Perkembangan zaman membuat akhir-akhir ini membuat banyak fenomena yang menarik untuk dibahas, salah satunya citizen Journalism atau bisa disebut Jurnalisme online, Istilah ini muncul seiring dengan maraknya pengguna internet. Citizen Journalism adalah sebutan bagi warga yang melaporkan berita mengenai suatu peristiwa atau informasi melalu media internet.
Bagi saya sebutan itu terlalu berlebihan. Mengapa? Karena yang melaporkan adalah warga biasa, bukan jurnalis profesional. Warga biasa melaporkan suatu kejadian tanpa memperhatikan kode etik, dan undang-undang yang ada bagi profesi seorang jurnalis.Â
Sedangkan jika tugas dari seorang jurnalis selain melaporkan suatu pemberitaan atau peristiwa tetap memperhatikan kode etik seorang jurnalis. Hal inilah yang menyebabkan ketidaksebandingan antara Citizen Journalism dan jurnalis profesional.
Namun, dalam hal ini bukan berarti informasi dari Citizen Jurnalism dianggap tidak layak atau bahkan layak dibuang. Citizen Journalism dalam beberapa kesempatan dapat melampaui jurnalis professional.Â
Contohnya ketika tsunami Aceh 2004, orang yang menangkap detik-detik tsunami menerjang daratan adalah Cut Putri, seorang warga biasa yang merekam kejadian tsunami lewat kamera ponselnya yang kemudian menjadi sumber bagi media Metro TV dalam menyiarkan berita. Contoh tersebut merupakan peran Citizen Journalism dalam memaparkan berita.
Meskipun Citizen Journalism tidak terikat dengan hal-hal seperti jurnalis profeisonal, namun Citizen Journalism harus memperhatikan moral dan etika yang berlaku di masyarakat. Jadi, dengan begitu Citizen Journalism tidak bisa sembarangan dalam menyampaikan berita, harus memperhatikan norma-norma yang berlaku di sekitar.Â
Dalam Norma atau kode etik seorang jurnalis sekurangnya ada 10point yang perlu di perhatikan ketika seorang jurnalis ingin memberitakan suatu informasi atau berita, mengutip dari Netiqutte karya Virginia Shea.
Oleh karena Citizen Journalism tidak terikat pada kode etik jurnalistik, code of conducts dan undang-undang pers, maka Pepih Nugraha memberikan istilah alternatif untuk warga yang melaporkan suatu peristiwa. Istilah tersebut adalah Pawarta Warga yang maknanya adalah berita yang diproduksi dan dipublikasi oleh warga sendiri tanpa bantuan instansi pers.Â
Selain itu, pawarta warga menjadikan kode etik yang berlaku di masyarakat sebagai batasan dalam memberikan dan menyajikan berita. Hal tersebut berbeda dengan jurnalis profesional yang memiliki aturan resmi dalam naungan jurnalistik.
Berikut adalah perbedaan antara Citizen Journalism dan Jurnalis Profesional, di kutip dari Direktur Utama LKBN Antara, Meidyatama Suryodiningra
- Dari segi ruang kerja, wartawan secara fisik harus datang ke acara / event, sedangkan CJ bisa kapan saja dimana saja. Dari segi pendidikan, wartawan minimal sarjana, sedangkan CJ yang penting bisa baca tulis.
- Dari segi status, semua wartawan harus melalui proses terakreditasi bahkan institusinya, juga menjadi anggota salah satu organisasi profesi seperti PWI. Sedangkan CJ terhitung freelance.
- Soal karir, wartawan ada perubahan karir berjenjang, sedangkan CJ tanpa institusi dan tanpa pendapatan. Dari sisi etik, wartawan ada kode etik jurnalistik, dewan pers, organisasi profesi, yang diatur dalam UU no 40 tahun 1999. Sedangkan CJ bertanggung jawab secara pribadi.
Pihaknya menerangkan esensi jurnalistik terkait peristiwa revolusi informasi di abad 15 dengan ditemukannya mesin cetak modern oleh Johannes Gutenberg. Dimana informasi menjadi terbuka, terjadi demokratisasi informasi, dari yang hanya diperoleh orang - orang tertentu, bisa dikonsumsi masyarakat luas.
Untuk itulah, pewarta terkena tuntutan dasar, pertama melakukan verifikasi, ini yang membedakan wartawan dengan orang yang asal cuap. Kedua, verifikasi lagi. Ketiga, verifikasi lagi. Itu adalah kitab seorang wartawan karena fakta adalah hal yang paling mendasar. Keempat, baru objektivitas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H