Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tragedi Mei 1998, Momentum untuk Membangun Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

25 Mei 2018   23:16 Diperbarui: 26 Mei 2018   10:51 2719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Mahasiswa sudah "menduduki" Gedung DPR/MPR pada Mei 1998. (Foto: Arbain Rambey)

Duapuluh tahun yang lalu, tepatnya bulan Mei 1998, merupakan sejarah yang tak terlupakan. Terutama berkait dengan dinamika maupun perkembangan politik nasional terkait pergantian atau perubahan sistem pemerintahan di negeri ini.

Tumbangnya rezim orde baru yang dipicu oleh kondisi perekonomian tidak menentu (baca:  krisis ekonomi melanda Indonesia) telah berdampak serius hingga meluas dan semakin menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Hal ini sesungguhnya telah ditandai beberapa tahun sebelumnya, munculnya demo mahasiswa dan para aktivis atau "oposan" yang mengritik pemerintah, kurang mendapat respons dan tidak diakomodir sehingga kekecewaan terus berlangsung, bahkan semakin terakumulasi.

Tumbuhnya organisasi politik yang berparadigma kritis mulai marak, LSM atau non-government organization/NGO, seperti PRD (Partai Rakyat Demokratik), bahkan sejumlah kelompok serupa tumbuh bak gayung bersambut -- dengan menampilkan sosok-sosok "pembangkang" telah menampakkan semakin kokohnya pressure group.

Termasuk pecahnya PDI (PDI Pro Suryadi vs PDI Pro Megawati) hingga penyerangan terhadap markas PDI di Jalan Diponegoro Jakarta yang dikuasai PDI Megawati, atau sering disebut "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli 1996) menunjukkan bahwa penyelesaian masalah secara represif sangat kurang manjur untuk mencapai kesepahaman sehingga justru berdampak mengundang empati dari banyak kalangan hingga masyarakat intelektual di tingkatan akar rumput.

Demikian halnya, tewasnya (tertembaknya) beberapa mahasiswa yang tergabung dalam demonstran pada 12 Juli 1998 -- semakin memicu resistensi berbagai kalangan hingga mendorong/menimbulkan kericuhan meluas di beberapa lokasi, kerusuhan serta penjarahan hingga terjadi penodaan hak asasi manusia di beberapa tempat.

Puncak resistensi terjadi ketika demonstrasi secara massal oleh para mahasiswa dari segenap penjuru menduduki Gedung DPR-RI Senayan yang terus "menyemut" selama tiga hari berturut-turut mulai 18 Mei hingga 21 Mei 1998 -- yang akhirnya terjawab dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden RI. Dan sejak itulah dinamakan atau sering disebut "Era Reformasi" berkumandang hingga perjalanannya sampai sekarang.

Perlu diketahui bahwa tuntutan reformasi antara lain: demokratisasi, supremasi hukum, menjunjung HAM/hak asasi manusia. Sejak itu pula dalam pemerintahan yang baru selanjutnya disusul lahirnya berbagai kebijakan/aturan yang menyesuaikan dengan tuntutan reformasi tersebut. Termasuk ketentuan yang mengatur media dan komunikasi semakin memiliki kemerdekaan atau kebebasan dalam melakukan fungsi dan peranannya.

Sistem pemerintahan baru di antaranya ditandai dengan lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang banyak mengatur otonomi serta UU No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, merupakan salah satu langkah yang dicapai pemerintah di era reformasi. Substansi kebijakan ini sebagai bagian dari demokratisasi, untuk mengubah paradigma pendekatan pembangunan dari pendekatan "atas ke bawah" (top-down) menjadi "bawah ke atas" (bottom-up) sesuai jiwa dan semangat Pancasila dan UUD 1945.

Perubahan dari era otoritarian menjadi era yang lebih demokratis ini sesungguhnya memberi harapan  bahwa babak baru telah membuka jalan sekaligus menumbuhkan semangat perubahan untuk mencapai kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Penulis pun merasa optimis dengan semakin bergairahnya awal demokratisasi di segala bidang. Setidaknya, hingga tahun 2004 eforia era reformasi masih berlangsung dengan dimulainya perubahan disana-sini.

Nah, dalam perjalanannya lebih jauh, setidaknya menurut cermatan penulis -- apa yang menjadi tuntutan reformasi mulai menampakkan ketidak-konsistenannya -- mengingat terlalu banyak kepentingan yang "bermain" sehingga momentum perubahan yang seharusnya disikapi dalam kesamaan sikap, pandangan dan persepsi  demi kemajuan bersama, cenderung semakin jauh panggang dari api.

Setidaknya setelah sepuluh tahun era reformasi berlangsung (hingga 2008), dampak positifnya belum juga banyak terwujud. Ini ditandai semakin menjumurnya lembaga-lembaga atau partai politik yang kurang mendukung sehingga langkah politik transaksional banyak dilakukan. 

Dibangunnya lembaga politik cenderung hanya sekadar untuk meraih kekuasaan serta keuntungan di bidang ekonomi semata. Para aktivis atau "oposan" yang tadinya cukup lantang meneriakkan demokrasi semakin ikutan terpecah larut dalam perebutan kekuasaan untuk memenuhi kepentingan masing-masing.

Tak urung, akibat dari itu semua turut serta menumbuhkan "persaingan" yang ditandai adanya "benturan kepentingan" antarpihak. Ditambah keberagaman di lingkungan kita dilihat dari struktur sosial kurang kondusif terhadap toleransi, karakter masyarakat sangat rentan konflik, fragmentasi, dan menajamnya tingkat polarisasi sosial -- telah sedikit banyak ikut mengaburkan tuntutan reformasi itu sendiri. 

Sejak itulah penulispun menjadi pesimis terhadap sistem demokrasi yang sedang dibangun di negeri ini, tidak sesuai dengan harapan. Supremasi hukum dan penegakan HAM juga belum menampakkan perkembangan yang cukup berarti.

Rasa pesimis pun pernah penulis salurkan saat itu dalam sebuah tulisan opini ringan di sini.

Seiring perjalanan waktu hingga tahun 2014 sampai sekarang, dengan lahirnya beberapa penyempurnaan kebijakan/aturan main secara formal di sana-sini nampaknya ini sebagai langkah baik, merupakan upaya evaluasi. 

Namun perwujudan sebagaimana tuntutan reformasi masih menjadikan penulis skeptis (awalnya optimis, disusul pesimis, dan 2014 hingga sekarang masih skeptis). Mengingat pada tataran realitasnya bahwa selama 20 (duapuluh) tahun reformasi kalau boleh dikatakan cenderung "masih berjalan di tempat."

Pertanyaan yang perlu dikemukakan, mengapa dan bagaimana supaya sistem pemerintahan di era reformasi berjalan seperti diharapkan sesuai tuntutannya?

Secara umum dapat dikatakan bahwa "reformasi" terdiri dari kata re (kembali) dan formasi (tatanan). Dalam arti bahwa perlunya dilakukan penataan kembali, karena tatanan lama sudah dianggap nggak karu-karuan alias amburadul.  

Itu sebabnya melalui tatanan baru (demokrasi, supremasi hukum, dan menjunjung HAM) diharapkan untuk meraih kesejahteraan rakyat di negeri ini.

Banyak aspek yang perlu dilihat bilamana kita inginkan konsistensi dalam melangsungkan reformasi. Baik dilihat dari sisi internal maupun eksternal. Di sisi internal, banyak berkait dengan sumberdaya manusia pelakunya. Secara luas ini penting, mengingat di dalam reformasi itu sendiri tidak hanya membincang tentang terbangunnya suatu sistem serta aturan main yang disusun sedemikian rupa indahnya.

Faktor manusia sebagai penggerak reformasi menjadi layak dicermati, karena dalam suatu perubahan yang diinginkan tersebut tidak terlepas dari sikap-mental terutama mereka yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait mind-set yang terkandung di dalamnya. Betapapun eloknya tatanan maupun aturan baru jika tidak dibarengi perubahan mind-set akan menjadi sia-sia belaka. 

Sama halnya dengan reformasi hanya menampakkan keseragaman baju atau nomenklatur dan sejenisnya yang dikumandangkan. Sementara itu "benak" pelakunya masih diselimuti virus-virus lama yang bisa kambuh menjadi penghambat jalannya reformasi itu sendiri.

Di sisi eksternal, perubahan yang sedang berlangsung di negeri ini juga bersamaan dengan globalisasi, berlangsungnya era pasar bebas ditandai liberalisasi perekonomian yang belum disertai kesiapan masyarakat dan regulasinya yang sering terlambat --sehingga menambah persoalan baru dan jika ini semua kurang terkendali justru nilai-nilai dari luaran sana yang tidak sesuai dengan bumi kita akan turut serta memengaruhi keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Singkat kata sebagai wacana di akhir tulisan ini, sudah saatnya para pelaku reformasi terutama yang tercakup dalam sistem pemerintahan (pemerintah dan jajarannya, wakil rakyat, para pemangku kepentingan, pengusaha dan lainnya, dari pusat hingga daerah) yang terlibat secara langsung atau tidak terhadap pengambil dan pelaksana kebijakan -- diharapkan sudah melakukan perubahan sikap/perilaku, pola pikir atau mind-set  menyesuaikan dengan apa yang menjadi tuntutan reformasi beserta penjabaran untuk mewujudkannya.

Memang bisa dipahami bahwa merubah mind-set tidaklah semudah membalik telapak tangan, mengubah pola pikir lama dan menjadi reformis sejati untuk melanjutkan kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini tidaklah gampang. Itu sebabnya, langkah awal yang perlu dilakukan adalah menyangkut rekrutmen atau memilih "orang-orang penting" yang secara sadar dan sanggup berkontribusi nyata mengisi perubahan menjadi mendesak dilakukan.

Lengsernya rezim Orde Baru ditandai Tragedi  Mei 1998 dan melahirkan orde reformasi sebagai momentum untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara sangat disayangkan karena struktur pemerintahan hanya diisi oleh petinggi yang tidak memahami arti penting atau makna reformasi. 

Seperti halnya jabatan-jabatan strategis yang masih diduduki mereka yang berparadigma lama hanya sebatas ditunjukkan melalui "sandangan baju" tanpa diikuti perubahan sikap maupun pola pikir yang masih melantunkan "lagu lama" dan hanya dikemas dalam versi baru.

Bagaimana mungkin "revolusi mental" akan dapat diharapkan terwujud bila para pengambil kebijakan masih diselimuti pola-pola dan tindakan model lama hanya ingin memeroleh kekuasaan yang harus diraih dan dipertahankan demi pengamanan serta kenyamanan posisinya. Ini merupakan salah satu penyebab mengapa tuntutan reformasi tak kunjung terjawab karena dilakukan melalui sikap "tidak sungguh-sungguh" oleh para motor penggeraknya.

Salah satu langkah realistis dan serius dalam rangka penataan kembali formasi tata pemerintahan sejalan dengan dinamika serta perubahan menuju kehidupan sosial, politik dan ekonomi yang lebih maju sesuai dengan zamannya -- maka dalam konteks saat ini yaitu melalui cara memilih, menempatkan atau memosisikan orang-orang kunci/penting secara selektif mulai dari pejabat/petinggi pemerintahan di pusat hingga di daerah yang sekaligus berperan sebagai perumus, pengambil dan pelaksana kebijakan untuk memenuhi kepentingan rakyat sejalan tuntutan reformasi.

Jangan sampai memilih "kucing dalam karung" di mana posisi strategis di lembaga-lembaga pemerintahan yang seharusnya diduduki oleh mereka yang mumpuni dan berjiwa reformis -- malahan  diserahkan/ditempati yang tidak memiliki kemampuan melakukan perubahan paradigma sesuai dengan tuntutan seiring dinamika sosial-politik di era kekinian.

Dan sebagai konsekuensinya, bagi mereka yang tidak memiliki kompetensi maupun persyaratan sebagaimana tuntutan reformasi (tanpa kecuali) -- sudah selayaknya "minggir" atau "dipinggirkan" karena akan selalu merecoki proses pembaruan yang dimulai penataan kembali sistem pemerintahan demi masa depan bangsa dan negara tercinta ini.

Tragedi Mei 1998 disusul lahirkan era reformasi yang seharusnya menjadikan momentum untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara sayang sekali nampak disia-siakan. Sudah 20 tahun era reformasi ini berlangsung, diharapkan jangan sampai/hanya menjadi ajang perebutan untuk meraih kekuasaan serta keuntungan ekonomi kalangan tertentu dengan mengatasnamakan demokrasi maupun kebebasan tanpa dilandasi tanggung jawab berjangka panjang.

JM (25-5-2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun