Hujan baru berhenti setelah magrib. Lantai rumah Pak Azis di penuhi potongan triplek dan pasir, air masih menetes dari atap dan jatuh ke dalam ember penuh air. Pak Azis memakai sarung dan baju hangat, badannya menggigil. Kopinya sudah berganti teh manis hangat di atas meja. Istrinya membuang air tampungan ke jalanan, lalu meletakkan ember kosong di bawah keran depan. Pak Azis menyuruh anak pertamanya pergi ke warung untuk membeli obat demam.
Di usia pertengahan empat puluhan, Pak Azis sebenarnya jarang sakit. Ia selalu berolahraga setelah salat subuh dengan gerakan-gerakan ringan sambil mengatur nafas. Dulu, waktu masih jadi satpam, ia rutin pergi ke gym setiap Rabu dan Sabtu. Sisa-sisa dari latihannya masih ada dalam bentuk tubuh yang tegap. Tapi malam itu ia benar-benar merindukan masa-masa sehatnya. Tubuhnya menggigil, pilek benar-benar mengganggunya. Obat warung tidak bisa mengurangi penderitaannya. Istrinya menemaninya ke dokter klinik keesokan paginya. Dokter bilang ini cuma demam biasa akibat kehujanan dan terlalu capek, beberapa pasiennya juga mengalami hal yang sama.
Setelah tiga hari demamnya hilang, tapi setelah itu Pak Azis mengeluh masalah diare. Kali ini ia tidak ingin pergi ke dokter, istrinya membuatkan ramuan oralit. Lusanya ia sudah merasa lebih baik dan tidak sabar tidak sabar untuk segera sampai ke kios cukurnya.
Ia mengoles mesin cukurnya dengan minyak khusus, memasukkannya ke dalam tas bersama dua potong kain penutup tubuh, dua buah handuk, kotak makan siang dan sebotol air minum. Ia kemudian menyantap nasi goreng buatan istrinya dengan lahap. Anak-anaknya tampak sehat, rumahnya masih berdiri kokoh meskipun plafon terasnya rusak berat---ia akan memperbaikinya Sabtu nanti. Hari ini tidak ada yang perlu dirisaukannya, kecuali tangannya yang terasa kaku setelah beberapa hari tidak memegang gunting.
Perjalanannya pagi itu seharusnya lebih singkat jika tidak ada rombongan truk proyek yang membuat macet jalan. Bongkahan tanah yang berjatuhan dari truk membuat jalanan berlumpur dan licin. Sepeda motor Pak Azis menyempil di antara truk besar dan sedan hitam---ia mengklakson beberapa kali. Akan tetapi, bukan kemacetan yang membuat Pak Azis jadi cemas; ia yakin sesuatu yang buruk sedang menimpa kiosnya. Pikirannya kini jadi kalut, jantungnya berdegup kencang. Ia lalu memutuskan untuk berputar balik, pergi menuju komplek ruko yang tidak jauh dari situ dan memarkir sepeda motornya di sebelah toko mebel.
Sinar matahari semakin terik, Pak Azis melepas helm dan jaketnya, sedikit embusan angin menghapus keringat di tubuhnya. Ia kemudian memandang ke suatu tempat di mana kios cukurnya seharusnya berdiri. Dan, seperti yang sudah diduganya, kiosnya sudah tidak ada; tempat itu sudah ditutupi pagar seng yang tinggi dan panjang.
Ia sebetulnya sudah tahu suatu hari nanti, cepat atau lambat, kios cukurnya akan digusur. Ia hanya tidak menyangka datangnya akan lebih cepat. Pun tidak ada yang memberitahunya. Ia berpikir untuk tidak memberitahu istrinya dulu; setidaknya, setelah ia punya kios cukur yang baru. Ia yakin tidak akan kesulitan mendapatkannya. Bukankah sekarang pertumbuhan ekonomi sedang bagus-bagusnya?
Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon kersen. Dibukanya tasnya, dikeluarkannya botol minumnya dan diminumnya beberapa teguk air. Rencananya, kira-kira jam dua belas nanti, ia akan menemui mandor proyek untuk menanyakan barang-barang di kios cukurnya. Akan tetapi, ia mengurungkannya setelah bertemu Pak Saeful, yang memberitahunya bahwa barang-barang miliknya sudah dititipkan di rumahnya sejak kemari lusa atas permintaan kontraktor proyek yang pernah dicukurnya beberapa waktu lalu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H