Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beberapa Peribahasa dari Lembah Baliem, Wamena

15 Mei 2018   03:43 Diperbarui: 15 Mei 2018   03:51 3854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pepatah nasional "Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya" ini ternyata sangat tepat untuk menjadikan dasar berpijak ketika di mana pun kita berada. Hal demikian mirip-mirip dengan pepatah lain "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung."

Demikianlah manakala kita hendak memasuki daerah/wilayah yang belum begitu akrab (fisik dan psikologis) sehingga langkah adaptif akan mendorong terjadinya komunikasi lebih lanjut dalam keberagaman dan berjangka panjang. Dalam kata lain, dengan belajar memahami hidup dan kehidupan maka kita akan membangun suatu kebersamaan antarsesama.

Begitu halnya, ketika penulis kemarin siang memasuki Lembah Baliem, Wamena (Kabupaten Jayawijaya) Papua berbekal pepatah di ataslah semuanya berlangsung aman, lancar, dan  tak mengalami kendala hingga di tempat penginapan semuanya sangat melegakan (baca: menyenangkan).

Kesan utama di Wamena kemarin disambut hawanya yang sejuk, sorenya cenderung dingin dan malamnya hawa dingin semakin menusuk disusul hujan, hingga kini masih melekat dalam ingatan. Minuman penghangat badan yang tentu banyak menemani sambil berbincang-bincang bersama kolega hingga larut.

Ketika mata mulai terasa lelah, ngantukpun tidak bisa berlanjut tidur -- mengingat begitu dinginnya udara,  selanjutnya kubuka buku-buku berkait dengan kehidupan masyarakat Lembah Baliem, Wamena.  Banyak ditemui ungkapan peribahasa yang mencerminkan kehidupan atau budaya setempat. Di antaranya dapat dicupik yaitu:

Apuni Inyamukut Werek Halok Yugunat Tosu, terjemahannya: "Berbuatlah sesuatu yang terbaik terhadap sesama"

Maksudnya, seringkali ini diucapkan oleh orangtua kepada anak-anaknya bahwa jika bertemu dengan orang-orang miskin, orang-orang kumal, orang buta-tuli, orang sakit, anak yatim piatu, kasihanilah semuanya. Berilah dan berpihaklah kepada mereka. Jangan pandang kerugiannya, karena malakukan perbuatan baik adalah perbuatan yang mendatangkan rezeki berlimpah dan menjadi panjang umur.

Hepuru Nyruak Legesonogen Nekarek, terjemahannya: "Pada saat makan jangan menundukkan kepalamu"

Maksudnya, jika makan bersama-sama dengan orang lain, di rumah maupun di tempat pesta maka harus melihat sesama yang ada di sekeliling. Belum tentu orang yang berada di sekitar kita mendapatkan bagian/makanan yang sama dengan yang kita makan. Jika menemui hal demikian, lebih baik makananmu diberikan kepada orang tersebut. Ini menunjukkan rasa kasih sayang sangat tinggi.

Wenekak Nyelokokennowa Lak-lak Egarek, terjemahannya: "Berkomunikasi dengan sesama sambil bertatap muka"

Maksudnya, jika kita melakukan komunikasi dengan sesama yang lebih dari dua orang, harus sambil berpandangan/bertatap muka dalam semua sudut pandangan. Kalau tidak begitu, akan dinilai bahwa orang tersebut mempunyai masalah besar. Namun jika matanya melihat ke semua sudut pandang, akan dinilai orang tersebut menjadi hebat/ternama.

O Eki Tegoko Legarekhak Lilik Halok Hapukhogo Welagecarek, terjemahannya: "Bagaikan ranting kayu yang hanyut di arus"

Maksudnya, orang Baliem, Wamena kalau merantau biasanya ada sebab-sebabnya. Terutama kepada anak-anak mereka sebelum merantau para orangtua biasanya memberi nasehat maupun pesan.

Nasehatnya antara lain, jikalau suatu saat nanti kalian pergi merantau ke negeri orang, pertama-tama membawa diri di lingkungan masyarakat dengan sopan agar disenangi banyak orang. Sedangkan pesannya:  bekerjalah secara tekun agar dipandang sebagai orang yang tahu bekerja. Melalui keuletan kerja itulah hasilnya akan bisa dinikmati sendiri dan juga dinikmati orang lain.

Ika-Oka, Sue-hagey, Yiwalo-tiwalo, Yitom-titom, Yuhelep-tihelep Aroma apuniat anagare ane lek iluk akagusep, terjemahannya: "Segala macam tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, batu-batuan yang ada di bumi ini adalah manusia"

Dimaksudkan, bahwa rumput, pohon, batu, pasir, ular, burung, gunung, gowa, mata air, telaga, menurut pemahaman masyarakat di lembah Baliem mempunyai ibu dan bapak sehingga memiliki bahasa sendiri dan dapat berkata-kata dengan sesamanya, juga mempunyai asal usul tersendiri. Hormatilah dan hargailah semua makhluk hidup maupun benda mati serta alam yang berada di permukaan bumi ini.

Wenekak O Hesekewa Kolik Walagarek, terjemahannya: "Sejumlah masalah atau informasi sakral digantungkan di tiang rumah"

Dimaksudkan, bahwa orang Baliem/Wamena atau pegunungan Jayawijaya pada umumnya jika membangun rumah biasanya berupa honai (rumah tidur laki-laki) dan eweai (rumah tidur perempuan). Rumah-rumah tersebut berbentuk bulat dengan empat kayu ditanamkan ke dalam tanah supaya kuat, kokoh dan tahan terhadap segala goncangan.

Nah, keempat kayu tersebut melambangkan kekokohan dalam penyimpanan sejumlah berita/informasi sakral yang akan selalu disampaikan dari generasi secara turun temurun, antara lain pengetahuan tentang cara upacara adat, upacara penyembuhan, strategi perang, upacara inisiasi (Ap Waya) upacara perkawinan,  upacara tiga malam (kematian orang Wam wakum) dan lain-lain.

Penyampaian informasi-informasi atau berita penting dari generasi ke generasi ini dilakukan secara lisan (bukan melalui tulisan) dan dilakukan secara berkesinambungan, sehingga pelestarian tradisi/adat istiadatnya tetap terjaga, tidak kehilangan nilai sejarah atau identitas kelokalan.

Tidak menjumpai koteka

Sejenak berkeliling kota Wamena atau kawasan Lembah Baliem ternyata penulis tidak pernah menemui satupun warga setempat yang mengenakan koteka. Kehidupan warga/penduduk di Lembah Baliem berpakaian sehari-hari seperti kita pada umumnya.

Banyak orang berpikir dan salah persepsi bahwa mereka setiap laki-laki memakai koteka untuk menutupi kemaluannya dan prempuan memakai sali yakni rok yang terbuat dari rumput dan bertelanjang dada. Bahkan ada yang menganggap mereka berpakaian seperti itu sebab mereka tidak mempunyai penghasilan yang cukup untuk berpakaian layak.

Anggapan tersebut sudah waktunya dibuang jauh-jauh, karena dalam kenyataannya sekarang masyarakat (suku Dani) di Lembah Baliem/Wamena sehari-harinya sama dengan kita pada umumnya. Hanya untuk hari-hari khusus saja misalnya ada perayaan atau festival budaya, mereka mengenakan pakaian tradisional yaitu koteka dan sali sebagai sebuah kebanggaan atau kesukuan. Itu sebabnya, sekali lagi jangan salah persepsi tentang penggunaan pakaian tradisi di Wamena.

Koteka adalah busana tradisional pria yang terbuat dari kulit labu air dan kepalanya ditutupi bulu cendrawasih atau kasuari. Sali merupakan busana perempuan yang belum menikah, dan yokel sebagai busana/rok yang dipakai perempuan sudah menikah.

Bacaan:

Cyrillus W.R Luntungan, Baliem Budaya yang Tersisa dari Jaman Batu, Sunspirit Books, 2013.

Indonesia Travel SignatureMagazine, Vol.9, Edisi Khusus Jayawijaya, 2016.

Buku: Cerita Rakyat dan Ungkapan Peribahasa Daerah Lembah Baliem Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan Pemerintah Provinsi Papua Tahun 2003.

JM (15-5-2018).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun