Tak terasa dan tak dinyana saking asyiknya "menggauli" Kompasiana sejak sepuluh tahun lebih, ternyata telah banyak teman dan relasi untuk saling berbagi info di medium ini.
Mumpung masih bulan Februari, tulisan ini dibuat sekaligus mengingati awal-awal saya berkompasiana. Anggap saja sebagai flashback atau kilas balik terhadap apa yang pernah saya dan beberapa rekan lakukan ketika memanfaatkan ruang publik virtual sebagai rumah bersama.
Walaupun saya tidak setiap hari menulis namun setidaknya manakala berselancar di Kompasina, selalu mudah untuk berkoneksi, berinteraksi melalui forum berbagi artikel antarkompasianer.
Gegara berkompasiana (juga di media lain) saya semakin banyak teman berasal dari berbagai penjuru, berbagai budaya, suku, agama, ras, antargolongan, antargenerasi, menyatu dalam wadah sharing and connecting, yang kini telah bertransformasi menjadi beyond blogging.
Beberapa teman saya berkompasiana berasal dari Papua, Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur dan Barat, Bali, Kalimantan, Sumatera dan sekitar, termasuk teman kompasianer dari Pulau Jawa sendiri yang tak sedikit jumlahnya.
Tak terkecuali diaspora Indonesia di berbagai manca negara (Italia, Inggeris, Belanda, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Amerika Latin, dan Australia.
Ada juga teman kompasianer yang bermukim di Timur Tengah, Tiongkok, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Hongkong, Malaysia.
Terhadap semuanya itu telah terbangun suatu konektivitas, seringkali berbagi pengalaman sehingga menambah wawasan saya, paling tidak mereka ikut mengabarkan sikon di negara atau tempat tinggal serta kawasan sekitarnya.
Dari sepintas gambaran tersebut, setidaknya saya telah menjalin pertemanan, persahabatan, persaudaraan antarkompasianer dalam berelasi, berbagi info disusul berinteraksi, menambah kebanggaan sesama anak bangsa menyatu di bawah payung Kompasiana.
Belajar berbangsa ternyata bisa dilakukan dengan memanfaatkan medium virtual ini. Banyak terpetik nilai multikultural, saling memahami sekaligus menyadari perbedaan (etnis dan religi) dilandasi toleransi yang semakin merekatkan rasa, jiwa, sikap  kebangsaan.
Saya ikut merasa senang dan bangga bahwa kebhinnekaan semakin tertanam, semakin merekat manakala berkompasiana. Sesuatu yang jarang dilakukan atau terjadi di dunia nyata, di medium ini banyak ditemui.
Cermati saja, seorang santriwati atau santri perempuan bisa menjalin koneksi, saling berbagi dan berinteraksi sekaligus bertukar pengetahuan dengan seorang romo, pastor, pendeta, atau pemuka agama lain.
Demikian halnya remaja putera/puteri nasrani banyak ditemui berdiskusi ringan via tulisan, saling tegur sapa, juga saling hibur dengan para ustad, kyai, maupun para tokoh agama Islam secara familier.
Semuanya berlangsung tanpa ada sekat-sekat penghalang sekaligus ini menunjukkan bahwa teknologi informasi cq. Kompasiana telah banyak membantu atau memudahkan manusia untuk membangun konektivitas dan berinteraksi antarsesama.
Demikian halnya, saya yang tinggal di pulau Jawa, bisa saling belajar memahami, menyamakan kerangka pemikiran dengan teman dari Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, NTT, NTB, Bali, Sumatera dan sekitar yang jauh di sana, sekaligus pernah sesekali saling kunjung-mengunjungi. Â
Hal demikian seolah mengingatkan kita tentang makna yang terkandung dalam sejarah bangsa, turut melestarikan nilai warisan para pejuang kemerdekaan di negeri ini.
Bukankah dalam perjalanan sejarah masa lalu, Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Jong Islamieten Bond, Jong Bataks Bond, Jong Celebes, Pemuda Kaum Theosofi, perhimpunan pelajar, serta pemuda/pemudi lainnya -- hingga melahirkan Sumpah Pemuda sebagai salah satu tonggak sejarah mengawali kesadaran berbangsa?
Semuanya bisa terwujud manakala kita yang berasal dari berbagai daerah mau dan mampu melepaskan primordialisme dan eksklusivisme antarsuku, tak ada diskriminasi sehingga rasa memiliki terhadap bangsa (nation) dan negara (state), menyatu dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
+++
Nah kembali jika sedikit menapak tilas mengenang awal-awal saya berkompasiana, pernah pula beberapa kali saya bertemu muka dengan sebagian dedengkot admin lama (Bang Isjet dkk) ketika mereka berkunjung ke daerah (Yogyakarta) dalam event nangkring, pameran maupun bekerjasama dengan perguruan tinggi, sekolahan, ataupun institusi lain.
Kedekatan kompasianer dengan admin dalam hal ini bisa dianggap penting atau bermanfaat. Di  samping sebagai anjangsana, terutama dalam rangka saling berbagi info di luar forum virtual.
Pertemuan offline semacam itu semakin menambah rasa memiliki (sense of belonging) terhadap rumah kita bersama, merekatkan relationship, juga sebagai bagian dari komunikasi organisasi sehingga terbangun saling pengertian dan menyamakan persepsi maupun pengalaman.
Seperti halnya beberapa kali saling kunjung antarkompasianer yang sudah pernah saya alami dan lakukan beberapa waktu lalu selalu membawa kesan.
Kesan yang masih lekat dalam ingatan yaitu selalu penuh canda, begitu jumpa langsung akrab bahkan seperti keluarga sendiri, ramah, familier, saling berempati, disusul makan dan ngobrol bareng sebagai pelengkapnya.
Itulah kesan yang selalu lekat di hati, walaupun seiring perjalanan waktu - satu persatu mereka mulai mundur tanpa berita, atau disingkat "muntaber" mengingat berbagai aktivitas, kerepotan masing-masing. Namun masih ada beberapa kompasianer yang bertahan hingga kini.
+++
Pengalaman yang lebih mengasyikkan lagi, buah dari bangunan konektivitas yang berlanjut melalui interaksi antarkompasianer dalam berbagi artikel di ruang virtual ini ternyata ada benefit (baca: faedah) yang bisa dipetik.
Bahkan sempat menggugah kepentingan bersama dalam artian beberapa rekan punya niatan dan kesamaan pemikiran untuk berkolaborasi dan berkontribusi nyata guna menunjang kehidupan di tengah perkembangan zaman.
Berbagai gagasan dalam diskusi dan berinteraksi di akhir tahun 2011 selanjutnya melahirkan kesepakatan, membentuk wadah dengan julukan: ID-Kita Kompasiana. Tepatnya wadah ini mulai bergiat di tahun 2012.
Nah, membincang ID-Kita Kompasiana tentu tidak lepas dari 'provokator' alias perintisnya waktu itu, di antaranya beliau bernama Mas Valen (Tovanno Valentino) dan Mbak Christie (Cristie Damayanti) beserta rekan-rekan kompasianer Jakarta- yang telah berhasil membangun sinergi bersama Admin Kompasiana.com dan Admin Kompas.com.
ID-Kita Kompasiana yang benar-benar lahir dari bawah (bottom up), sebagai akumulasi gagasan kompasianer yang punya hobi sama, berjiwa perduli dan pengalaman menjadi volunteer di berbagai bidang ini berniatan untuk memberdayakan masyarakat terutama generasi muda dalam memanfaatkan internet secara sehat dan aman.
Sehat dan Aman, di sini dalam artian bahwa ketika kita sedang menggunakan medium internet maka di situ pula sekaligus ada "hantu" yang setiap saat perlu diwaspadai berupa dampak negatif yang bisa terjadi. Mengedukasi para murid sekolah bagaimana agar mereka memanfaatkan medium internet secara baik dan benar menjadi hal yang cukup penting saat itu.
Lebih lanjut dalam perjalanannya, ID-Kita Kompasiana sebagai sebuah gerakan moral tidaklah beraktivitas sendiri dan ternyata mendapat atensi dari institusi lain, sepertinya gayung bersambut.
ID-Kita Kompasiana juga mendapat support dari Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kominfo RI) Jakarta- sehingga dalam menjalani giatnya kemudian terbangun sinergitas bahkan disambut oleh beberapa dinas pendidikan di beberapa daerah.
Bekerjasama, dengan maksud dan tujuan untuk menyosialisasikan pemanfaatan internet sehat dan aman, terutama menyasar beberapa sekolah lanjutan pertama (SMP) dan sekolah lanjutan atas (SMA) termasuk mengundang sebagian orangtua siswa terlibat dalam forum diskusi.
Pada tataran ini, kompasianer yang tergabung semakin memantapkan langkah, bahwa kita berkompasiana bukan hanya sekadar menebar wacana dengan produknya berupa tayangan-tayangan artikel.
Lebih dari itu langkah ID-Kita Kompasiana berniatan untuk meningkatkan dampak media yaitu kognitif dan afektif menjadi lebih berdampak behaviour sehingga ditindaklanjuti melalui komunikasi tatap muka dengan melakukan sosialisasi "Internet Sehat dan Aman" di antaranya mengunjungi beberapa lembaga pendidikan sebagai pilihan program sekaligus ikut mengedukasi para siswa/siswi bahwa kehadiran internet perlu disikapi secara bijak.
Ini penting mengingat saat itu kehadiran internet relatif merupakan "barang baru" atau belum massif seperti sekarang sehingga dampaknyapun perlu dicermati, dikritisi, dan dicarikan solusi serta langkah antisipasinya. Terutama berkaitan dengan dampak negatif yang bisa terjadi seperti pornografi, berita hoaks, cybercrime, cyberbulying, atau sejenisnya yang dapat merugikan.
Di sanalah perlu dipahamkan kepada para murid bahwa kehadiran medium internet dapat diibaratkan "pisau bermata dua" dalam artian bisa berdampak positif, juga bisa berdampak negatif, sehingga  manusia sebagai pengguna layak menjadi filter utamanya.
Sosialisasi "Internet Sehat dan Aman" secara tatap muka dalam bentuk forum tanya jawab berkait teknologi informasi ini lebih banyak memberikan pemecahan masalah sehingga diharapkan pemanfaatan internet (media online) nantinya menjadi lebih optimal. Dampak positifnya terus ditingkatkan, dampak negatifnya perlu diminimalisir.
[Dan ini]
Demikian sekilas cerita ikut berkontribusi nyata yang pernah saya lakukan, walaupun sebatas partisipan bersama ID-Kita Kompasiana, khususnya di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Tengah dan DIY, sedangkan di Jakarta dan daerah lain dilakukan pula oleh kompasianer setempat.
+++
Nah kembali mengingat perjalanan waktu yang terus berubah dan dinamika sosial terus berkembang, masyarakat tentunya sudah semakin selektif dalam bermedia.
Ditambah lagi literasi media semakin tumbuh di berbagai lembaga pendidikan formal sehingga anak didik diharapkan semakin melek bermedia. Walaupun demikian pendidikan informal (di rumah) dan pendidikan di luar kelas masih perlu dilanjutkan, mengingat perkembangan jiwa anak yang masih labil.
Demikian halnya para penggerak ID-Kita Kompasiana yang telah ikut berpartisipasi memberdayakan para murid sekolah selama dua tahun (2012 s/d 2013) intensitasnya semakin surut bersamaan sejumlah anggotanya yang melanjutkan jenjang studi di luar negeri, sebagian mengalami gangguan kesehatan, dan selebihnya kembali bergiat atau menekuni pekerjaan masing-masing.
Sungguh merupakan kepuasan tersendiri manakala kita punya kemauan berbagi dan melakoni kegiatan bersama rekan-rekan yang memiliki kesamaan kerangka pikir, kesamaan jiwa dan secara ikhlas tergugah untuk meluangkan waktu tanpa tendensi kecuali hanya membantu secercah pencerahan terhadap generasi penerus bangsa.
Jiwa sukarelawan (volunteer), gotong royong, persatuan dan kesatuan sesungguhnya sudah menjadi landasan pijak dalam mewarnai kehidupan bangsa kita secara turun temurun.
Budaya yang tak banyak dimiliki bangsa lain ini merupakan asset sekaligus modal sosial (social capital) yang masih layak ditumbuh-kembangkan.
Melalui modal sosial ini sesungguhnya kita bisa mengoptimalkan sumberdaya yang ada, memilih dan melakukan kegiatan yang dapat memberi nilai tambah terhadap masyarakat di sekitaran di mana kita berada. Dan bilamana ini serius dilakukan, pada gilirannya akan membuahkan suatu kehidupan yang efisien dan produktif.
Persoalan yang masih tersisa saat ini, akankah nilai-nilai budaya yang mewarnai kehidupan bangsa kita tersebut akan bertahan di tengah gempuran arus globalisasi dengan seperangkat nilai yang dibawa, yaitu ditandai era pasar bebas (baca: liberalisasi) yang cenderung menggiring manusia semakin konsumtif, individualistis, serta kesenjangan sosial yang semakin melebar?
Mengimplementasikan modal sosial untuk memberdayakan masyarakat memang tidak cukup hanya mengandalkan manusia-manusia elit atau kalangan profesional yang notabene memiliki kapasitas kemampuan teknis maupun intelektual tinggi.
Semuanya itu masih perlu dilengkapi dengan nilai-nilai etis dan moral sehingga integritas bermasyarakat, berbangsa, bernegara menjadikan bagian tak terpisahkan.
Barang tentu integritas dalam tulisan ini, tak cukup hanya sebatas diwacanakan, dibincangkan, apalagi hanya ditayangkan dalam artikel-artikel dengan maksud dan tujuan tertentu.
Lebih dari itu, integritas merupakan sebuah refleksi diri kita, melakukan apa yang dikatakan disertai tindakan nyata. Termasuk menceburkan diri, ikut merasakan kesatuan dengan alam dan sosial, mencari dan mengupayakan sesuatu yang perlu dikerahkan untuk kepentingan masyarakat sekitar.
Akankah modal sosial yang kita miliki selama ini dapat bertumbuh dan berkembang di kemudian hari? Atau malah tergerus arus globalisasi, yang ujung-ujungnya membuahkan sebuah pertanyaan: wani piro?
JM (27-2-2022).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H