Berita teranyar menyebutkan bahwa untuk tahun ini, pensiunan PNS dan PNS aktif, akan mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR). Di samping itu  juga mendapatkan uang pensiun ke-13 atau gaji ke-13 bagi PNS aktif.
Sedangkan untuk tahun berikutnya pemerintah masih akan membahas untuk mengubah skema perhitungan gaji dan tunjangan untuk para aparatur sipil negara (ASN) alias PNS. Termasuk di dalamnya terkait penerimaan tunjangan kinerja dan tunjangan kemahalan berdasarkan wilayah kemahalan setiap daerah.
Dalam Kompas.com - 12/03/2018 diberitakan, Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Anggaran menyebut pihaknya segera membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) mengenai gaji tahun 2018. Ditargetkan, pembahasan RPP ini rampung sebelum Lebaran tahun 2018, khusus untuk THR. Sedangkan aturan mengenai gaji atau uang pensiun ke-13 ditargetkan selesai sebelum musim libur sekolah usai.
"Itu sudah diamanatkan di Undang-Undang APBN 2018, yang PP (Peraturan Pemerintah)-nya harus kami siapkan sekarang bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi," kata Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani di gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Pusat, Senin (12/3/2018).
Siapa-siapa yang termasuk PNS atau para pensiunan PNS pastinya patut bersyukur bahwa kesejahteraannya pada tahun ini (diharapkan) menjadi lebih meningkat. Â Mudahan dengan adanya kebijakan baru tersebut bagi yang mendapatkannya bisa memanfaatkan "rezeki nomplok" yang tidak lama lagi diterimakan.
Barang tentu dengan telah diumumkannya kebijakan pemberian THR dan Gaji ke-13 bagi PNS/pensiunan PNS akan berdampak. Terutama di saat-saat lebaran dan menjelang tahun ajaran baru tidak terlalu dibebani biaya-biaya keluarga seiring kebutuhan hidup yang terus meningkat.Â
Setidaknya, para PNS/Pensiunan ibarat mendapat angin segar, sebagai reward atas jasa dan pengabdiannya kepada negara. Belum lagi tahun mendatang, pemerintah akan melakukan penyesuaian gaji PNS berdasar skema baru perhitungan gaji dan tunjangan untuk  PNS. Termasuk penerimaan tunjangan kinerja, tunjangan kemahalan berdasarkan wilayah kemahalan setiap daerah. Hal ini juga patut disyukuri karena kesejahteraan diharapkan semakin baik di kemudian hari.
Masih dalam kaitan kenaikan upah/gaji, di kalangan pekerja swasta pun sudah terlebih dahulu dilakukan penyesuaian yaitu telah diputuskannya kenaikan Upah Minimum Provinsi, Kabupaten, Kota yang dulu disebut Upah Minimun Regional (UMR) per-2018 di setiap daerah. Dari skema pengupahan/gaji  -- telah pula menunjukkan bahwa penerimaan bulanan para buruh atau pekerja swasta ini lebih menjanjikan kesejahteraan dibanding tahun-tahun terdahulu.
Persoalan yang kemudian perlu menjadi bahan cermatan atas kenaikan gaji/upah  di kalangan PNS/Pensiunan maupun di klangan pekerja swasta/buruh adalah akankah penerimaan/pendapatan yang meningkat tersebut bisa menyejahterakan, dalam arti kehidupannya menjadi lebih baik?
Nah berkait pembahasan, bahwa setiap kali ada kabar gaji/upah naik tentu yang bersangkutan merasa senang dan beberapa kiat ke depannya selalu terbayang apa yang hendak dilakukan. Betapa tidak, peningkatan pendapatan yang cukup signifikan biasanya akan berdampak secara psikologis terhadap perilaku seseorang.
Bisa dan boleh saja mengingat pendapatan/gaji meningkat lantas kita berniat membeli mobil atau sepedamotor model terbaru, yang tadinya naik ojek/angkot berpindah pilih naik taksi. Dan seiring gencarnya iklan kemudian ganti smartphone tercanggih. Juga bagi mereka yang tadinya kontrak rumah/kos di pinggiran kota berpindah ke apartemen, yang biasa makan sederhana kemudian ke restoran berkelas, Â lebih sering berbelanja ke mall, dan sejenisnya.
Secara sosiologis ada yang menyebutnya ini sebagai gejala mobilita vertikal, di mana dalam perubahan status ke status yang lebih tinggi akan menjadikan sikap/perilaku seseorang cenderung berbeda dari sebelumnya. Dalam hal ini, sebagai "orang kaya baru" akan cenderung berpola tingkah "lebih wah" entah didasari gengsi, keinginan atau juga kebutuhan dalam memenuhi kepentingan hidup, baik untuk diri maupun keluargannya.
Tentunya dalam menyikapi kenaikan gaji/penghasilan atau manakala kita mendapatkan rezeki lebih dari biasanya - setiap orang tidak selalu sama. Â Semuanya bergantung cara pandang, pola pikir dan kultur ataupun kebiasaan yang melingkupinya. Ada juga yang menyikapinya dengan cara tidak berlebihan dan bersyukur dengan tetap secara proporsional pada saat berbelanja sesuai kebutuhan pokok dam lainnya.
Melakukan evaluasi serta memenej pengeluaran termasuk utang, setelahnya dari hasil kelebihan income di-insvestasikan sebagai saving/tabungan. Memperbaiki sarana transportasi yang masih layak pakai, memanfaatkan alat komunikasi/gawai untuk penunjang aktivitas, Â dan bilamana belum punya rumah bisa mengajukan kredit perumahan sebagai aset -- merupakan pilihan bagi yang mempunyai pandangan masa depan.
Singkat kata, bahwa sepintas tulisan ini substansinya hanya ingin memahamkan bahwa betatapun besar penghasilan yang diperoleh seseorang, belum tentu menjamin kesejahterannya semakin meningkat. Itu tadi, semuanya berkaitan dengan gaya hidup (life style) yang terbentuk dari cara pandang, pola pikir dan kebiasaan yang memengaruhinya.
Konon seorang milyuner di Amrik sana, mobil pribadinya ada yang berumur 20 tahun lalu masih menemani kerja, yang penting tidak rewel dan masih nyaman/layak dipergunakan. Dan ini sekaligus ikut menggambarkan bahwa "membeli fungsi" menjadi pilihan utama daripada "membeli gengsi" Â yang cenderung konsumtif, boros, tak pernah ada batasnya. Dengan perkataan lain, kesejahteraan dan kesuksesan sesungguhnya sangat subyektif dan berkorelasi dengan gaya hidup seseorang.
JM (14-3-2018). Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H