Termasuk para pemodal ikut menyambut dan beramai-ramai mendirikan perusahaan pers/media, bahkan sebagai institusi komunikasi yang pada lazimnya dijalankan oleh mereka yang memiliki kompetensi dalam bidang profesi jurnalistik- cenderung tidak lagi menjadi pertimbangan.
Tak terkecuali media berbasis internet juga mengikuti gegap gempitanya pertumbuhan media massa. Mengutip pernyataan Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, kala itu (21/11/2009, dalam inilah.com) disebutkan hingga awal 2009 di Indonesia ada sekitar 1.008 media cetak, 150 lebih media televisi, 2.000 lebih radio.
Total tiras media cetak sekitar 19,08 juta eksemplar. Disebutkan pula dalam kurun waktu yang sama, pemirsa televisi yang diperebutkan sekitar 30 juta orang, radio 34 juta pendengar, yang semuanya itu berkembang karena memang dijamin adanya regulasi.
Konten bernilai ekonomi
Dari sekilas gambaran perkembangan sejarah pers/media massa di Indonesia seperti dipaparkan di atas, menunjukkan bahwa keberadaan (fungsi dan perannya) sangat bergantung atau diwarnai sistem pemerintahan yang sedang berlangsung pada zamannya.
Di era orde lama dan orde baru media massa atau pers sama-sama dibatasi kebebasan/kemerdekaannya, bahkan disubordinasikan dalam sistem politik dan pemerintahan sehingga setiap lembaga komunikasi cenderung diarahkan sesuai dengan kebijakan politik kekuasaan.
Namun setelah lengsernya orde baru ditandai lahirnya regulasi yaitu UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers, maka melalui pasal-pasal yang mengatur kebebasan pers secara substansial terkandung makna yang bersifat universal. Jika dicermati lebih jauh dan mendalam, kebebasan yang disandang institusi yang bergerak di bidang komunikasi ini cenderung ke arah liberal.
Betapa tidak, di bawah kekuatan payung hukum atas dasar kebebasan yang dimiliki dan dijamin -- pastinya hal ini sangat menjadikan peluang terutama bagi kalangan pemodal. Sesuai karakteristik pelaku ekonomi yang memandang bahwa keberadaan institusi media di masa kini sebagai lahan bisnis, akan mendatangkan banyak keuntungan.
Barang tentu peluang ini tak akan disia-siakan, menjadikan "ceruk pasar" sekaligus menggiurkan dengan sasaran seoptimal mungkin target komunikan sebagai pangsa pemirsa, pangsa pendengar maupun audiensnya.
Melalui paradigma demikian, atas dasar kebebasan yang dimiliki maka implikasinya telah menjadikan informasi atau konten media sebagai komoditas bernilai tukar. Produk media dikemas sedemikian rupa menjadi barang dagangan yang dapat ditukarkan karena punya nilai secara ekonomis.