Mohon tunggu...
Joko Martono
Joko Martono Mohon Tunggu... Penulis - penulis lepas

belajar memahami hidup dan kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mendeteksi Awal Terjadinya Kasus Korupsi

4 Desember 2017   20:46 Diperbarui: 10 Januari 2018   02:03 1308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kasus rasuah (korupsi) yang telah ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jumlahnya cukup banyak. Dari tahun ke tahun hingga akhir 2017 terpetik sejumlah berita berkait kasus ini.

Dalam kurun waktu 6 bulan mulai 1 Januari hingga 30 Juni 2017, Indonesia Corupption Watch (ICW) mencatat ada 226 kasus korupsi. Kasus dengan jumlah tersangka 587 orang itu merugikan negara Rp 1,83 triliun dan nilai suap Rp 118,1 miliar (https://news.detik.com, 30 Agustus 2017, 16:04 WIB).

Disebutkan pula, dari 226 kasus korupsi pada semester 1 Tahun 2017 tersebut yang paling rentan adalah lembaga pemerintah daerah. Sebanyak 121 kasus korupsi dilakukan oleh para oknum lembaga Pemerintahan di Daerah, mulai dari tingkat Kabupaten/Kota hingga Provinsi.

Gambaran itu hanya sepintas, belum lagi kasus-kasus korupsi sebelumnya, dan sejak Juli 2017 hingga sekarang kalau ditotal jumlah/seluruhnya menjadi semakin menumpuk. Bahkan hingga saat ini kasus korupsi ada yang sudah diputuskan oleh lembaga hukum (pengadilan tindak pidana korupsi atau Tipikor), selebihnya sedang dalam proses yuridis formal.

Dilihat dari kurun waktu dan sejarahnya, kasus-kasus korupsi sepertinya sudah terjadi dari masa ke masa dan penanganan kasus ini mencuat diberitakan setelah KPK berdiri dan berhasil menjerat para pelakunya untuk diselesaikan melalui proses hukum.

Barang tentu ke depannya, untuk mencegah supaya kasus korupsi yang kalau boleh dianalogikan sebagai penyakit 'mewabah' maka tidak sedikit yang memberikan saran, usul, masukan atau langkah-langkah antisipatif yang perlu disosialisasikan. Misalnya: agenda reformasi jangan sebatas kulitnya, jangan hanya jalan di tempat, tetapi harus menyentuh sikap/perilaku, penyuluhan moral sangat diperlukan terutama bagi para pemegang kekuasaan/pengambil keputusan.

Di sisi lain ada yang mengusulkan untuk mencegah tindakan korupsi perlu penguatan lembaga pengawasan dalam hal ini inspektorat sehingga para pemegang kekuasaan semakin terkontrol, temuan-temuan berupa penyelewengan dapat segera dimonitor, selanjutnya tindak pidana rasuah yang memalukan ini diharap bisa diminimalisir di kemudian hari.

Tak terkecuali jargon-jargon dalam bentuk banner atau sejenis sesungguhnya sudah terpampang di setiap sudut ruangan instansi pusat maupun di daerah. Disusul setiap Aparatur Sipil Negara (ASN) atau yang bekerja di lingkungan pemerintahan sudah menandatangani pakta integiritas sekaligus merupakan janji kepada diri sendiri untuk melaksanakan tugas sesuai peraturan perundangan dan tidak akan melakukan KKN.

Alhasil langkah pencegahan terhadap tindak pidana korupsi itu sepertinya masih kurang efektif, hanya sekadar seremonial, formalitas dan normatif sebatas tingkat wacana, ibaratnya sebagai 'angin berlalu'. Buktinya masih terjadi tindak rasuah/korupsi, bahkan dilakukan oleh mereka yang berkedudukan/jabatan tinggi beserta jaringannya.

Dalam konteks ini, penulis sebagai orang biasa tak hendak ikutan memberikan urun pemikiran, usul/saran, apalagi rekomendasi tentang bagaimana mencegah tindak korupsi dalam artian penyelewengan jabatan/kekuasaan, suap menyuap, gratifikasi, dan turunannya. Percuma saja, karena korupsi sudah tergolong 'penyakit kronis' dan 'mewabah', dibasmi di sini -- tumbuh lagi di sana -- seolah gayung bersambut tiada henti. Ada ahlinya sendiri untuk mencegah dan menangani persoalan tersebut.

Hanya saja ada sesuatu yang perlu diketahui, diamati, dipahami untuk selanjutnya terserah mau ditindak lanjuti atau tidak. Deteksi awal terhadap kasus korupsi sesungguhnya bisa dicermati dari awal mulanya. 

Korupsi atau rasuah bisa diamati sejak dimulai dari ide/gagasan yang ada di benak manusia pelakunya. Cara pandang ataupun konsep seseorang dalam mengahadapi apa yang hendak dikerjakan - akan menuntun sikap/perilakunya terhadap apa yang akan dihadapi/dikerjakan tersebut. Atau kalau boleh meminjam istilah akademis, sering disebut paradigma.

Contoh gampangnya, ketika suatu tim kerja/kelompok kecil membahas sebuah proyek yang akan dilakukan, konsep yang mengendap dalam benak pelaku, bukan berfokus pada bagaimana mematangkan rencana kerja, pengorganisasian, pelaksanaan lapangan, sistem dan mekanisme kerja hingga pertanggung jawabannya.

Konsep utama yang tertanam dalam benak para 'pecundang' ini nampak atau cenderung memaknai bahwa proyek sebagai 'kue yang harus diperebutkan' sehingga total anggaran, dana operasional, dana yang bisa 'dimainkan' lebih mendominasi di dalam pemikirannya.

Kalaupun rencana kerja proyek yang hendak dilakukan itu dikemukakan di depan umum, diseminarkan misalnya, makalah yang disusun telah dikemas sedemikian rupa dengan sorotan topik yang jarang berkait soal transparansi penganggaran.    

Begitu halnya ketika dana proyek mulai dicairkan, semakin tampak perekayasaan anggaran (mark-up, suap, bagi hasil jarahan, uang dengar/tutup mulut de-el-el) sehingga kemudian  dibuatlah pembukuan lebih dari satu. Ada buku resmi, ada pembukuan khusus yang hanya diketahui orang-orang tertentu. Bahkan bisa juga lebih dari dua pembukuan bilamana 'jaringan rasuah'nya cukup luas.

Melalui kejelian mencermati liku-liku tersebut, gejala korupsi sesungguhnya sudah bisa terdeteksi sejak awal, entah yang berskala kecil, berskala sedang dan seterusnya.

Nah, siapa lagi yang akan memeriahkan sekaligus menambah jumlah kasus korupsi atau rasuah? Sepertinya kalau dilihat perkembangannya, dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, ada kecenderungan bahwa kasus ini masih saja akan ditemui. Ruang publik media hampir setiap saat menyajikan hasil liputan 'berpacu dalam korupsi', siapa mau ikut?

Menurut penulis, sebaiknya jangan ikutan rasuah, karena hanya bikin rusuh ah...!  

 JM (4-12-2017).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun