Hanya ada lima pelanggan hari itu, yang selesai dipangkasnya sebelum jam dua. Pak Azis menghabiskan waktu dengan nonton TV dan membaca koran. Terdengar bunyi gemuruh di langit yang meredup, Pak Azis membereskan peralatan cukurnya dan pulang tepat jam tiga. Ia selalu bersyukur seberapapun rezeki yang didapatnya hari itu; dan sebagai bentuk rasa syukurnya, rencananya ia akan membeli sebungkus martabak manis. Ada tukang martabak langganannya yang letaknya tidak jauh dari rumah, yang bukanya lebih awal dari tukang martabak lain.
Namun, baru sepuluh menit mengemudi tiba-tiba saja ban sepeda motornya bocor. Pak Azis harus mendorongnya lumayan jauh sebelum menemukan bengkel tambal ban.
"Ban dalamnya harus diganti," ujar tukang tambal ban, "sobeknya besar. Nggak bisa ditambal lagi," lalu ia menunjukkan sebuah paku kecil bengkok kepada Pak Azis.
"Berapa?"
"Tiga lima."
"Ya sudah, ganti saja."
Pak Azis pernah terpikir untuk menjual sepeda motornya dan menggantinya dengan yang baru. Sayangnya tahun ini akan ada banyak pengeluaran untuk keperluan sekolah anaknya. Belum lagi harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik.
Sekejap saja ban motornya sudah beres. Pak Azis membayarnya dengan selembar uang lima puluh ribu, membuat tukang tambal ban mencari uang kembalian di tukang bakso. Hujan turun ketika tukang tambal ban kembali. Tukang tambal ban selalu jengkel masalah hujan. Ia bilang pada Pak Azis, kalau dalam satu jam hujannya seperti ini terus bisa dipastikan akan banjir sebentar lagi.
Jalanan mulai tergenang, ia cemas akan rumahnya yang bocor. Ia mengeluarkan mantel hujan dari dalam bagasi motor dan memakainya. Angin bertiup kencang, ia memacu sepeda motornya pelan-pelan. Sepeda motor tuanya sulit diajak kompromi dan bisa mati suatu-waktu. Karena hujan turun semakin deras, ia lupa mampir ke tukang martabak.
Ia tiba di rumah jam empat seperempat. Tiga ember dan dua baskom bertebaran untuk menampung air yang bocor di teras dan ruang tamu. Melihat suaminya yang terlihat lelah, istri Pak Azis membuatkannya kopi. Pak Azis meletakkan tasnya di kursi plastik samping lemari, lalu duduk memandangi air yang jatuh di atas ember.
Ia sedang menikmati kopinya ketika tiba-tiba saja plafon terasnya jebol; air mengguyur hingga membanjiri lantai, potongan-potongan triplek berjatuhan. Ia bergegas mengambil satu bak besar untuk menampung air, kemudian memakai mantel hujannya, lalu mengambil tangga, dan naik ke atap rumah. Dilihatnya ada banyak sampah hingga membendung talang air. Pak Azis menyapu atap asbesnya dengan sapu lidi lalu melempar sampahnya ke jalanan.