Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Cermat Mengonsumsi Komodifikasi Konten Media

3 November 2021   01:50 Diperbarui: 6 November 2021   17:00 1186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mencari informasi lewat media sosial. (sumber: businessinsider.com via kompas.com)

Sebagai wacana pembuka, tulisan ini terlebih dahulu akan mengulas sepintas sejarah pers atau media massa di Indonesia.

Secara singkat atau garis besarnya perlu diketahui bahwa menjelang dan awal-awal kemerdekaan pada umumnya konten media atau penerbitan pers di negeri ini (Indonesia) banyak menurunkan pemberitaan tentang hal-hal berkait perjuangan, nuansa kemerdekaan yang penuh nilai nasionalisme, sehingga ideologi semangat juang lebih mendominasi pemberitaan media dalam segala rubriknya.

Hal yang tidak mendukung kebijakan pemerintah saat itu bisa dikenakan sanksi berupa pemberangusan. KUHP menjadi landasan hukum di era "demokrasi terpimpin" ini, sedangkan senjata untuk membungkam pers/media yaitu dengan memberlakukan Persbreidel Ordonantie dan Haatzaai Artikelen, sebagai produk kolonial, disusul lahirnya Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, yang ditanda tangani Presiden Soekarno menjelang akhir jabatannya.

Demikiam pula di masa orde baru (orba), di masa peralihan penyelenggaraan pemerintahan ini segala sesuatunya difokuskan pada paradigma pembangunan (ekonomi) yang secara langsung ikut mewarnai kehidupan pers. 

Bahkan media massa atau pers disubordinasikan dalam sistem politik dan pemerintahan sehingga setiap lembaga komunikasi cenderung diarahkan sejalan dengan kebijakan politik yang sedang berlangsung.

Regulasi di bidang pers ditemui di masa orba dengan perubahan perundangan yaitu Undang-Undang No.11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No.4 Tahun 1967 dan diubah lagi dengan Undang-Undang No.21 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers.

Di bawah payung perundangan ini, kebebasan pers dicantumkan dalam pasal-pasalnya, di antaranya kebebasan untuk menyatakan atau mengekspresikan pendapat dijamin.

Kebebasan yang "bertanggung jawab" lebih ditekankan, dan bilamana ditemui ada pesan-pesan atau informasi yang disampaikan lewat media "tidak bertanggung jawab" maka sanksi pembredelan dilakukan, bisa bersifat sementara atau selamanya alias dicabut Surat Izin Terbitnya.

"Bertanggung jawab" dalam hal ini bisa ditafsirkan untuk tidak menyiarkan kabar atau pesan yang dapat mengganggu program yang telah digariskan pemerintah. 

Dalam perkataan lain, diharapkan pers/media massa hanya boleh menyampaikan pesan maupun informasi yang baik-baik saja dan sejalan dengan program pembangunan.

Di zaman orba, pemerintah sering melakukan intervensi terhadap kebebasan pers, intervensi di antaranya dilakukan melalui budaya telepon, slogan hubungan positif antara pemerintah- pers- dan masyarakat, hingga penguasaan saham penerbitan. 

Ancaman ini sering menghantui media atau pers sehingga bilamana terjadi pembredelan tanpa dilakukan proses melalui peradilan.

Berkait hal ini, dalam buku berjudul Beberapa Segi Pekembangan Sejarah Pers Indonesia (Cetakan II, 2002, xxii) disinyalir oleh mantan Direktur LEKNAS-LIPI, Taufik Abdullah dalam Kata Pengantarnya bahwa pemerintah orde baru telah menjadikan dirinya sebagai pemegang "hegemoni makna" dan "hegemoni wacana."  

Pemerintah orde baru berusaha sekuat tenaga "mendiamkan" dan "mendeskreditkan" segala suara yang dianggap merusak dunia serba konsensus yang telah dikuasainya.

Dalam perkembangannya, seiring dinamika sosial-politik bersamaan dimulainya pasar bebas di awal tahun 1990-an maka persoalan kebebasan terus dikumandangkan oleh beberapa kalangan ditandai tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk melaksanakan demokrasi yang berfokus pada perlunya fungsi pers/media sebagai kontrol terhadap kekuasaan.

Hal ini turut pula mengakibatkan lengsernya rezim orde baru (1998) yang dinilai otoritarian dan selanjutnya melahirkan pemerintahan reformasi dengan tuntutannya yaitu demokratisasi, supremasi hukum, dan menjunjung hak asasi manusia atau HAM.

Nah, di awal pemerintahan inilah lantas diterbitkan regulasi atau disahkan Undang-Undang No.40 Tahun 1999 tentang Pers, berlaku sampai sekarang. Kebebasan pers dalam regulasi tersebut ditemui dalam Bab II Pasal 3 sampai dengan Pasal 6, dan Bab III Pasal 7 dan 8, serta Bab IV Pasal 9 sampai Pasal 14.

Menyangkut kebebasan pers tersebut dapat dilihat pada Pasal 3 yang menyebutkan: kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan suprmasi hukum.

Demikian pula dalam Pasal 4 ayat (1) disebutkan kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Ayat (2) menjelaskan bahwa pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Sedangkan dalam ayat (3) menyatakan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai Hak Tolak.

Mengenai kebebasan pers ini juga dijamin melalui Pasal 9 ayat (1), setiap Warga Negara Indonesia dan negara berhak mendirikan perusahaan pers, ayat (2) menyebutkan, setiap perusahaan pers harus berbadan hukum Indonesia.

Berdasar Pasal 9 inilah dimensi kebebasan pers selanjutnya diterjemahkan secara luas menyangkut kepentingan ekonomi, sehingga berimplikasi terhadap booming pendirian perusahaan pers atau media, bertumbuh pesat seperti jamur di musim hujan.

Termasuk para pemodal ikut menyambut dan beramai-ramai mendirikan perusahaan pers/media, bahkan sebagai institusi komunikasi yang pada lazimnya dijalankan oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam bidang profesi jurnalistik- cenderung tidak lagi menjadi pertimbangan.

Tak terkecuali media berbasis internet juga mengikuti gegap gempitanya pertumbuhan media massa. Mengutip pernyataan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, kala itu (21/11/2009, dalam inilah.com) disebutkan hingga awal 2009 di Indonesia ada sekitar 1.008 media cetak, 150 lebih media televisi, 2.000 lebih radio.

Total tiras media cetak sekitar 19,08 juta eksemplar. Disebutkan pula dalam kurun waktu yang sama, pemirsa televisi yang diperebutkan sekitar 30 juta orang, radio 34 juta pendengar, yang semuanya itu berkembang karena memang dijamin adanya regulasi.

Konten bernilai ekonomi

ilustrasi dari i23rf.com
ilustrasi dari i23rf.com

Dari sekilas gambaran perkembangan sejarah pers/media massa di Indonesia seperti dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa keberadaan (fungsi dan perannya) sangat bergantung atau diwarnai sistem pemerintahan yang sedang berlangsung pada zamannya.

Di era orde lama dan orde baru media massa atau pers sama-sama dibatasi kebebasan/kemerdekaannya, bahkan disubordinasikan dalam sistem politik dan pemerintahan sehingga setiap lembaga komunikasi cenderung diarahkan sesuai dengan kebijakan politik kekuasaan.

Namun setelah lengsernya orde baru ditandai lahirnya regulasi yaitu UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, maka melalui pasal-pasal yang mengatur kebebasan pers secara substansial terkandung makna yang bersifat universal. Jika dicermati lebih jauh dan mendalam, kebebasan yang disandang institusi yang bergerak di bidang komunikasi ini cenderung ke arah liberal.

Betapa tidak, di bawah kekuatan payung hukum atas dasar kebebasan yang dimiliki dan dijamin -- pastinya hal ini sangat menjadikan peluang terutama bagi kalangan pemodal. Sesuai karakteristik pelaku ekonomi yang memandang bahwa keberadaan institusi media di masa kini sebagai lahan bisnis, akan mendatangkan banyak keuntungan.

Barang tentu peluang ini tak akan disia-siakan, menjadikan "ceruk pasar" sekaligus menggiurkan dengan sasaran seoptimal mungkin target komunikan sebagai pangsa pemirsa, pangsa pendengar maupun audiensnya.

Melalui paradigma demikian, atas dasar kebebasan yang dimiliki maka implikasinya telah menjadikan informasi atau konten media sebagai komoditas bernilai tukar. Produk media dikemas sedemikian rupa menjadi barang dagangan yang dapat ditukarkan karena punya nilai secara ekonomis.

Ini sejalan dengan laju perekonomian global di mana pers atau media massa modern ikut memosisikan diri menjadi lembaga ekonomi. Motif ekonomi yang profit oriented merupakan faktor penting dalam mendukung kelangsungan industri media, pembentukan struktur sampai agen-agennya.

Nah dalam eksekusinya, topik-topik yang ditonjolkan melalui konten media dipilih yang memiliki nilai jual (selling topic) dan telah menjadi bagian integral bagi media massa untuk menambah peningkatan tiras maupun rating.

Dalam praktiknya, tidak hanya straight news atau hard news yang ditampilkan media, tetapi pemberitaan konflik dan kekerasan, kelaparan, kemiskinan, bencana, hingga sepak terjang dan kehidupan selebriti dikembangkan oleh awak media untuk tujuan komersial.

Terhadap peristiwa tertentu yang telah di-setting sedemikian rupa, termasuk dalam bentuk berita kisah atau features dengan penonjolan aspek tertentu bermaksud agar menarik perhatian khalayak sekaligus meningkatkan rating dan iklan yang muaranya demi perolehan profit bagi penyelenggara atau pemilik industri media.

Pada tataran inilah secara mikro sesungguhnya media telah melakukan apa yang dinamakan komodiikasi.

Menurut Vincent Mosco (1996), Commodification: the process of transforming use values into exchange values. Atau: "Komodifikasi sebagai proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar.

Karenanya, produk media berupa konten (informasi dan hiburan) memang tidak dapat diukur seperti barang bergerak dalam ukuran ekonomi konvensional. 

Namun aspek tangibility-nya akan relatif berbeda dengan 'barang' dan jasa lain. Sehingga produk media menjadikan barang dagangan yang dapat dipertukarkan dan mempunyai nilai ekonomis.

Dalam perspektif ekonomi politik media hal ini dapat dipahami, mengingat pergeseran fungsi media yang telah mengindustri maka media berkecenderungan melakukan market-driven journalism. 

Dalam pengartian bahwa pengelolaan segala bentuk informasi atau konten tidak hanya sekadar masalah politik media, tetapi menyangkut pula model kapitalisme industri, struktur ekonomi menjadi penting karena media telah menjadi bagian dari industri bisnis sehingga produk media dikemas untuk menarik perhatian khalayak dalam skala massal.

Itu pula sebabnya, tidaklah perlu heran di era reformasi seiring dengan kebebasan informasi bersamaan era global ditandai pasar bebas yang kini tengah melanda lingkungan kita- bilamana dalam bermedia atau mengonsumsi konten media menemui komodifikasi sebagai langkah strategi maupun taktik untuk memikat atensi khalayaknya.

Sangat bisa jadi pada suatu ketikanya, masyarakat luas sebagai pengonsumsi produk media disuguhi konten-konten yang seolah spektakuler berupa hasil komodifikasi konten yang disuguhkan media modern.

Misalnya saja, kakek berusia 90 tahun ke atas disisipkan foto/gambar bertenaga enerjik seperti remaja. Atau nenek ini, itu, kembali berwajah muda, serta ajakan lain oleh media agar khalayak mengikuti kisahnya.

Tak terkecuali, peristiwa-peristiwa kekerasan, kelaparan, kemiskinan, bencana, sampai privasi para artis yang menyentuh emosi khalayak dikupas habis-habisan dan telah di-framing sedemikian rupa akan ditemui di era kebebasan informasi seperti saat ini, mungkin hingga kelak di kemudian hari.

Menghadapi gempuran maupun difusi informasi demikian sepertinya hampir tak mungkin lagi dapat dibendung. 'Banjir informasi' yang semakin luas jangkauan dan penggunaan teknologi di antaranya bisa diantisipasi  dengan cara cermat mengonsumsi konten media dan khalayak selalu aktif.

Cermat dalam artian selektif dalam mencari dan memilih konten media sesuai kebutuhan, kegunaan. Menjadi pengonsumsi konten media yang aktif dalam artian cerdas serta mampu membedakan mana konten yang faktual, konten yang bersifat opini, dan konten media yang bersifat campuran antara fakta dan opini. 

Termasuk cerdas dalam menganalisis wacana, mengingat dalam setiap wacana seringkali tersisipi pesan atau maksud tersembunyi yang masih perlu dikritisi.

JM (3-11-2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun