Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tanaman Pisang, Pererat Hubungan Sosial Antarsesama

15 Juli 2023   21:49 Diperbarui: 16 Juli 2023   16:37 2116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pisang, salah satu tanaman/tumbuhan berbatang lunak ditemui di hampir setiap wilayah negeri ini. Di samping manfaat buahnya yang banyak mengandung vitamin (A) juga tanaman ini berfungsi untuk penghijauan.

Demikian pula jenisnya yang beragam, kegunaan tanaman yang tumbuh bergerombol (beranak pinak) ini banyak memberi manfaat bagi keperluan rumah tangga, sosial, pendidikan, bahkan ikut menunjang usaha/bisnis, di samping berguna untuk pelestarian sumberdaya alam sekitarnya.

Mengingat tumbuhan ini tergolong mudah ditanam karena perawatannya hanya di awal, cukup beberapa kali dipupuk, bisa berkembang biak dan hanya butuh tanah agak lembab, disusul perhatian seperlunya, berbunga kemudian berbuah -- maka saya pun ikut menanamnya.

Jujur saja, tulisan ini sesungguhnya terinspirasi dari konten-konten yang telah tayang di Kompasiana bahwa topik perpisangan banyak diulas, dieksplorasi dari berbagai sudut pandang sehingga saking seringnya diterpa info tersebut, saya pun tergugah untuk menulis dari sudut pandang dan pengalaman pribadi yang berbeda.

Perlu diketahui bahwa tanaman atau pohon pisang yang hingga kini tumbuh berkembang di pekarangan belakang hanya dua jenis, yaitu pisang raja dan pisang kepok. Pisang raja berkembang biak di lahan tengah, sedangkan pisang kepok tumbuh beranak pinak/bergerombol agak di pinggiran batas tembok belakang.

Sudah sekitar lima tahun lebih kedua tanaman ini tumbuh, beranak pinak, berbunga dan beberapa kali dipanen buahnya untuk dibagikan/dinikmati bersama keluarga serta kolega.

Lumayan kan? Dari hobi ini hasil buahnya dapat dikonsumsi bareng, menambah asupan gizi cq. vitamin asli dari tanaman pisang atas kegiatan ekstra berkebun sendiri.

Oh ya, seringkali dalam lingkungan keluarga saya, dari panen buah pisang Kepok ini ketika belum terlalu matang kemudian direbus terus siap disantap/dikonsumsi. Sedangkan untuk jenis buah pisang raja biasanya dikonsumsi setelah matang, atau kadang menjadi kudapan dalam sajian pisang goreng, rasanya agak manis-manis legit.

Kendala Perlu Diperhatikan

Nah, kembali pada proses tanam-menanam pohon pisang di pekarangan ini ternyata ada beberapa pengalaman yang bisa dipetik.

Di samping banyak memberikan suasana suka, lingkungan hijau, dan telah pula memberikan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan karena berdampak terhadap kondisi sekitar.

Seperti halnya sebatang pohon pisang kepok yang tumbuh subur ternyata sempat menimbulkan masalah tersendiri. Tidak lebih jika hal demikian dapat dibilang sebagai kendala sehingga tidak pantas dibiarkan, perlu segera disikapi melalui penanganan yang memadai.

Persoalannya, sebatang pohon pisang yang tumbuh subur dekat pagar tembok belakang tumbuh, berbunga, dan condong ke arah luar melampaui batas tembok berketinggian 4,5 meter -- sehingga buahnya pun menjulur masuk wilayah tetangga belakang rumah.

Melihat fenomena ini, saya pun sempat kaget mengingat beberapa waktu kurang kontrol. Saya pun spontan dan langsung ambil tangga untuk naik serta menarik bagian atas pohon agar jangan memasuki wilayah orang lain/tetangga.

Namun apa boleh dikata, upaya tersebut ternyata gagal, pohon terlanjur tumbuh subur, kokoh seolah tak mau lagi diarahkan dan akhirnya saya menyerah, hingga bunga pisang berkembang menjadi bakal buah.

Mengetahui kendala yang telah saya lakukan tersebut, sontak semua anggota keluarga ikut merespons. Bahkan rerata mereka mengatakan bahwa kita (saya) dinyatakan bersalah, disebutkan mereka bahwa kita telah melanggar batas wilayah/pekarangan milik orang lain.

Bagaimanapun, saya tanggap dan menghargai pendapat mereka, bahkan sempat tergugah untuk segera menebang pohon pisang yang tumbuh "nakal" tersebut supaya tidak mengganggu wilayah tetangga sebelah.

Pikir punya pikir, semalaman pas menjelang bulan puasa saat itu (Maret 2023) dalam suasana hati dan perasaan tenang berfokus menghadapi kendala ini, sampai akhirnya saya pun mencoba mencari langkah lain yang mungkin bisa menjadi opsi, mencari "jalan damai" yang tak saling merugikan.

Dalam bayangan pikiran pun selalu berkecamuk, dalam benak saya pun berandai-andai, berimajinasi. "Jika ditebang, sayang sekali karena sudah terlanjur tumbuh subur dan mulai berbuah. Namun jika tetangga belakang rumah itu misalnya ngotot harus ditebang, ya apa boleh buat harus saya lakukan."

Namun saya merasa yakin, bahwa persoalan sosial/kehidupan bertetangga seperti ini tidaklah harus diselesaikan melalui cara normatif, walaupun secara hukum dapat dibilang saya salah, tetapi kan tidak mengganggu banyak orang?

Nah, sebelum masalah membesar menjadi gunjingan orang kampung, tak segan persoalan kecil yang masih mengganjal ini saya coba terapi sekaligus sebagai pilihan solusi dengan maksud/tujuan tidak ada pihak yang merasa rugi atau dirugikan.

Berbekal percaya diri, niatan baik, dan berupaya memahamkan masalah yang saya hadapi yaitu dengan mendatangi tetangga belakang rumah (sebut namanya: Pak Yanto), yang sebagian pekarangannya "telah dimasuki pohon pisang nakalku." 

(Foto: dokumentasi pribadi)
(Foto: dokumentasi pribadi)

Pas di sore hari saat awal bulan puasa Maret 2023 lalu, ketika Pak Yanto usai pulang dari kegiatannya, kebetulan didampingi istrinya saya pun datang, saling berjabat tangan, mengenalkan diri, mengutarakan maksud kedatangan tanpa melupakan permintaan maaf karena posisi saya dalam hal ini salah.

Nah, wajah keduanya (Pak Yanto dan istri) berikut tetangga samping rumahnya kebetulan ikut mendengar percakapan saya, yang awalnya semua pada serius, lambat laun cair dan berubah menunjukkan senyum sambil membalas persoalan yang telah saya utarakan.

Dengan santainya beliau (Pak Yanto) menjawab: "Iya, beberapa hari lalu, pohon pisang itu koq semakin condong ke arah sini" dan lama-lama setelah berbunga/berbuah semakin doyong," ucapnya.

"Tapi ndak apa-apa, tidak mengganggu, dan biarkan saja sampai nanti siap dipanen," imbuhnya.

Nah lagi, dan lagi-lagi, betapa plong hati dan perasaan was-was yang tadinya saya kira tidak terjadi gayung bersambut, ternyata malah menunjukkan rasa empati seakan mengajak kita berdamai dalam persoalan gegara pohon pisang "nakal" tersebut.

Normatif, Ada Tempatnya

Berangkat dari peristiwa nyata ini, semakin meyakinkan dan menambah pengayaan pengalaman saya bahwa segala persoalan tidak selalu dapat digeneralisir dan harus/selalu diselesaikan secara normatif, atau hanya berlandaskan aturan perundangan yang resmi berlaku.

Itu sebabnya, kapan saatnya kita menyelesaikan masalah melalui pendekatan normatif (berdasar regulasi/aturan hukum) dan kapan kita melakukan pendekatan non-formal dalam perspektif kemasyarakatan dan kemanusiaan. 

Kecermatan plus kecerdasan dalam memahami konteks permasalahan merupakan pilihan bijak, masing-masing ada tempat dan waktunya.

By the way, hukum positif berdasarkan regulasi memang perlu, akan tetapi tidak semua masalah harus dipecahkan/diselesaikan melalui langkah tersebut. Langkah awal perlu dicoba, terutama masalah-masalah kecil/ringan yang tidak berdampak meluas termasuk masalah bertetangga -- ada kalanya dirampungkan melalui pendekatan komunikasi interpersonal yang berempati, sehingga terbangun sikap saling memahami, saling menghormati, dalam bingkai kekeluargaan.

Peristiwa ini sesungguhnya pun memberikan gambaran bahwa permasalahan sosial di lingkup lokal di sekeliling kita dapat ditempuh tanpa meninggalkan kearifannya yang sekaligus telah menjadikan budaya setempat.

Demikian halnya, kasus yang pernah saya alami di atas tidak lebih sebagai bagian dari upaya berpendekatan humanis, nguwongke uwong (memanusiakan manusia), saling memaafkan dan menolong, saling menabur kebaikan sehingga terbangun harmoni sosial serta semakin pererat hubungan sosial antarsesama.

Berdasar pengalaman tersebut, semakin memperkuat pemahaman saya bahwa relasi dengan warga sekitar dalam lingkup lokal layak terus ditumbuhkan, sehingga manakala terjadi masalah kehidupan sehari-hari tidak harus menyulut ketegangan lebih lanjut, bahkan viral di media.

Demikianlah sekadar cerita di akhir pekan ini, Lur! Walau artikel ini tergolong masalah kecil atau sepele namun jangan terbiasa disepelekan, karena jika salah pengendalian akan berdampak negatif, mengganggu kerukunan bertetangga.

Bersikap atau berperilaku bijak dalam mengelola kendala menjadi kendali secara proporsional tentunya sangat diharapkan demi menjaga kenyamanan hidup bersama warga di mana kita berada.

Selamat berakhir pekan, Lur!

JM (15-7-2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun