Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Menyoal Pemutusan Hubungan Kerja dan Pengangguran

1 Maret 2023   08:16 Diperbarui: 1 Maret 2023   18:16 2232
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gelombang PHK. (Sumber: KOMPAS/TOTO SIHONO) 

Isu (baca: persoalan) berkait ketenagakerjaan belakangan masih sering dibincangkan. Hal ini layak dan memang perlu mendapat perhatian mengingat banyak bersentuhan dengan kepentingan berbagai kalangan.

Sejak percepatan industri seiring era global yang sudah merambah ke segala bidang dan penjuru ditandai persaingan usaha yang semakin ketat, kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) pun banyak bermunculan.

Tak sedikit perusahaan mulai mengubah strategi usaha/bisnisnya, misalnya melakukan merger, penggabungan usaha, pengambilalihan (akuisisi), bahkan yang tidak mampu bertahan mengalami pailit, bisa pula pemberhentian karyawan terjadi karena force majeure (keadaan memaksa).

Salah satu dampak yang muncul akibat dari peristiwa tersebut di antaranya terjadi pemutusan hubungan kerja, artinya berakhirlah hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja dikarenakan hal tertentu, yang berarti pula berakhirnya hak serta kewajiban antara pemilik usaha/pengusaha dengan para pekerja/karyawannya (buruh).

Tentu saja hal demikian layak mendapat perhatian, terutama bagi mereka yang terkena PHK harus mencari lapangan kerja/pekerjaan baru yang memungkinkan untuk bertahan dalam melangsungkan kehidupannya. Bila tidak, maka terjadilah apa yang dinamakan pengangguran.

Berkait hal tersebut, berdasar data dari Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) yang tercatat hingga September 2022, jumlah tenaga kerja ter-PHK di Indonesia mencapai 10.765 orang. 

Dari 28 provinsi yang melaporkan, terbanyak terdapat di provinsi Banten sekitar 34,40 persen, paling sedikit tercatat di provinsi Sulawesi Barat yaitu sekitar 0,009 persen.

Dari sekilas data tersebut, sayangnya tidak dibarengi laporan tentang berapa jumlah orang yang terkena PHK dan kemudian mendapatkan pekerjaan baru, sehingga untuk sementara waktu para korban PHK dapat dikategorikan sebagai penganggur. 

Jumlahnya pun dapat diprediksi meningkat mengingat ini termasuk data dinamis, apalagi di tengah berlangsungnya era disrupsi ditandai pesatnya inovasi dan perubahan massif seperti halnya robotisasi akan mengubah pola lama menjadi pola baru yang menuntut langkah efisiensi.

Sementara itu, data dari Badan Pusat Statistik  (BPS) tercatat pada Agustus 2022 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 8,4 juta orang, atau mencapai 5,86 persen dari total angkatan kerja secara nasional. Disebutkan pula, terbanyak pengangguran berusia 20 s/d 24 tahun yaitu sebesar 2,54 juta orang.

Jika  orang ter-PHK dan pengangguran berdasar data tersebut dijumlahkan -- maka turut menunjukkan bahwa di tahun 2022 angkanya cukup tinggi, berarti pula orang yang tidak memiliki pekerjaan alias pengangguran di negeri ini cenderung meningkat jumlahnya.

Banyak pihak perduli terhadap persoalan ketenagakerjaan ini, beberapa kiat, tip dan trik sudah sering dikemukakan, bahkan berbagai aspek maupun sudut pandang serta pengalaman telah pula disampaikan melalui artikel/opini, setidaknya memberikan pilihan langkah untuk mengatasinya.

Tak terkecuali beberapa pekan terakhir, agenda setting di web-blog keroyokan ini di antaranya mengajak mereka yang menaruh minat atau berbagi pengalaman terkena PHK (terutama pekerja swasta) dan cara menghadapi masalah ekonomi setelah ter- PHK.

Saya sendiri sebagai orang awam (bukan ahlinya) dalam persoalan ketenagakerjaan tentunya ikut tergugah, setidaknya berempati untuk belajar memahami, dan mungkin bisa menyumbang secercah harapan menyangkut kasus PHK berikut langkah meminimalisir di kemudian hari.

Nah, menyoal PHK dan pengangguran ini ada dua pertanyaan penting yang layak dikemukakan, mengapa PHK masih/selalu terjadi dan bagaimana alternatif untuk mengatasinya.

Terhadap pertanyaan mengapa, barang tentu secara umum sudah disorot seperti pada awal tulisan ini. Namun di samping itu perlu diakui bahwa kebiasaan yang masih lekat sekaligus sebagai kelemahan masyarakat kita dalam hal cara memandang terhadap dunia kerja.

Kebanyakan orang selalu menunggu peluang dan ketergantungan pada struktur sosial (lembaga/institusi) yang menyediakan lapangan kerja. 

Kebiasaan menunggu peluang ini seolah berlangsung turun temurun sehingga jiwa kemandirian dalam usaha kurang tumbuh dan berkembang.

Sangat sedikit ditemui mereka yang mau dan mampu menciptakan peluang, kebiasaan menunggu dan ketergantungan ini seringkali mengundang persoalan baru, termasuk risiko PHK yang pada gilirannya menambah jumlah pengangguran.

Sedangkan untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengatasi atau meminimalisir PHK dan pengangguran ini tentunya terkait ulasan di atas perlu digaris bawahi bahwa betapa perlunya mengubah cara pandang, yang tadinya selalu menunggu peluang kerja menjadi menciptakan peluang/lapangan kerja.

Dalam perkataan lain, untuk menjawab pertanyaan bagaimana mengantisipasi ataupun meminimalisir PHK dan pengangguran maka jiwa kewirausahaan (entrepreneur) perlu terus ditumbuhkan, terutama bagi para kawula muda sebagai generasi penerus bangsa.

Upaya-upaya berbagai pihak, tak terkecuali pemerintah perlu terus berfokus membangun generasi yang mampu mencipta atau menangkap peluang kerja, memiliki pemikiran terbuka dan dinamis serta peka terhadap perubahan.

Sekilas membuka catatan masa lalu, seingat saya pemerintah akan berupaya untuk meminimalisir jumlah pengangguran melalui berbagai kebijakan yang mendorong penciptaan lapangan kerja (Kompas.com, 17/8/2016) yaitu penyediaan anggaran infrastruktur melalui APBN, BUMN, dan Swasta. Pemerintah juga akan mendorong investasi khususnya investasi industri padat karya.

Di samping itu pemerintah akan mempersiapkan tenaga kerja dengan keahlian tertentu sesuai dengan permintaan industri atau investor. Salah satu program prioritas tahun 2017 adalah meningkatkan pendidikan vokasi dan keahlian tenaga kerja.

Kebijakan tersebut tentu layak didukung, dengan harapan dapat mengurangi angka/jumlah pengangguran termasuk mereka yang menjadi korban PHK.

Namun demikian sayangnya, pendidikan vokasi dan keahlian ini belum mencapai tujuannya yang optimal, atau mungkin masih dalam proses perjuangan.

Seperti disebutkan, berdasarkan data BPS per Agustus 2022, tingkat pengangguran terbuka (TPT) mencapai 5,86 persen atau setara dengan 8,42 juta orang dari total angkatan kerja 143,72 juta orang.

Adapun TPT tertinggi merupakan tamatan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sebesar 9,42 persen, tamatan SMA sebesar 8,57 persen, SMP yaitu 5,95 persen, disusul tamatan Diploma IV, S1, S2, dan S3 mencapai 4,80 persen, tamatan Diploma I, II, III yaitu 4,59 persen, terendah tamatan SD yaitu 3,59 persen.

Atas dasar data BPS ini, Presiden Jokowi segera mengeluarkan Peraturan Presiden No.68 tahun 2022 tentang Revitalisasi Vokasi dan Pendidikan Vokasi, menyusul Kementerian Ketenagakerjaan merespons serta menindak lanjuti untuk merevitalisasi balai latihan kerja (BLK) di seluruh Indonesia.

Nah harapannya, revitalisasi tersebut merupakan langkah antisipasi terhadap kemungkinan terjadi gelombang PHK serta pengangguran di masa mendatang. 

Dan tentunya pula, revitalisasi untuk meningkatkan vokasi dan pendidikan vokasi dalam hal ini tidaklah hanya berorientasikan pada output, namun lebih berfokus pada outcome -- sehingga lebih memberikan manfaat nyata dan berdampak secara berkelanjutan atau berjangka panjang.

 JM (1-3-2023).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun