifis membagi bunga mawar kepada para pengendara mobil yang lewat sambil berlong march menuju Lapangan Merdeka hanya membuat jalanan macet. Dia begitu jengkel karena harus terlambat pulang kerumah. Meski begitu, dia tetap membuka kaca mobil dan menerima bunga mawar itu sambil tersenyum saat mobil yang membawanya terjebak diantara kerumunan massa. Dia tidak pernah menyangka keadaan akan memaksanya untuk menerima kenyataan pahit yang dia alami sekarang. Sebuah jalan dan pilihan yang bisa dirubah dari awal bila kita benar-benar aware.

Papanya, Aditya adalah seorang pengusaha kayu. Mamanya, Clarissa Mahadewi adalah seorang ibu dan istri yang bijak dan selalu memperhatikan kebutuhan rumah tangga. Keluarga mereka begitu bahagia. Benar-benar tampilan keluarga idaman dan harmonis yang selalu dipuji. Paling tidak itulah kenangan indah yang terukir dihatinya sebelum kemudian Namira dipindahkan ke Singapura untuk melanjutkan studinya pada usia 8 tahun.

Di Singapura, Namira tinggal dengan Tante Siska, adik mama dan Om Ari yang tidak memiliki anak. Setahun sejak kepindahan, bila dia telepon pulang kerumah, sering terdengar suara tengkar papa mamanya. Lalu telepon tiba-tiba diputus. Namira masih terlalu kecil untuk memahami kejadian itu lalu diapun bertanya kepada tante Siska. Tante Siska hanya bilang beda pendapat lalu bertengkar, itu wajar saja bagi pasangan menikah. Begitu juga papa mamanya.

Tante siska meminta Namira fokus pada studinya dan jangan berpikiran aneh-aneh. Namira menuruti. Dia pun jarang pulang ke Medan. Ada saja alasan Tante Siska untuk menahan dia di Singapura. Dia baru pulang saat menyambut kelahiran adiknya, Cecil. Dan ketika menerima berita tentang kondisi papanya yang tengah sekarat karena radang paru-paru tahun lalu.

“Mamaku, Clarissa Mahadewi adalah perempuan hebat yang pernah kukenal. Dia begitu tegar dan kuat.”lanjut Namira.

“Saya baru mengetahui luka batin yang diderita mama lewat catatan yang tak sengaja kutemukan di lemari pakaian mama tepat mengenang 1 tahun kematian kematian papa. Sebuah kebenaran yang selama ini disembunyikan dariku,” ucap Namira menghapus air matanya.

Dia mengeluarkan sebuah buku bercover kain flannel dengan judul CATATAN HATI SEORANG ISTRI. Itu adalah diari mama. Diari itu masih tampak baru dan hanya beberapa lembar yang tertulis.

Namira membuka lembaran pertama dan mulai membaca di hadapan audiens.

Apa lagi yang tersisa hari ini kecuali nafas yang masih berembus ?

Tuhan, izinkan aku berarti dalam sisa nafas ini untuk semua orang yang kucintai di dunia ini agar tiada penyesalan membayangi saat aku melangkah menuju rumah-MU. Karena hidup hanyalah serangkaian kisah-kisah. Hidup akan terus berlanjut, meski ada atau tidaknya aku. Tapi biarkan kisah ini terus hidup demi kebahagiaan orang-orang.

Aditya semakin berubah sejak bisnis usaha kayunya sepi karena isu illegal logging. Dia selalu pulang larut, mulutnya kerap tercium bau alkohol juga ada bekas lipstick kutemukan di kerah baju.

Pertengkaran-pertengkaran makin kerap terjadi. Dari cerita salah seorang rekan bisnis yang bersimpati, aku diberitahu Aditya memiliki perempuan simpanan, seorang wanita penghibur yang sering ia kencani. Itu bukan yang pertama kali. Sebelumnya ada juga wanita lain yang digosipkan berkencan dengan Aditya. Namun Aditya selalu berkelit mereka hanyalah rekan bisnis, tidak ada hubungan khusus.

Aib ini kusimpan sendiri. Hanya Siska yang mengetahui. Keadaan membuatku

mengambil keputusan agar dia menahan Namira lebih lama di Singapura. Aku tidak ingin Namira mengetahui hal ini. Meski perih dihati dan harga diri tercabik-cabik. Aku bersabar dalam ujian. Semua kulakukan demi Namira. Aku tidak ingin dia merasakan pahit yang kurasakan seperti saat mahligai pernikahan orang tuaku mengalami kegagalan. Aku ingin dia tumbuh dalam cinta keluarga utuh. Cinta adalah satu-satunya jalan menuju gerbang kebahagiaan. Aku yakin Siska dan suaminya akan melimpahi dia dengan kasih sayang. Kegigihan ini lalu berbuah manis. Aditya kembali kesisiku. Kucoba melupakan apa yang telah berlalu, lalu bangkit dan bangun kembali masa depan. Itu yang ada dalam benakku.

Ternyata aku mengandung. Kupikir memberikan adik untuk Namira akan memperbaiki hubungan kami. Ternyata benar. Hubunganku dengan Aditya makin mesra dari hari ke hari. Tapi kebahagiaan ini tidak bertahan lama. Aku terhempas lagi kedalam jurang derita. Kali ini lebih gelap dan tidak berujung. Aditya didiagnosa mengidap AIDS. Nafasku terasa berhenti seketika saat mengetahui. Hatiku benar-benar hancur. Keyakinanku roboh. Apa arti perjuanganku ? Kenapa hidup tidak adil padaku ?

Oh, mengapa dunia begitu kejam sekali ?

Namira melanjutkan membaca halaman berikutnya. Air matanya kembali jatuh.

AKU TANPAMU

Ternyata aku juga tertular. HIV Positif ! Berita ini segera menyebar. Semua tetangga menjauh dan jelas-jelas memusuhiku. Bahkan keluarga suami juga menyingkir dan bersikap sinis. Beratnya beban kehidupan membuatku memutuskan mengungsi Cecil kerumah mama. Aku harus merelakan Cecil diasuh mama, meski hati menolak.

Tinggal berdua dibawah atap yang sama, aku dan Aditya saling menguatkan diri. Kerinduan pada anak-anak sangat menyesakkan dada. Getir dan hampa terasa. Aku mencoba bangkit dalam sisa keyakinan yang ada. Meski masa depan terlihat sangat gelap dimataku. Untung masih ada Mama dan adik-adikku kerap berkunjung dan terus menghibur.

Kondisi Aditya makin hari makin drop. Dia semakin lemah. Tidak bisa lagi berjalan. Kemampuan berbicara juga mengalami gangguan. Dia lebih banyak termenung dan diam di dalam kamar. Aku terpaksa mengambil alih bisnisnya. Mengesampingkan kondisiku sendiri. Bagiku, Namira dan Cecil adalah tujuan hidupku sekarang. Aku harus bangkit dan memikirkan masa depan mereka. Lagipula ada banyak karyawan yang hidupnya juga bergantung pada bisnis ini. Akan lebih banyak

lagi kesedihan bila usaha ini tidak berlanjut.

Penyesalan yang membelenggu jiwa Aditya membuat dia lebih cepat meninggalkanku. Dia meninggal 4 bulan tepat setelah pemeriksaan pertamanya.

Sejak didiagnosa, Aditya memang menolak pengobatan lebih lanjut. Dia merasa hidupnya tidak lama lagi. Dia ingin seluruh tabungannya dipakai untuk pengobatan saya dan keperluan masa depan anak-anaknya.

Aditya merasa sangat bersalah dan menyesal. Aditya bahkan meninggal tanpa mengetahui Cecil juga ternyata tertular. Aku sengaja merahasiakan ini darinya. Aku tidak ingin dia lebih terbebani lagi oleh perasaan bersalah kepada Cecil. Diakhir nafasnya, dia hanya bisa mengucap sebuah kata “MAAF” sebelum ia pergi untuk selamanya.

Namira meneruskan membaca halaman berikutnya. Suaranya sesak oleh isak tangis.

Kesedihanku belum berakhir. Usai pemakaman, aku diusir keluar oleh keluarga suamiku. Mereka memintaku menyerahkan harta Aditya dan mengusirku keluar dari rumah. Mereka bahkan tidak mau mengerti masih ada 2 anak-anakku yang harus kuhidupi. Aku seperti seonggok mayat hidup dimata mereka dan perempuan kotor yang pantas dilecehkan. Oh, Tuhan! Biarkan aku memiliki lebih banyak cinta dihati untuk menghadapi semua ini. Jangan biarkan kebencianku tumbuh pada orang-orang yang melukaiku.

Meski virus ini menggerogoti tubuhku. Aku masih bertahan dalam nafas hari ini. Aku meneruskan bisnis suami dengan bantuan modal dari mama. Bukan hanya lelah batin tapi fisikku dari hari ke hari juga semakin melemah. Cecil luput dari perhatianku. Ketika kuperiksakan Cecil, ternyata dia juga membawa HIV. Aku begitu terpukul. Perasaanku hancur. Cecil mungil itu harus ikut menanggung derita ini diusianya yang masih kecil. Aku lalu meminta kembali mengasuhnya sendiri selain tidak ingin merepotkan mama.

Walaupun hidup seratus tahun lamanya, adalah lebih baik hidup sehari namun penuh arti, penuh syukur dan tiada menyesal. Dan sekarang aku hanya bisa berpasrah. Saat waktu didunia telah usai. Siap atau tidak. Kita akan melanjutkan perjalanan ke tempat lain. Masalahnya hanya kapan, dimana dan bagaimana. Waktu tidak lagi merisaukanku. Aku hanya merisaukan masa depan Namira dan Cecil.

Namira menutup diari lalu menghapus airmatanya. Dia begitu terpukul saat pertama kali menemukan diari mama. Dia lebih marah lagi ketika mengetahui kebenaran jelek mengenai papanya.

“Sahabatku, begitu sulitkah untuk terus mencintai pasanganmu ? begitu sukarkah untuk tetap setia pada pasangan hidup ? Hidup selalu memberikan kita pilihan. Hidup tidak pernah memberikan kebuntuan diakhir jalan. Dan hidupku saat ini juga memberiku pilihan untuk tetap berada dalam kebencian terhadap pria yang menyebabkan penderitaan pada mama dan adikku atau memaafkannya karena dia juga adalah korban. Korban dari keignoran akan bahaya penyakit ini.

Diluar sana ada banyak Aditya lainnya, ada lebih banyak Clarissa dan Namira seperti saya. Mereka semua berjuang dalam kesendirian. Karena masyarakat selalu memandang sinis. Kepedulian kita terhadap mereka pudar secepat layunya bunga mawar. Akankah anda akan bersikap serupa dan memadamkan lilin kehidupan mereka dengan sikap sinis seperti itu ? Kita semua dapat tertular HIV/AIDS, namun kita juga mencegah HIV/AIDS demi kelangsungan hidup bangsa. Demi masa depan generasi mendatang.

Hidup adalah pilihan. Pilihan untuk setia kepada pasangan. Pilihan untuk memakai kondom sebagai pencegahan penyakit menular seksual. Pilihan berprilaku lurus sesuai moral agama. Sekarang saya sedang menyalakan estafet api lilin itu. Tergantung apakah anda akan meneruskan api itu atau memadamkannya. Dan Andalah yang menentukannya. Dan pilihan itu ada ditangan anda sekalian. ”

Namira turun dari podium. Audien berdiri sambil memberikan tepuk tangan panjang untuknya. Namira menuju belakang tenda. Jessy langsung menghambur memeluknya. Masih ada sisa air mata dipipinya. Mereka saling berpelukan seperti kakak beradik. Sayup-sayup terdengar mereka sedang menyanyikan lagu We are The Worldnya Michael Jackson sambil menyalakan satu persatu lilin tersebut.

Tiba-tiba Namira dikejutkan suara panggilan seorang wanita. Dia langsung menoleh dan melepaskan pelukan.

“Mama? ”

Ternyata mama menyaksikan penampilan Namira malam itu di belakang tenda. Mata mama tampak sembab tanda dia baru saja menangis. Juga terlihat lelah mengarungi samudera kehidupan. Dia tampak tua sekali dalam usia 48 tahun.

Tante Siska mendorong kursi roda Clarissa. Clarissa mengalami cedera pada tulang belakang beberapa bulan lalu saat terjatuh dari tangga rumahnya mengakibatkan dia lumpuh permanen.

Namira menghambur memeluk mamanya. Air mata tak kuasa ditahan lagi. Sesak rindu mengelayut jiwanya.

“Maafkan mama telah menyembunyikan kebenaran ini darimu. Mama takut kamu tidak akan sanggup menghadapinya. Mama sangat menyesal, mama…

Namira menghentikan ucapan mama dengan menutup jari telunjuk di bibir mamanya. Bukan kata maaf yang ia ingin dengar. Pun bukan kata-kata penyesalan. Meski dia sukar memahami cara berpikir orang dewasa. Tapi Namira mencoba memahami alasan mamanya.

“Aku mencintaimu, Ma. Apapun kondisi mama. Namira juga telah memaafkan papa, meski tidak mudah pada awalnya. Namira hanya ingin bersama mama.”

Clarissa sadar telah berlaku tidak adil pada Namira karena kondisinya. Hanya karena dia tidak ingin Namira melewatkan masa indah remaja untuk mengurusi hidupnya yang tidak lama lagi dan terbebani oleh Cecil. Clarissa lupa Namira juga butuh kasih sayang.

Malam itu Clarissa baru menyadari, Namira telah memilih warna putih dalam kelamnya kehidupan. Clarissa bisa melihat lilin itu telah bersinar dihati Namira. Menyebarkan kasih yang tiada putus lewat cahayanya. Membagi cahaya kepada orang lain demi kebahagiaan banyak orang.

Clarissa tersenyum.

“Namira, maukah kamu menciptakan lebih banyak kebahagiaan bersama mama dan Cecil dalam sisa waktu yang masih kami miliki ?

“Maksud mama tinggal kembali bersama mama dan Cecil ?” Namira kuatir salah memahami maksud mama. Sudah lama dia mengimpikan berkumpul kembali dengan keluarganya.

“Ya.”Mama mengangguk.

Namira bersorak gembira. Rasa tak percaya apa yang baru didengarnya membuat dia menunggu respon persetujuan Tante Siska yang selama ini mengasuhnya.

Tante Siska menggangguk tersenyum.

“Tante dan Om Ari telah membeli rumah baru di Malibu. Om Ari akan segera mengurus kepindahan setelah urusan bisnis di Singapura selesai. Bukan hanya Namira boleh tinggal bersama mama dan Cecil kembali tapi tante dan Om juga akan tinggal bersama kalian. Kami menguatirkan kondisi mama. Dengan adanya om dan tante, kami bisa mengurus mama sekalian juga mengasuh kamu dan Cecil.”

“Benarkah?” Namira mencari jawaban di mata mama.

Mama mengangguk.

“Oh, terima kasih, Ma. Terima kasih, Tante Siska. Aku bahagia sekali”

Namira tersenyum disela derai airmata bahagia.

Jessy ikut terharu menyaksikan akhirnya keluarga itu bisa berkumpul kembali. Meski tantangan hidup akan terus mencobai Namira. Tapi Jessy yakin Namira akan tumbuh setegar mamanya. Lilin kasih dihatinya tidak akan pernah padam. Sebagian orang mungkin menganggap cerita ini hanyalah drama kehidupan yang perlu diratapi. Sebagian lagi mungkin hanya hanyut sepintas lalu lupa begitu usai acara ini.

Jessy tersenyum.

Ah, bukankah hidup memang sebuah pilihan. So, What if you were positive ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun