Di samping gerobak tukang bubur ayam mereka makan dan bertukar cerita; Pak Tarjo mengatakan bahwa ia akan pensiun dari guru dua tahun lagi. Dua anaknya sudah berumah tangga dan tinggal terpisah, sedangkan anak ketiganya masih cari-cari kerja. Ia senang bisa mengantar pelanggannya yang akan menghadiri wawancara kerja, mengingatkannya pada anak ketiganya.
Rahmat mengatakan, setamat SMP ia melanjutkan sekolah ke SMA Negeri di Bekasi, setelah itu sempat lanjut kuliah di UI sebelum memutuskan berhenti. Kehabisan biaya, katanya.
Mendengarnya, Pak Tarjo merasa prihatin dan sekaligus merasa bersalah. Tidak ingin larut dalam perasaan, ia menawarkan Rahmat untuk mengantarnya pulang nanti. Gratis.
Rahmat tentu saja senang dengan tawaran itu, akan tetapi ia tidak ingin merepotkan Pak Tarjo, apalagi wawancaranya belum tentu sebentar.
Pak Tarjo tersenyum, dan berkata, “Bapak akan tunggu, Mat.”
Kantor yang dituju Rahmat terletak di lantai 4, dari situ ia bisa melihat Pak Tarjo yang sedang duduk di bangku di bawah pohon bersama rekan-rekan ojolnya. Ini wawancara kerja yang kesekian kalinya bagi Rahmat, dan ia sudah tidak gugup lagi. Dua wawancara yang dijalaninya berjalan lancar, tapi lumayan lama. Ia keluar gedung sekitar pukul 10.30. Pak Tarjo, yang melihatnya sedang menuruni tangga, segera menghampirinya.
“Langsung pulang, Mat?”
“Saya ada urusan di Kuningan Pak. Mau ketemu teman. Bapak tidak usah antar saya. Saya bisa pergi sendiri.”
“Tidak apa-apa. Kuningan kan dekat. Ayo naik! Kamu tidak usah bayar, Mat.”
Dua puluh menit kemudian mereka tiba di tempat yang dituju.
“Saya mungkin agak lama, Pak. Kalau Bapak mau …”