Di sinilah ternyata perasaan tak bisa diabaikan, bahkan jika ditelusuri lebih jauh bahwa bahasa sebagai sarana berkomunikasi, di dalamnya juga mengandung koneksi rasa sesuai adat maupun budaya sebagai "orang timur" yang lekat dengan kesantunan dan estetika.
Karena itu pula ide/gagasan, pendapat maupun pemikiran perlu dikendalikan agar tak menyinggung (baca: melukai) perasaan orang lain atau yang terlibat dalam proses interaksi tersebut.
Demikian halnya berkomunikasi (tatap muka) dengan para pekerja di lingkungan rumah cq. dengan para tukang layak pula memahami karakter mereka ketika melangsungkan komunikasi dengannya.
Sekali lagi, tak ada ruginya bersambung rasa dengan pekerja di lingkungan rumah, sehingga apa yang kita utarakan dapat saling dimengerti untuk mencapai maksud dan tujuan yang sama tanpa harus mengorbankan perasaan satu sama lain.
Memerhatikan dan menjaga perasaan orang lain dalam praktik komunikasi menjadi penting, karena dalam hal ini sama dengan mengasah/melatih olah batin, berkomunikasi dan bersambung rasa menjadi pilihan seiring dengan empati yang melekat di dalamnya.
By the way, tulisan ini tak hendak bermaksud menggurui. Hanya sekadar berbagi cerita, juga mengingatkan bahwa berempati dan bersambung rasa terhadap sesama termasuk dalam berkomunikasi antarmanusia menjadikan langkah/pilihan bijak agar dalam menjalani hidup dan kehidupan kita di manapun dapat berlangsung harmonis, dinamis, tanpa mengundang konflik batin/kejiwaan untuk mencapai harapan bersama.
Beberapa hal positif yang dapat dipetik manakala kita menerapkan kehidupan yang berempati sekaligus bersambung rasa, di antaranya: