Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bersahabat, Berdamai dan Berkompromi dengan Bencana

3 Juni 2020   19:02 Diperbarui: 17 Juli 2021   18:15 285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih lekat dalam ingatan, gempa tektonik Yogyakarta dan sekitarnya (2006) yang banyak membawa korban telah memberikan pengalaman sekaligus pelajaran.

Pagi itu, Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05.53 wib saya sempat terhuyung jatuh, bangun dan jatuh lagi di depan rumah yang tanahnya berguncang, bergerak meliuk-liuk seperti ular.

Tidak lama kemudian, saya melihat sejumlah bangunan runtuh, roboh bahkan ada yang rata dengan tanah disertai debu-debu berhamburan di sekitarnya. Disusul jeritan orang panik, menyelamatkan diri, bercampur sedih karena sebagian keluarganya terjebak dalam reruntuhan.

Tragis memang di pagi itu. Di tengah suasana mencekam, luluh lantak bangunan dan suasana duka mendalam, sekitar dua jam kemudian muncul kabar yang tak jelas sumbernya bahwa tsunami akan datang. Sontak sebagian besar warga berduyun-duyun menuju ke arah utara/dataran tinggi (Sleman, Magelang) mencari perlindungan, sementara semua sarana komunikasi terputus total.

Beberapa saat setelah gempa, malam gelap/aliran listrik mati total disertai hujan deras, muncul gempa-gempa susulan skala sedang dan kecil sehingga rasa takut, panik dan trauma warga belum terobati -- kembali dibayangi kekhawatiran, was-was dan kecemasan berlangsung sepanjang  hari.

Baca juga ini: kompasiana.com/jk.martono

Semuanya itu dapat dipahami, mengingat terbatasnya pembekalan kepada masyarakat tentang wawasan kebencanaan (gempa tektonik), keterlibatan masyarakat dalam hal ini masih minim.

Sedangkan menunggu bantuan tim darurat dari pemerintah belum tentu segera datang, mengingat yang diurus ribuan orang di lokasi bencana berbeda. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki bekal pengetahuan bencana tersebut bisa menyelamatkan diri, keluarga dan tetangga dekatnya.

Sepintas rangkuman cerita fakta tersebut menggambarkan kehadiran bencana alam seperti di atas datangnya tak bisa diduga, siapapun tak dapat memprediksi kapan peristiwanya akan terjadi.

Kecuali secara umum diketahui bahwa sebagian besar wilayah Indonesia memang rawan bencana gempa, pertemuan tiga lempeng tektonik besar yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific berada di sini, apabila akumulasi energi antarlempeng bertabrakan selanjutnya terjadilah gempa tektonik.

Berkait penanganan bencana, pemerintah telah menyiapkan tim khusus yang disebut Search and Rescu (SAR), kemudian menjadi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berikut jajaran di setiap daerah yakni Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) siaga 24 jam melakukan tugasnya. Lembaga nondepartemen ini diperkuat regulasi yang tercakup dalam UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Dalam pelaksanaan di lapangan (belajar dari gempa-tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006), keberadaan lembaga ini telah berfungsi optimal dalam penanganan bencana alam. Seperti dalam peristiwa gempa skala besar berkekuatan magnitudo 7 di Lombok (19/8/2018) dan gempa + tsunami di Sulawesi Tengah (28/9/2018) peran BNPB beserta jajarannya dengan kecepatan dan kesigapannya tidaklah diragukan.

Emergency response sebagai langkah tanggap darurat telah dilakukan oleh BNPB untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan seperti penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana dan sarana setempat.

Hal yang sama dilakukan BNPB, koordinator Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 sebagai bencana nonalam. BNPB telah menjalankan fungsinya dalam penanggulangan meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan nantinya disusul rehabilitasi bencana nonalam.

Sampai saat ini, untuk melihat seluruh kegiatan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, selanjutnya dapat dilihat di situs ini: www.covid19.go.id

Bersahabat, berdamai dan berkompromi 

Membincang masalah bencana tentunya banyak hal perlu diperhatikan, salah satunya adalah menyangkut korban yaitu orang atau sekelompok orang yang menderita atau meninggal dunia  sebagai akibat dari peristiwa bencana yang terjadi. Meminimalisir jumlah korban telah menjadikan fokus perhatian melaui berbagai langkah strategis.

Berbagai kegiatan pencegahan terus dilakukan pemerintah pusat dan daerah berupa serangkaian kegiatan yang dilakukan sebagai  upaya  untuk menghilangkan  dan/atau mengurangi ancaman bencana.

Seperti halnya ajakan atau anjuran para tokoh formal agar jangan takut, jangan panik, termasuk perlunya kita bersahabat, berdamai atau berkompromi dengan bencana sesungguhnya merupakan komunikasi persuasif yang ditujukan kepada khalayak/banyak orang. Ketika menghadapi bencana jangan sampai salah langkah sehingga menambah jumlah korban.

Dalam anjuran tersebut sesungguhnya juga tersirat bahwa penanganan bencana tidak cukup dilakukan pemerintah melalui program tanggap darurat -- namun keterlibatan masyarakat luas sangat dibutuhkan untuk berperanserta supaya pengendalian bencana yang terjadi dapat dilakukan semua pihak secara bersama.

Nah, ajakan jangan takut, jangan panik, termasuk perlunya bersahabat, berdamai dan berkompromi dengan bencana tentunya layak diapresiasi. Namun demikian ajakan persuasif ini tidak cukup hanya sekadar diwacanakan dan dipublikasikan lewat media.

Lebih dari itu, bersahabat, berdamai dan berkompromi perlu dipersepsi sama sehingga dalam menghadapi bencana (alam maupun nonalam) memiliki maksud dan tujuan sama.

Barangkali bersahabat, berdamai atau berkompromi dalam cakupan luasnya yaitu perlunya memahami tentang peristiwa bencana yang akan/sedang kita hadapi, setidaknya memahami karakter bencana, faktor penyebab, langkah yang dilakukan untuk menghindari agar tak menjadi korban, mencegah perluasan dampak buruk bencana, pertolongan pertama jika tertimpa musibah/bencana, dan apa saja yang perlu dilakukan bilamana bencana mulai mereda.

Dengan demikian tidak serta merta membenci, antipati, memusuhi, apalagi marah kepada realitas atau peristiwa bencana yang dihadapi. Melalui langkah proporsional, beradaptasi, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada selanjutnya dapat membimbing kita menemukan solusi terbaik tanpa diliputi rasa takut berlebihan serta panik yang hanya akan menambah masalah baru.

Sekaitan hal tersebut, munculnya istilah new normal belakangan ini --  juga masih diperlukan kesamaan persepsi antara pemerintah dengan khalayak luas sehingga apa yang perlu dilakukan, bagaimana menjalani aktivitas kehidupan di tengah ancaman bencana nonalam yaitu wabah Covid-19, supaya kesalahpahaman dapat dihindari.

Di sinilah langkah penyadaran terhadap warga/masyarakat sangat diperlukan, bagaimana kesiapan mereka dan apa yang harus dilakukan ketika menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana menjadi pentimg dilakukan kapan saja dan di mana saja, sebagai upaya untuk mengurangi dampak bencana.

Seperti tercakup dalam Pasal 1 angka 9, UU No.24 Tahun 2007 bahwa mitigasi sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana.

Adapun tujuan mitigasi di antaranya untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada di kawasan rawan bencana. Meminimalisir risiko dan dampak yang mungkin terjadi karena suatu bencana, seperti korban jiwa, kerugian ekonomi dan kerusakan lainnya.

Dilihat dari perspektif manajemen bencana, untuk mitigasi bencana alam ternyata belajar dari peristiwa gempa + tsunami di Aceh (2004), gempa Yogyakarta (2006) serta bencana alam lain -- selanjutnya diperkuat regulasi yaitu UU No.24 Tahun 2007  beserta peraturan terkait maka terselenggaralah mitigasi bencana alam (gempa bumi, tsunami, gunung  meletus,  banjir,  kekeringan,  angin  topan,  dan  tanah  longsor) dan sudah disosialisasikan terutama di lokasi-lokasi rawan bencana.

Akan tetapi mengingat peristiwa bencana bukan hanya berupa bencana alam, namun ada juga bencana nonalam yaitu bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian  peristiwa  nonalam  antara  lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bukankah hal ini juga memerlukan mitigasi?

Memang dapat dipahami bahwa pandemi Covid-19 sebagai bencana nonalam datangnya relatif cepat, mendadak, di luar perkiraan dan ternyata telah banyak merenggut korban jiwa. Kurangnya pembekalan pengetahuan, minimnya tingkat kesadaran telah menyebabkan masyarakat tergagap, ada pula yang masih abai atau cuek mengahadapinya.

Barangkali emergency response sebagai tindakan tanggap darurat/upaya proaktif pemerintah seperti membentuk Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 merupakan langkah strategis yang layak didukung, walaupun sebelumnya tak pernah dilakukan mitigasi wabah penyakit.

Ke depannya, pengondisian prabencana tak kalah pentingnya mendapat fokus perhatian sebagaimana disebut dalam regulasi penanggulangan bencana. Upaya penyadaran masyarakat melalui pendidikan, pelatihan, atau simulasi kesiapsiagaan menghadapi bencana nonalam akan lebih melengkapi supaya dampak buruk wabah penyakit dapat diminimalisir.

Mitigasi bencana nonalam seperti wabah penyakit perlu sesegera mungkin disusun dalam pedoman/panduan dan disosialisasikan sehingga pemerintah tidak hanya mengandalkan pendekatan emergency response dalam setiap penanganan bencana -- tetapi masyarakat dilibatkan melalui pembekalan/penyelenggaraan mitigasi.

Sebelum ditemukan vaksin penangkal Covid-19 diperkirakan wabah penyakit ini masih akan mengancam. Sekali lagi, mitigasi dibutuhkan supaya masyarakat punya bekal pengetahuan terhadap bencana yang dihadapi selama pandemi berlangsung, apa yang mendesak dilakukan. Jangan sampai ketidaktahuan ini justru cenderung mengundang banyak korban.

Edukasi terhadap masyarakat/melibatkan masyarakat secara terorganisir dalam kesiapan menghadapi berbagai bencana perlu terus ditingkatkan. Tidak ada kata terlambat daripada tidak sama sekali.

JM (3-6-2020).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun