Melihat sejarah perjalanan pers di negeri ini sangatlah menarik, terutama dalam hubungannya dengan kedudukan pers sebagai lembaga komunikasi yang menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
Dari masa ke masa, pers atau media massa yang punya powerfull enough untuk memengaruhi khalayak luas, kehadirannya selalu mendapat perhatian berbagai kalangan.
Bahkan di era pemerintahan orde lama dan orde baru, keberadaan pers "dirangkul" atau disubordinasikan dalam sistem politik pemerintahan yang sedang berlangsung sehingga sepak terjang pers diarahkan untuk menyesuaikan dengan sikon saat itu.
Nah persoalannya manakala fungsi kontrol sosial sebagai salah satu bagian dari kebebasan atau kemerdekaan pers ini dijalankan, seringkali berbenturan dengan kepentingan politik.
Beberapa institusi pers di masa orde lama yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah bisa dikenakan sanksi.
KUHP menjadi landasan hukum di era "demokrasi terpimpin" alias orde lama, senjata untuk membungkam pers/media massa, yaitu dengan memberlakukan Persbreidel Ordonantie dan Haatzaai Artikelen.
Demikian halnya di era orde baru, intervensi pemerintah terhadap kehidupan perspun tak jauh berbeda. Segalanya difokuskan dengan paradigma pembangunan, pers disubordinasikan dalam sistem politik dan pemerintahan, sepak terjang pers/media massa diarahkan sejalan kebijakan politik pemerintah.
Adapun landasan hukum di masa orde baru yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No.4 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.
Dalam regulasi ini kebebasan atau kemerdekaan pers memang dicantumkan melalui pasal-pasalnya, kebebasan untuk menyatakan atau mengekspresikan pendapat dijamin.