Mohon tunggu...
Jisa Afta
Jisa Afta Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Gemar menciptakan kata baru

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Nonfiksi Palsu

19 Oktober 2024   11:45 Diperbarui: 19 Oktober 2024   11:57 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Oleh: Jisa Afta)

~Cuplikan Buku Fiksionasi |

Tahukah Anda bahwa karya yang Anda yakini sebagai karya nonfiksi, bisa jadi gagal menjadi nonfiksi? Atau dengan kata lain, tidak berdasarkan peristiwa dan kenyataan sesungguhnya, dan bisa disebut palsu, tidak nyata atau lebih tepatnya karya nonfiksi itu sebenarnya fiksi atau sebuah khayalan semata.

Ada begitu banyak buku Memoar yang bila Anda telusuri di panduan kurikulum, sekolah atau google sekaligus, termasuk dalam kategori nonfiksi, tapi sebenarnya karya nonfiksi tersebut lebih tepat disebut fiksi atau palsu sebagai Autobiografi, atau karya Memoar Palsu. Karya-karya nonfiksi ini lebih fiksi dari karya Fiksi Murni.

Untuk mempermudah pernyataan tadi, mari kita bedah secara sederhana dengan logika yang paling mudah dipahami. Sudah hal umum kita ketahui bahwa contoh karya nonfiksi antara lain adalah Biografi, Autobiografi dan Memoar.

Jika Anda mengetik di google, tiga bentuk karya tersebut termasuk dalam teks narasi nonfiksi atau karya nonfiksi, sebab katanya tiga karya ini tidak fiksi, karya tersebut mengandung kebenaran dan nyata benar-benar terjadi. Apakah benar begitu?

Apakah semua buku biografi, Autobiografi dan Memoar bisa memenuhi unsur nonfiksi? Disinilah letak seni mencermati nonfiksi.

Ada begitu banyak pembaca yang tidak memahami batasan antara biografi, autobiografi dan memoar.

Subjektivitas Biografi, Autobiografi dan Memoar

Yang Anda pahami dan semua orang pahami bahwa arti Biografi adalah buku yang ditulis oleh orang lain atau penulis tentang kisah hidup seseorang atau tokoh terkenal atau tokoh tidak terkenal tapi berpengaruh dari sudut pandang penulis.

Hal menarik yang tidak Anda sadari adalah, banyak tokoh yang tadinya tidak terkenal, menjadi terkenal justru karena biografinya ditulis oleh seorang penulis terkenal. Penulisnya yang terkenal, penulisnya membuat nama tokoh tidak terkenal tersebut menjadi terkenal. Artinya, keterkenalan tokoh tadi tidak orisinil sebab melalui penyebaran satu sudut pandang yaitu sudut pandang seorang penulis, lalu disebarkan ke banyak orang yang kita kenal dengan publikasi media bernama buku.

Penulis ini bisa tampil bermacam-macam "bentuk" nya, bisa menulis untuk surat kabar online, menulis naskah pemberitaan TV, penulis yang bermitra dengan penerbitan "besar", yang pada intinya buku yang di tulisnya berefek membuat terkenal tokoh dalam buku biografi tadi.

Dimana letak Subjektivitas sebuah biografi? Bukankah itu ditulis oleh orang lain?

Hal paling menarik lainnya yang jarang dipahami oleh banyak orang, bahwa sebenarnya hampir semua Biografi adalah Autobiografi dan hampir semua Biografi adalah Memoar. Anda pasti menolak hal ini sebab menurut Anda ada begitu banyak literatur mengatakan bahwa Biografi di tulis oleh orang lain, bukan tokoh dalam biografi itu sendiri yang menulis tentang dirinya sendiri.

Kita ketahui bahwa Autobiografi adalah buku yang di tulis oleh penulis untuk memperkenalkan seorang tokoh, dan tokoh tersebut adalah penulis buku itu sendiri. Dengan kalimat sederhana, seseorang menulis kisah perjalanan hidupnya sendiri dalam sebuah buku. Ia menjadikan dirinya sebagai tokoh utama dalam alur cerita nyata dalam buku yang divalidasi oleh dirinya sendiri. Kerangka kebenaran dan fakta selalu dilihat dari perspektif kebenaran dan asumsinya sendiri yaitu tokoh utama dan sekaligus penulis sang tokoh utama dalam buku Autobiografi itu sendiri yaitu penulisnya sendiri.

Karena penulisnya menjadikan dirinya tokoh utama dalam dunia nyata yang tentunya menurut dirinya dan menurut definisi arti nonfiksi bahwa buku Autobiografi adalah bukan karya khayalan, maka orang "dipaksa" percaya dan harus menerima bahwa buku tersebut sebagai sebuah karya nonfiksi atau karya berdasarkan fakta. Meskipun tidak pernah ada yang bisa membantah jalan pikiran seseorang, Anda harus "percaya" dan "mengakui" bahwa buku tersebut bukan fiksi, melainkan buku tersebut adalah fakta dan berdasarkan kenyataan meskipun buku tersebut penuh berisi opini penulis itu.


Ketika penulis melebarkan konten tulisan dari Autobiografi atau cerita nyata tentang pengalaman hidupnya yang bersifat berupa sejarah yang lebih umum menjadi berfokus pada bagian tertentu dari kehidupan penulis terutama tentang ketajaman pengetahuan, pengalaman, sudut pandang pribadi tokoh dalam buku tersebut, maka narasi konten telah menyebrang pada Memoar, sebab Memoar berbicara tentang sudut pandang dan pola pikir tokoh dalam Autobiografi, tentang bagaimana opini pribadi sang tokoh tersebut dalam masalah tertentu. Inilah yang disebut sebagai Subjektivitas.

Jika dicermati secara esensi sumber data, apakah opini seorang penulis buku Autobiografi atau Memoar, sudah pasti benar? Apakah keresahannya tentang ideologi, pandangan sosial, agama, ekonomi, dan dugaan-dugaan yang hanya ada dalam asumsi liarnya, bisa disimpulkan sebagai sebuah kenyataan yang faktual? Atau itu hanya ketakutan yang belum terwujud dan tidak pernah terwujud, atau jangan-jangan itu hanya luapan efek kecerdasan dan keseringan membaca yang butuh pelampiasan penuangan dalam bentuk teks tertulis tanpa bisa merubah apapun di lingkup sosial dalam tataran nyata. Sebab jika seseorang beropini salah tentang Anda, Anda tentu tidak mau dan tidak setuju opini tersebut dilekatkan pada diri Anda.

Buku Autobiografi dan Buku Memoar jelas berisi pikiran, opini, persepsi, dugaan, kenangan hidup bersifat  pribadi dan kejadian-kejadian yang tentunya separuhnya bernilai benar, dan tentunya lebih banyak bersifat tidak pasti benar, belum teruji atau berisi opini sepihak dari penulis buku yang menjadikan dirinya sebagai tokoh utama dalam dunia nyata yang di tulis menjadi kisah nyata dalam bukunya sendiri untuk disebarluaskan.

Sebagai PR bagi Anda, silahkan cari sendiri contoh buku Autobiografi, Memoar sebanyak mungkin dan coba perhatikan bagaimana penulis buku tersebut menulis hanya pada dua tipe; Pertama, sebaik mungkin untuk mencitrakan bahwa dirinya adalah tokoh terbaik di jamannya atau minimal, tidak akan Anda temui hal buruk tentang dirinya di dalam buku yang ditulisnya sendiri. Kedua, menjual kisah nyata untuk memoar tentang nasib buruk demi memenuhi keinginan pembaca karena sebagian pembaca menyukai kisah nyata nasib tragis dan buruk seseorang untuk di nikmati sebagai bacaan.

Memoar Palsu yang Menipu Dunia Sastra

Penulis James Frey, mengarang sebagian besar kisah hidupnya atau memoarnya dalam "A Million Little Pieces" (Sejuta Potongan Kecil). Memoar tahun 2003 tersebut menjadi buku terlaris setelah Oprah Winfrey memilihnya untuk klub buku acara TV-nya pada tahun 2005 yang menyebabkan dalam semalam lebih dari dua juta eksemplar buku Frey ini ludes terjual. tak berselang lama berubah menjadi skandal sastra besar pada tahun berikutnya. Ditemukan banyak pemalsuan dalam karya nonfiksi Memoar ini antara lain Frey mengklaim bahwa ia telah menghabiskan 87 hari di penjara padahal ia hanya dipenjara selama beberapa jam. Oprah mengundang penulis tersebut kembali ke acaranya untuk mengecamnya karena berbohong.

Awalnya Frey sebenarnya menyajikan buku itu sebagai novel tapi pihak penerbit tidak tertarik. Penerbit seketika tertarik setelah buku itu digambarkan sebagai kisah nyata oleh Frey, dengan tujuan memenuhi keinginan pembaca untuk memoar tentang nasib buruk.

James Frey dalam bukunya berbagi kisah pahit tentang perjuangannya melawan kecanduan alkohol dan narkoba. Pada tahun 2008, Frey kembali ke dunia sastra dengan novel terlarisnya, Bright Shiny Morning .

Situs web investigasi The Smoking Gun,  pada tahun 2006 melaporkan bahwa sebagian besar buku "A Million Little Pieces" tersebut telah direkayasa, termasuk rincian penting tentang catatan kriminal dan pengalaman rehabilitasi Frey. Kehebohan seputar buku tersebut menyebabkan peningkatan pengawasan terhadap isinya.

Karya nonfiksi palsu berupa jurnal/buku Autobiografi  penuh khayalan dan skandal Memoar penuh rekayasa lainnya ternyata bisa Anda temui pada karya-karya terkenal berikut:

  • "Love and Consequences" karya: Margaret B. Jones
  • ("Cinta dan Konsekuensinya")
  • "Misha: A Memoire of the Holocaust Years" karya: Misha Defonseca
  • ("Misha: Sebuah Memoar tentang Tahun-Tahun Holocaust")
  • "The Autobiography of Howard Hughes" Karya: Clifford Irving
  • ("Otobiografi Howard Hughes")

  • "The Hitler Diaries" Editor majalah Stern, Jerman
  • ("Buku Harian Hitler")

Dari kisah James Frey, jelas terlihat bahwa sebuah karya nonfiksi yaitu Memoar atau di Indonesia sering disebut Autobiografi, ternyata bisa palsu dan bisa lebih fiksi dari karya fiksi itu sendiri. Anda bisa dengan mudah tertipu bila menganggap bahwa semua karya nonfiksi adalah berdasarkan kenyataan. Padahal bisa saja karya nonfiksi adalah karangan atau fiksi.

Lalu apa solusi untuk mencegah karya nonfiksi palsu seperti karya nonfiksi James Frey tadi? Para guru di sekolah seharusnya tidak sekedar menyuruh siswanya untuk sekedar melakukan rangkuman atau menelan nilai dan makna dari nonfiksi yang beredar, untuk mencegah skandal James Frey tidak terjadi dan berakibat penerimaan nilai dan pemaknaan dari realitas palsu atau karangan fiksi yang diklaim sebagai Autobiografi atau Memoar.

Yang bisa dilakukan para guru adalah menyuruh siswa membuat Esai ekspositori.

Esai ekspositori

Esai ekspositori adalah jenis esai yang mengharuskan siswa untuk menyelidiki suatu ide, mengevaluasi bukti, menguraikan ide tersebut, dan mengemukakan argumen mengenai ide tersebut dengan cara yang jelas dan ringkas. Hal ini dapat dilakukan melalui perbandingan dan kontras, definisi, contoh, analisis sebab dan akibat, dll.

Esai ekspositori bisa dipakai untuk melawan karya nonfiksi palsu tadi. Esai jenis ini bisa digunakan sebagai cara mencari fakta dan data untuk memvalidasi kebenaran karya nonfiksi tadi.

Esai Lima Paragraf

 

Khusus Anda yang pemula dalam Esai ekspositori, Cara paling umum dalam menulis esai ekspositori adalah tulisan berbentuk lima paragraf. Perlu diingat bahwa ini bukanlah rumus utama dalam menulis Esai ekspositori. Setelah terbiasa melakukan metode lima paragraf, anda bisa mengembangkan ke tahap lanjut.

Metode penggunaan Esai Lima paragraf dalam membentuk Esai Ekspositori, meliputi: Paragraf Pengantar, Tiga paragraf isi bukti, dan Sebuah Kesimpulan.

Sehingga bentuk struktur kepenulisan Esai Lima Paragraf  jika dipraktekkan akan tampak seperti berikut:

  • Paragraf pengantar
  • Paragraf isi bukti
  • Paragraf isi bukti
  • Paragraf isi bukti
  • Sebuah kesimpulan

Esai Lima Paragraf hanyalah salah satu pendekatan dalam menulis Esai ekspositori. Poin-poin penting dalam kepenulisan Esai ekspositori yakni Jangan masukkan informasi baru apa pun ke dalam kesimpulan. Kesimpulan bertugas hanya merangkum fakta dan informasi yang telah tertuang dalam paragraf isi.

Jadi, misalnya siswa atau seseorang ingin membuat Esai Ekspositori dengan menggunakan pendekatan Esai Lima Paragraf atau pendekatan lainnya untuk mencermati sebuah karya nonfiksi, misalnya Memoar, Biografi atau Autobiografi, maka dalam mengevaluasi bukti dan fakta, pembuat esai harus mengevaluasi sumber-sumber bukti atau sumber artikel, sumber jurnal, lalu mengevaluasi bukti, termasuk menyelediki sumber gagasan dan ide dengan melakukan perbandingan dari segi kapan dan dimana gagasan itu muncul pertamakalinya.

Hal yang perlu dihindarkan

dalam Penyusunan Ekspositori. 

Jangan membatasi siswa atau penulis Ekspositori dalam rentang waktu sehari untuk menyelesaikan Esai Ekspositori ini. Siswa atau penulis Ekspositori harus diberi waktu lebih lama dalam mengumpulkan bukti statistik atau fakta dari internet, perpustakaan dan sumber-sumber lainnya. Tentunya karya ini butuh waktu penyelesaian yang tidak sebentar.

Masih ingat tadi saya katakan bahwa "hampir semua Biografi adalah Autobiografi dan hampir semua Biografi adalah Memoar"?

Anda tentu sudah paham penjelasan Autobiografi tadi, pertanyaannya, darimana seorang penulis Biografi bisa menulis tentang tokoh dalam buku Biografinya?

Pertama :

Dari berita yang memenuhi unsur pemberitaan, dari opini media tentang tokoh tersebut

Kedua :

Dari sudut pandang penulis

Ketiga :

Dari pikiran-pikiran dan sudut pandang tokoh utama biografi yang diambil dari buku karya tokoh biografi itu sendiri (jika ada), dari pikirannya yang terekam media, dari tulisan-tulisan dan wawancara atau ceramah, dari percakapan ataupun dialog.

Keempat :

Tindakan atau kenyataan atau fakta atau data

Poin ketiga yaitu pikiran tentunya akan sangat sulit membuktikannya apalagi bila semua pemikiran tokoh biografi tadi bersifat subjektif atau opini, sebab opini datang dari pemikiran pribadi bukan dari fakta. Tentu tema  bahasannya menjadi tidak valid karena kalimat subjektif sendiri tidak berdasarkan fakta.

Lagi-lagi kita menemukan bahwa Biografi dan Autobiografi ternyata berangkat dari sudut pandang dan pemikiran-pemikiran yang terpublikasi dari obrolan, ceramah, ataupun buku yang ditulis oleh tokoh biografi itu sendiri dan bisa dipastikan tidak keseluruhan isi buku terbebas dari subjektivitas atau opini tokoh biografi dan opini penulis biografi yang tentunya belum tentu valid atau sah, sebab belum tentu memiliki kepastian kebenarannya dan kejadiannya.

Apa yang menjadi ciri khas sebuah buku Biografi? Yang menjadi ciri Biografi adalah pikiran-pikiran dan cara pandang tokoh dalam buku biografi tersebut. Selain pikiran, juga apa yang diucapkan dan apa yang dilakukannya untuk merubah diri dan lingkungannya.

Pertanyaannya adalah, bukankah pikiran seseorang, termasuk tokoh dalam biografi tadi bisa saja berbeda dengan orang lain di jamannya saat itu?

Inilah yang disebut dengan Subjektivitas. Secara umum, subjektif adalah suatu sikap dan pandangan yang lahir dari perasaan yang masih bersifat opini pribadi. Opini datang dari pemikiran pribadi bukan dari fakta.

Jika Anda berpikir dan menilai, sebelum mengatakan dan melakukan apa yang Anda ingin coba buktikan, itu disebut opini. Jika Anda cermati, hampir seluruh buku biografi bersifat bercerita tentang pikiran sepihak tokoh dalam buku biografi tersebut, dimana belum tentu benar dan belum tentu bersifat mengandung faktual dan mengandung fakta. Bisa jadi masih bersifat kecemasan pribadi dan perasaan ketakutan sepihak, semisal ketakutan seseorang pada generasi mendatang yang sulit melakuan sesuatu tanpa kita pernah paham bahwa generasi mendatang tentu punya solusi sendiri dalam memecahkan problemnya sendiri. Sebab tentu tak ada yang bisa meramal problematika di masa depan. Kecemasan seseorang itu bersifat subjektif dan belum menjadi sebuah fakta. Baru level dalam perasaan sang tokoh dalam biografi itu sendiri. Itulah contoh subjektivitas paling sederhana.

Subjek historis yang sedemikian subjektifnya, subjek artikel, berita dari karya-karya nonfiksi yang begitu samar sebab terlahir dari berbagai sudut pandang penulis artikelnya, tentu membuat kita bertanya, apa benar nonfiksi sesubjektif itu?

Jika karya nonfiksi berupa artikel, berita, surat-surat, opini, semua hal tersebut dinamakan nonfiksi tanpa melihat esensi benar salah dari data dan faktanya sesuai standar kebenaran sesungguhnya, apakah kita bisa menyebutnya sebagai sebuah karya? Tentu bisa disebut karya nonfiksi.

Jika tidak semua nonfiksi bernilai benar, apakah itu berarti tidak semua nonfiksi benar-benar sesuai fakta? Sebab kebenaran fakta sebuah prosa narasi yang mengandung nilai tak benar, adalah sama dengan tidak nyata, atau khayalan, ini tentunya bisa disebut fiksi, atau karya khayalan, sama seperti karya puisi pada umumnya yang dikategorikan sebagai fiksi.

Jika Anda menulis dan mengklaim karya Anda nonfiksi tapi ternyata tidak bernilai fakta dan itu subjektif atau opini yang tidak valid, apakah wajar karya Anda bisa disebut nonfiksi? Sebab faktanya karya Anda tidak bernilai valid atau tidak benar atau berisi data-data yang tidak ada atau kosong. Bukankah itu juga fiksi?

Menurut saya, esensi karya bukan pada bentuk atau jenis karya tapi pada tema dan nilai dasar karya itu menjadi alasan lahirnya karya menjadi sebuah tulisan.

Orientasi tradisi dan kecenderungan mengelompokan fiksi atau nonfiksi membuat bukan hanya puisi yang sulit disebut nonfiksi, tapi justru karya yang kita anggap nonfiksi sesuai ajaran sekolah pada umumnya pun, belum tentu bisa memenuhi unsur nonfiksi itu sendiri, sebab belum tentu mengandung 100% kebenaran dan terbebas dari opini pribadi yang belum tentu valid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun