Setidaknya setelah sepuluh tahun era reformasi berlangsung (hingga 2008), dampak positifnya belum juga banyak terwujud. Ini ditandai semakin menjumurnya lembaga-lembaga atau partai politik yang kurang mendukung sehingga langkah politik transaksional banyak dilakukan.Â
Dibangunnya lembaga politik cenderung hanya sekadar untuk meraih kekuasaan serta keuntungan di bidang ekonomi semata. Para aktivis atau "oposan" yang tadinya cukup lantang meneriakkan demokrasi semakin ikutan terpecah larut dalam perebutan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan masing-masing.
Tak urung, akibat dari itu semua turut serta menumbuhkan "persaingan" yang ditandai adanya "benturan kepentingan" antarpihak. Ditambah keberagaman di lingkungan kita dilihat dari struktur sosial kurang kondusif terhadap toleransi, karakter masyarakat sangat rentan konflik, fragmentasi, dan menajamnya tingkat polarisasi sosial -- telah sedikit banyak ikut mengaburkan tuntutan reformasi itu sendiri.Â
Sejak itulah penulispun menjadi pesimis terhadap sistem demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini, tidak sesuai dengan harapan. Supremasi hukum dan penegakan HAM juga belum menampakkan perkembangan yang cukup berarti.
Rasa pesimis pun pernah penulis salurkan saat itu dalam sebuah tulisan opini ringan di sini.
Seiring perjalanan waktu hingga tahun 2014 sampai sekarang, dengan lahirnya beberapa penyempurnaan kebijakan/aturan main secara formal di sana-sini nampaknya ini sebagai langkah baik, merupakan upaya evaluasi.Â
Namun perwujudan sebagaimana tuntutan reformasi masih menjadikan penulis skeptis (awalnya optimis, disusul pesimis, dan 2014 hingga sekarang masih skeptis). Mengingat pada tataran realitasnya bahwa selama 20 (duapuluh) tahun reformasi kalau boleh dikatakan cenderung "masih berjalan di tempat."
Pertanyaan yang perlu dikemukakan, mengapa dan bagaimana supaya sistem pemerintahan di era reformasi berjalan seperti diharapkan sesuai tuntutannya?
Secara umum dapat dikatakan bahwa "reformasi" terdiri dari kata re (kembali) dan formasi (tatanan). Dalam arti bahwa perlunya dilakukan penataan kembali, karena tatanan lama sudah dianggap nggak karu-karuan alias amburadul. Â
Itu sebabnya melalui tatanan baru (demokrasi, supremasi hukum, dan menjunjung HAM) diharapkan untuk meraih kesejahteraan rakyat di negeri ini.
Banyak aspek yang perlu dilihat bilamana kita inginkan konsistensi dalam melangsungkan reformasi. Baik dilihat dari sisi internal maupun eksternal. Di sisi internal, banyak berkait dengan sumberdaya manusia pelakunya. Secara luas ini penting, mengingat di dalam reformasi itu sendiri tidak hanya membincang tentang terbangunnya suatu sistem serta aturan main yang disusun sedemikian rupa indahnya.