Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Memahami Kemerdekaan Pers di Indonesia

9 Februari 2022   16:59 Diperbarui: 10 Februari 2022   05:43 1301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat sejarah perjalanan pers di negeri ini sangatlah menarik, terutama dalam hubungannya dengan kedudukan pers sebagai lembaga komunikasi yang menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.

Dari masa ke masa, pers atau media massa yang punya powerfull enough untuk memengaruhi khalayak luas, kehadirannya selalu mendapat perhatian berbagai kalangan.

Bahkan di era pemerintahan orde lama dan orde baru, keberadaan pers "dirangkul" atau disubordinasikan dalam sistem politik pemerintahan yang sedang berlangsung sehingga sepak terjang pers diarahkan untuk menyesuaikan dengan sikon saat itu.

Nah persoalannya manakala fungsi kontrol sosial sebagai salah satu bagian dari kebebasan atau kemerdekaan pers ini dijalankan, seringkali berbenturan dengan kepentingan politik.

Beberapa institusi pers di masa orde lama yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah bisa dikenakan sanksi.

KUHP menjadi landasan hukum di era "demokrasi terpimpin" alias orde lama, senjata untuk membungkam pers/media massa, yaitu dengan memberlakukan Persbreidel Ordonantie dan Haatzaai Artikelen.

Demikian halnya di era orde baru, intervensi pemerintah terhadap kehidupan perspun tak jauh berbeda. Segalanya difokuskan dengan paradigma pembangunan, pers disubordinasikan dalam sistem politik dan pemerintahan, sepak terjang pers/media massa diarahkan sejalan kebijakan politik pemerintah.

Adapun landasan hukum di masa orde baru yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No.4 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

Dalam regulasi ini kebebasan atau kemerdekaan pers memang dicantumkan melalui pasal-pasalnya, kebebasan untuk menyatakan atau mengekspresikan pendapat dijamin.

Namun dalam hal ini lebih ditekankan dengan kalimat "kebebasan yang bertanggung jawab."  Sehingga dalam kata lain bisa ditafsirkan pers/media massa tidak menyiarkan kabar atau pesan yang dapat mengganggu program yang telah digariskan pemerintah.

Pers atau media massa hanya boleh menyampaikan pesan-pesan maupun informasi yang baik-baik saja, sejalan program pembangunan. "Hegemoni  makna" dan "hegemoni wacana" berada atau terpusat di tangan pemerintah waktu itu.

Sebagai kosekuensinya, bilamana ditemui informasi yang disampaikan lewat pers/media "tidak bertanggung jawab" maka diberlakukan sanksi pembredelan, bisa bersifat sementara atau selamanya, alias dicabut Surat Izin Terbitnya.

Ciri khas pemerintahan orde baru antara lain intervensi dilakukan melalui budaya telepon, slogan hubungan positif antara pemerintah--pers-- dan masyarakat, bahkan makna kritik sosial yang dalam jurnalisme dikenal istilah "bad news is good news" malah diharamkan.

Pers | ilustrasi: dreamstime.com
Pers | ilustrasi: dreamstime.com

Ancaman yang paling menghantui para pemilik dan pakerja pers/media di kala itu adalah dilakukannya pembredelan yang tidak diproses melaui peradilan, sehingga bagi kalangan yang berpandangan kritis, kebebasan atau kemerdekaan pers ini terus diperjuangkan.

Lahirnya UU Pers No.40/1999 dan Kemerdekaan Pers

Berakhirnya rezim orde baru tahun 1998, era pembangunan di bawah sistem pemerintahan otoritarian berubah (berkembang) memasuki era reformasi dan sesuai tuntutannya yaitu demokratisasi, supremasi hukum, menjunjung hak asasi manusia (HAM).

Di era inilah, bersamaan dengan lahirnya berbagai kebijakan dan regulasi lantas lahirlah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, atau disebut UU Pers No.40/1999, berlaku sampai saat ini.

Kebebasan pers dalam regulasi tersebut ditemui dalam Bab II Pasal 2 sampai Pasal 6, dan Bab III Pasal 7 dan 8, serta Bab IV Pasal 9 sampai Pasal 14.

Mengenai kebebasan atau kemerdekaan pers diatur secara jelas di antaranya dapat dilihat pada Pasal 2 yang menyebutkan: kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum.

Demikian pula dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) menjelaskan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran.

Sedangkan dalam ayat (3) menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Ayat (4) mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.

Kemerdekaan pers ini juga dijamin melalui Pasal 9 ayat (1), setiap Warga Negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, ayat (2) menyebutkan, setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.

Barang tentu dengan telah diaturnya mengenai kemerdekaan pers tersebut-- bukan berarti institusi media massa/pers berikut para pelakunya memiliki keleluasaan tanpa batas. Tidak, semua warga negara di negeri ini harus menaati aturan hukum, termasuk para insan pers (wartawan).

Demikian sebaliknya, semua warga negara tidak bisa sewenang-wenang (main hakim sendiri) memperlakukan insan pers ketika melangsungkan profesinya dalam mencari/menghimpun, mengolah hingga menyajikan/menyampaikan informasi kepada khalayak luas, mengingat mereka dilindungi oleh undang-undang.

Semuanya sudah tercakup dalam aturan yuridis formal, sehingga bilamana misalnya terjadi kasus pencemaran nama baik, penghinaan, penghasutan, fitnah, atau sejenis yang diakibatkan oleh suatu pemberitaan pers/media massa-- maka penyelesaiannya bisa mengacu pada UU Pers No.40/1999, dikategorikan sebagai kasus delik pers.

Dalam ketentuan hukum ini, apabila seseorang atau sekelompok orang merasa tidak berkenan atas suatu pemberitaan menyangkut diri/kelompoknya maka diperbolehkan mengajukan keberatan melalui hak jawab atau hak koreksi, dan pers dalam hal ini wajib melayani hak-hak tersebut (Pasal 5, UU Pers/1999).

Nah dalam perjalanannya, seringkali beberapa kalangan masih ada yang belum memahami bahwa UU No.40 Tahun 1999 ini sesungguhnya merupakan lex specialis, sehingga para pekerja jurnalistik atau insan pers dijamin kelangsungannya dalam menjalankan tugas, tanpa dibayangi tekanan dan rasa takut dijerat secara hukum.

Seiring dengan telah dijaminnya kemerdekaan pers saat ini, pastinya beberapa tantangan masih banyak yang layak dihadapi para insan pers dalam menapak masa depan.

Di antaranya jurnalisme berkualitas yang mencerahkan khalayak perlu ditingkatkan di tengah persaingan dengan maraknya bermunculan media baru. 

Termasuk idealisme yang tak boleh luntur bersamaan upaya penyelamatan internal organisasi di era disrupsi sehingga seluruh aktivitas pers/media massa akan tetap berlangsung dan berkelanjutan.

Selamat Hari Pers Nasional 2022.

JM (9-2-2022).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun