Dunia tulis menulis memang sebuah pilihan. Terutama bagi mereka yang berhasrat mengekspresikan suatu ide atau gagasan, pendapat/opini, termasuk dalam hal ini berupa pemikiran atau menuangkan perasaan. Baik karya tulis berupa fiksi atau non-fiksi, semua itu sesungguhnya merupakan proses kreativitas personal, proses produktif yang dilakukan seseorang sehingga akan memberi/menambah wawasan atau pengetahuan bagi pembacanya.
Sangat mungkin giat menulis ini dilakukan, entah untuk dikonsumsi sendiri (diary) bahkan tidak sedikit yang disampaikan untuk dikonsumsi orang lain, bisa disajikan melalui media. Karya tulis yang berhasil dipublikasikan tersebut barang tentu merupakan bukti bahwa lingkup jangkauannya lebih luas. Berarti pula ide/gagasan atau pemikiran yang telah diekspresikan akan mendapat sambutan (baca: tanggapan) khalayak dari berbagai tempat.
Nah, masalah tanggapan khalayak ini seringkali menjadikan "beban" atau terjangkit "rasa ketakutan" bagi para penulis terutama mereka yang masih pemula. Dan masalah demikian seharusnya tidak perlu terjadi bilamana kita ingin dan tetap berkemauan untuk selalu dan terus menulis, apapun tanggapan, sambutan, atau respons yang terjadi.
Tentunya sangat lumrah andai saja ada yang tidak suka terhadap apa yang telah kita ekspresikan dalam sebuah tulisan. Barang tentu inipun perlu dihadapi dan tidak perlu sampai menjadi beban dan merusak gairah selama si penulis masih tetap dalam koridor aturan main medium yang memuat tulisannya.
Penguasaan terhadap substansi atau topik yang ditulis merupakan salah satu langkah untuk menjawab tanggapan secara bijak, sehingga interaksi semakin hidup yang pada gilirannya akan mendorong proses dinamika sosial.
Hal lain yang biasanya menurunkan minat berkarya tulis sehingga semangat menulisnya berkurang alias "jatuh bangun" lebih dikarenakan terpaku pada kaidah penulisan. Persoalan kaidah ini seharusnya tidak mutlak harus dikuasai/dimiliki oleh setiap penulis.
Memang untuk medium atau wadah tertentu, persyaratan kaidah ini telah disyarat-wajibkan dan harus dipenuhi seperti kalau kita mengirim karya tulis ke jurnal-jurnal ilmiah, penerbitan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), penerbitan buku/jurnal akademis di lingkungan kampus atau jurnal yang diterbitkan lembaga penelitian dan pengembangan (litbang) terakreditasi atau sejenisnya -- semua kaidah tidak bisa dilepaskan.
Akan tetapi lain halnya  di luar wadah tersebut, kaidah menulis bisa saja dibangun oleh penulisnya sendiri. Di media-media populer, termasuk di Kompasiana boleh saja setiap penulis dalam menuangkan ide/gagasan, pemikiran menurut kaidah yang dibuatnya sendiri. Semakin tinggi "jam terbang" menulis maka secara individual setiap penulis akan menemukan kaidah sesuai dengan  gaya penulisan masing-masing.
Kalaupun dimungkinkan setiap penulis mempelajari bagaimana teknik menulis melalui buku-buku, mengkaji tulisan orang lain atau bisa pula belajar teknik menulis dari orang lain yang dianggap mumpuni -Â tentu tidak ada salahnya.
Orang lain di sini hanya sebagai mitra untuk pengembangan diri, sehingga nanti seorang penulis akan mengembangkan dirinya seiring dimulai praktek menulis. Yang terpenting adalah lakukanlah action langsung menulis, karena tidaklah akan menemukan teknik menulis yang sesuai dengan dirinya bila tidak menjalani praktek menulis.
Perlu diketahui, khususnya menulis di Kompasiana tidak selalu terikat kaidah harus begini dan harus begitu. Untuk menulis reportase atau liputan peristiwa misalnya, terpenting adalah menyampaikan fakta. Persoalan lain seperti bagaimana menyusun formula pemberitaan, struktur kalimat, efisiensi kata atau kalimat, penggunaan ejaan yang disempurnakan (EYD) bisa menyusul di kemudian hari.
Ini layak dipahami, mengingat Kompasiana sebagai wadah jurnalisme berbasis warga, sehingga memungkinkan setiap warganya (netizen, atau kompasianer) sesuai kemampuannya boleh menjadi pewarta warga untuk melaporkan peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Keterlibatan setiap warga inilah yang selanjutnya ikut mempercepat arus informasi dalam proses demokrasi di negeri ini.
"Jatuh bangun" di dunia kepenulisan bisa pula ditandai oleh menurunnnya "libido menulis" dan ini perlu dicarikan solusi supaya produktivitas dalam menulis tidak mengalami stagnasi. Kebanyakan alasan/sebab utama dalam masalah ini terkait belum ada atau belum punya "inspirasi" sehingga tidak punya "amunisi" untuk mengekspresikan topik yang akan diangkat dalam sebuah karya tulis.
Pada hal yang namanya inspirasi itu banyak ditemui di mana-mana. Membaca segala macam bacaan yang berhubungan dengan minat, mendengar, melihat setiap peristiwa sesungguhnya terselip inspirasi di dalamnya. Kecerdasan intuisi pun dapat terasah bilamana setiap manusia mampu menggerakkan inderanya sehingga dalam perkataan lain menulis merupakan kreativitas individu dan sejauh mana penulis mau menghidupkan subyektivitas untuk kemudian mengekspresikan dalam karyanya.
Semoga tulisan ini sekaligus memberi jawaban atas pertanyaan beberapa rekan/kolega di beberapa tempat yang hampir setiap kesempatan menanyakan tentang dunia kepenulisan. Saya pun sampai sekarang masih selalu dan terus belajar untuk menulis, menyesuaiakan dengan kultur serta teknologi yang digunakan media sebagai wadahnya.
Artikel terkait:
https://www.kompasiana.com/jk.martono/menulis-bukan-hanya-masalah-inspirasi_551f7a2e81331111039df6fb
JM (3-5-2018).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H