Di manapun kita berada dan beraktivitas untuk menjalani kehidupan, sesungguhnya tak terlepas dari apa yang dinamakan interaksi sosial, berkomunikasi dan berbagi info sehingga diharapkan mendorong terjadinya proses perubahan menjadi lebih baik di kemudian hari.
Baik di lingkungan kerja/perkantoran, perusahaan, atau di tempat-tempat manusia berkarya -- maka setiap saat pastinya interaksi antarunsur yang terlibat kerja sama akan saling berbagi pengalaman sesuai tugas dan fungsinya, yang pada gilirannya membuahkan hasil berupa harapan bersama.
Tak terkecuali di lingkup terkecilpun seperti di lingkungan rumah atau tempat tinggal kita masing-masing seringkali dalam situasi tertentu membutuhkan bantuan orang lain. Membangun, memperbaiki rumah, membetulkan/mengembangkan bagian rumah agar menjadi lebih layak dan nyaman dihuni -- tentunya memerlukan tenaga sesuai kompetensinya.
Kebetulan sejak beberapa minggu lalu di lingkungan tempat tinggalku, sejumlah tukang batu ada 2 orang dan 3 tukang kayu, semuanya bekerja mengerjakan bangunan tambahan untuk ruang tamu plus satu kamar di halaman sebelah rumah induk.
Mereka rutin bekerja saban hari sesuai rencana. Adapun waktu kerja mereka yaitu masuk pukul 8 pagi pulang pukul 4 sore, khusus hari Minggu libur. Kini apa yang mereka kerjangan hampir usai, sekitar 80 persen sudah tercapai, tinggal finishing, cat, sambungan saluran air, instalasi listrik, pembenahan gawang dan daun pintu, tralis jendela, pasang keramik lantai, serta beberapa ornamen seperlunya.
Dalam perjalanan aktivitasnya, semua pekerjaan para tukang tersebut memang tak selalu berlangsung sempurna atau berjalan mulus. Bongkar pasang juga terjadi, terutama atas pertimbangan dampak termasuk estetika terkait bangunan induk/sekitar sehingga perlu perubahan/penyesuaian di sana-sini.
Mengingat para pekerjan tersebut yang notabene bukan sarjana teknik bangunan, pun bukan sarjana arsitektur, namun pengalaman puluhan tahun secara otodidak yang mereka lakukan cukuplah layak disewa/dibayar tenaga sesuai keterampilan yang dimilikinya.
Banyak suka duka, atau menurut istilah saya anggap saja sebagai "seni merevisi bentuk bangunan/pembenahan teknis" dan bongkar pasang menjadi risiko sehingga pekerjaan walau sedikit terhambat demi perbaikan namun tetap berlangsung sesuai rencana.
Barang tentu langkah merevisi bangunan ini memerlukan pemikiran ulang, menyesuaikan konsep baru sebagai pembenahan/pengembangan yang perlu didiskusikan bersama.
Berdiskusi atau berkomunikasi untuk mengutarakan maksud kepada para tukang/pekerja di lingkungan rumah tentunya memerlukan pendekatan tersendiri, setidaknya layak mempertimbangkan sikon dan timing yang pas.
Artinya tidaklah disampaikan secara ngasal, alias asal nyinyir jika tak sesuai harapan, apalagi terkesan arogan, sehingga sebagai pihak yang membayar seolah menganut istilah "pembeli adalah raja."
Hal demikian boleh saja, di era yang cenderung semakin sekuler seperti sekarang, seringkali orang melalaikan etika, mentang-mentang bisa membayar/membeli, lantas arogan bak raja di zaman beheula (yang selalu merasa paling benar, menangan sendiri).
"Pembeli adalah raja" sesungguhnya mengandung arti positif bilamana dimaknai bahwa pelayanan (sesuai harapan/kepuasan pembeli) perlu diutamakan. Saya pun sepakat dengan makna ini, tetapi kalau saya pribadi ingin menjadi pembeli atau raja yang bijak, alias tidak sewenang-wenang, apalagi terkesan semau gue.
Nah, kembali pada persoalan berkomunikasi dengan para pekerja di rumahan tersebut memang nampak sepele, bahkan ada beberapa kalangan sering menganggap tak penting sehingga kerap diremehkan.
Pada hal penyampaian pesan untuk mengutarakan maksud sekaligus sebagai langkah pengawasan dan evaluasi ini penting agar terbangun kerangka pikir serta kehendak yang sama dalam rangka menyelesaikan pekerjaan yang sedang dilakukan.
Barang tentu seperti telah diungkap bahwa bongkar pasang bagian bangunan agar tampak lebih artistik merupakan "seni merevisi bentuk bangunan" bisa saja terjadi. Misalnya salah ukuran, keliru dalam tata letak seiring perencanaan dinamis yang suatu ketika dapat berubah sambil berjalan, menyesuaikan sikon, pastinya ini dapat dibilang wajar saja tanpa harus menuding kesalahan pekerja.
Melalui pendekatan persuasif dan berbincang secara manusiawi kepada pekerja, maka segala kekeliruan dapat diatasi tanpa harus ada yang merasa direndahkan. Cara demikian layak dilakukan sehingga motivasi dan semangat kerja yang sudah tertanam sejak awal jangan sampai mengendur.
Perlunya berbincang empatik, juga mempertimbangkan bahwa apapun komunikasi yang dilakukan -- tentunya akan selalu berdampak. Bisa berdampak secara fisik maupun berdampak psikhis atau psikologis.
Itu sebabnya dalam melancarkan komunikasi antarmanusia, termasuk dengan para pekerja di lingkungan rumah - betapa perlunya memahami aspek psikologi yang melingkupinya.Â
Psikologi komunikasi di sini menjadi penting dipahami karena dalam interaksi antara manusia satu dengan lainnya, terutama pada diri komunikan yang memiliki karakteristik beragam, dan dipengaruhi faktor internal maupun eksternal sehingga akan turut membentuk sikap/perilaku ketika melangsungkan komunikasinya.
Dalam praktik di lapangan, komunikasi itu sendiri sesungguhnya merupakan proses peristiwa psikologis (aspek mental) yang tak terlepas dari masing-masing orang yang berinteraksi manakala membincang ide/gagasan pendapat/opini, pemikiran, sekaligus melibatkan perasaan.
Di sinilah ternyata perasaan tak bisa diabaikan, bahkan jika ditelusuri lebih jauh bahwa bahasa sebagai sarana berkomunikasi, di dalamnya juga mengandung koneksi rasa sesuai adat maupun budaya sebagai "orang timur" yang lekat dengan kesantunan dan estetika.
Karena itu pula ide/gagasan, pendapat maupun pemikiran perlu dikendalikan agar tak menyinggung (baca: melukai) perasaan orang lain atau yang terlibat dalam proses interaksi tersebut.
Demikian halnya berkomunikasi (tatap muka) dengan para pekerja di lingkungan rumah cq. dengan para tukang layak pula memahami karakter mereka ketika melangsungkan komunikasi dengannya.
Sekali lagi, tak ada ruginya bersambung rasa dengan pekerja di lingkungan rumah, sehingga apa yang kita utarakan dapat saling dimengerti untuk mencapai maksud dan tujuan yang sama tanpa harus mengorbankan perasaan satu sama lain.
Memerhatikan dan menjaga perasaan orang lain dalam praktik komunikasi menjadi penting, karena dalam hal ini sama dengan mengasah/melatih olah batin, berkomunikasi dan bersambung rasa menjadi pilihan seiring dengan empati yang melekat di dalamnya.
By the way, tulisan ini tak hendak bermaksud menggurui. Hanya sekadar berbagi cerita, juga mengingatkan bahwa berempati dan bersambung rasa terhadap sesama termasuk dalam berkomunikasi antarmanusia menjadikan langkah/pilihan bijak agar dalam menjalani hidup dan kehidupan kita di manapun dapat berlangsung harmonis, dinamis, tanpa mengundang konflik batin/kejiwaan untuk mencapai harapan bersama.
Beberapa hal positif yang dapat dipetik manakala kita menerapkan kehidupan yang berempati sekaligus bersambung rasa, di antaranya:
Menjunjung nilai sosial budaya, berkemanusiaan, damai dan akan selalu terjalin relasi berkelanjutan atau berjangka panjang.
Berkomunikasi sambung rasa tanpa meninggalkan sapa, salam, senyum, santun, tidak melupakan perkataan terima kasih, maaf, dan minta tolong (bukan menyuruh) disertai sikap rendah hati, nada suara dan pilihan kata yang adem merupakan bagian dari soft skill yang layak dimiliki ketika berelasi antarsesama.
Di samping itu, memahami dan menjaga perasaan orang lain, akan melatih seseorang selalu berpikir sebelum bertindak (sensor diri), meminimalisir dampak negatif yang kemungkinan timbul.
Perlunya bersambung rasa dengan para pekerja di lingkungan rumah juga melatih hidup secara sistemik, di mana antarunsur yang terlibat di dalamnya selalu bersinergi untuk mencapai tujuan sesuai rencana.
Demikian sekadar berbagi cerita, Lur! Semoga memberi nilai tambah, tak lupa salamku dan have a nice weekend.
JM (16-9-2023).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H