Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Beberapa Peribahasa dari Lembah Baliem, Wamena

15 Mei 2018   03:43 Diperbarui: 15 Mei 2018   03:51 3854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

O Eki Tegoko Legarekhak Lilik Halok Hapukhogo Welagecarek, terjemahannya: "Bagaikan ranting kayu yang hanyut di arus"

Maksudnya, orang Baliem, Wamena kalau merantau biasanya ada sebab-sebabnya. Terutama kepada anak-anak mereka sebelum merantau para orangtua biasanya memberi nasehat maupun pesan.

Nasehatnya antara lain, jikalau suatu saat nanti kalian pergi merantau ke negeri orang, pertama-tama membawa diri di lingkungan masyarakat dengan sopan agar disenangi banyak orang. Sedangkan pesannya:  bekerjalah secara tekun agar dipandang sebagai orang yang tahu bekerja. Melalui keuletan kerja itulah hasilnya akan bisa dinikmati sendiri dan juga dinikmati orang lain.

Ika-Oka, Sue-hagey, Yiwalo-tiwalo, Yitom-titom, Yuhelep-tihelep Aroma apuniat anagare ane lek iluk akagusep, terjemahannya: "Segala macam tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, batu-batuan yang ada di bumi ini adalah manusia"

Dimaksudkan, bahwa rumput, pohon, batu, pasir, ular, burung, gunung, gowa, mata air, telaga, menurut pemahaman masyarakat di lembah Baliem mempunyai ibu dan bapak sehingga memiliki bahasa sendiri dan dapat berkata-kata dengan sesamanya, juga mempunyai asal usul tersendiri. Hormatilah dan hargailah semua makhluk hidup maupun benda mati serta alam yang berada di permukaan bumi ini.

Wenekak O Hesekewa Kolik Walagarek, terjemahannya: "Sejumlah masalah atau informasi sakral digantungkan di tiang rumah"

Dimaksudkan, bahwa orang Baliem/Wamena atau pegunungan Jayawijaya pada umumnya jika membangun rumah biasanya berupa honai (rumah tidur laki-laki) dan eweai (rumah tidur perempuan). Rumah-rumah tersebut berbentuk bulat dengan empat kayu ditanamkan ke dalam tanah supaya kuat, kokoh dan tahan terhadap segala goncangan.

Nah, keempat kayu tersebut melambangkan kekokohan dalam penyimpanan sejumlah berita/informasi sakral yang akan selalu disampaikan dari generasi secara turun temurun, antara lain pengetahuan tentang cara upacara adat, upacara penyembuhan, strategi perang, upacara inisiasi (Ap Waya) upacara perkawinan,  upacara tiga malam (kematian orang Wam wakum) dan lain-lain.

Penyampaian informasi-informasi atau berita penting dari generasi ke generasi ini dilakukan secara lisan (bukan melalui tulisan) dan dilakukan secara berkesinambungan, sehingga pelestarian tradisi/adat istiadatnya tetap terjaga, tidak kehilangan nilai sejarah atau identitas kelokalan.

Tidak menjumpai koteka

Sejenak berkeliling kota Wamena atau kawasan Lembah Baliem ternyata penulis tidak pernah menemui satupun warga setempat yang mengenakan koteka. Kehidupan warga/penduduk di Lembah Baliem berpakaian sehari-hari seperti kita pada umumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun