Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Terlihat dalam karya Karawang Bekasi, Chairil Anwar tentunya tidak sedang mengangkat cerita imajinasi atau fantasi berupa khayalan atau karangan yang dibuat-buat tanpa landasan peristiwa atau sejarah. Chairil Anwar menjadikan puisi sebagai "cara" dan "gagasan bebas" untuk menjadi metode berbicara tentang persepsinya dengan menggunakan kecerdasan dan kemampuan stilistika yang di milikinya.
Stilistika pada dasarnya adalah pemahaman dan penguasaan gaya bahasa. Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi, membawa kesadaran pembaca atau pendengar karyanya untuk merasakan emosi, situasi, perasaan, semangat dan harapan, dengan cara seolah-olah para korban pembantaian yang dilakukan pihak Belanda pada tanggal 9 Desember 1947, sedang "bicara" pada generasi yang masih hidup dan akan datang, untuk mengenang, meresapi perjuangan, pengorbanan dan sikap pemberani dalam menentang serta mengusir penjajahan.
Jika dilihat dari studi dan deskripsi pilihan ekspresi linguistik yang menjadi ciri khas Chairil Anwar dalam Karawang Bekasi maka karya sastra yang bertema kepahlawanan tersebut bisa dimasukkan dalam kategori puisi epik.
Puisi epik zaman kuno, seperti Epic of Gilgamesh, menceritakan kisah orang-orang luar biasa yang bertempur dalam pertempuran besar untuk menyelamatkan rakyatnya. Epic of Gilgamesh mengangkat tema kepahlawanan, persahabatan, kegagalan, kematian, dan pencarian keabadian.
Makna puisi Karawang Bekasi merupakan puisi yang merefleksikan pada pembantaian oleh Belanda yang terjadi antara Karawang hingga Bekasi. Â Nilai dan konsep patriotisme dihadirkan dalam setiap bait puisi Karawang Bekasi.
Jadi jelas, memasukkan puisi dalam kategori karya khayalan atau karya fiksi, itu sebuah kekeliruan besar, apalagi hal tersebut diatur dalam pedoman pengajaran yang terstandarisasi oleh negara sebesar Indonesia.
Jadi, penggunaan teknik penulisan atau gaya tulis perumpamaan, atau gaya tulis majas atau penulisan puisi, tidak serta merta mengubah karya nonfiksi menjadi fiksi.