Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok kita manusia sebagai sarana pengolahan bahan makanan. Minyak goreng adalah bagian penting dalam kebutuhan menu kita dan mampu memenuhi sejumlah fungsi nutrisi. Selain itu, minyak goreng dapat membantu meningkatkan kepadatan jenis atau panas makanan. Bagaimana jika minyak goreng, yang merupakan salah satu kebutuhan pokok ini mengalami kelangkaan?.Tentunya masyarakat akan mengalami kerugian dan krisis perekonomian.
Seperti yang telah kita saksikan, kasus yang cukup menggemparkan di masyarakat pada bulan April lalu, terjadi peristiwa yang menghebohkan masyarakat terkait perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Dirjen Kemendag Indrasari Wisnu Wardhana dan tiga pihak swasta inti. Terkait komodisi crude palm oil atau CPO dan produk turunannya kepada Permata Hijau Group, Wilmar Nabati Indonesian, PT Multimas Nabati Asahan dan PT Musim Mas. Maka dari itu Kejaksaan Agung membongkar kasus tersebut pada Selasa 19/4/2022. Di dalam keterangannya pada hari itu, Jaksa Agung RI ST Burhanudiin mengatakan bahwa Tim Penyidik Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda bidang Tindak Pidana Khusus telah menetapkan Indrasari Wisnu Wardhana dan tiga pihak swasta menjadi tersangka Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi dalam Pemberian Fasilitas Ekspor Crude Palm Oil atau CPO dan turunannya pada bulan Januari 2021 hingga Maret 2022.
Keempat tersangka dinilai telah menyebabkan kerugian perekonomian dan kelangkaan minyak goreng di masyarakat. Keempat tersangka melakukan kesepakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam proses penerbitan bertujuan ekspor, tak luput dari dikeluarkannya persetujuan ekspor kepada eksportif yang seharusnya ditolak izinnya dengan tidak memenuhi syarat yaitu telah mendistribusikan CPO tidak sesuai dengan harga persejualan dalam Negri atau DPO.
Alhasil, Kejaksaan Agung berani menetapkan empat tersangka karena pemeriksaan 19 saksi, 596 dokumen terkait dan surat menyurat, serta keterangan ahli. Berdasarkan hasil penyidikan, terbukti dari 4 tersangka telah melakukan tindak pidana korupsi yaitu pemberian fasilitas CPO dan produk turunannya dalam kurun waktu Januari 2021 hingga Maret 2022.
Ancaman pidana yang dijatuhkan pada keempatnya pun tidak main-main, mereka terancam hukuman penjara seumur hidup hingga hukuman mati. Ancaman pidana diatur dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 ayat (1) berbunyi sebagai berikut “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara se umur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” Sementara terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu dapat dijatuhi hukuman mati.
Rumusan korupsi pada Pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat dalam Pasal 1 ayat (1) huruf a UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak digunakan untuk memidana koruptor. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini,
harus memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang atau korporasi;
2. Melawan hukum;
3. Untuk Memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Indrasari Wisnu Wardhana dijerat menggunakan Pasal 2 atau 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Yang mana Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi mengatur pemberian hukuman pidana pada setiap orang yang memperkaya dirinya sendiri, orang lain atau korporasi yang bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara. Sudah kentara bahwa ancaman pidana yang didapatinya merupakan penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Selain ancaman hukuman penjara, Indrasari Wisnu Wardhana bisa dijatuhi ancaman hukuman denda, paling sedikitnya 200.000.000,00 juta dan paling banyak 1 miliar.
Apabila kita lihat lagi perbuatan melawan hukum yang dilakukan Indrasari Wisnu Wardhana, terlihat jelas dia sudah menyalahgunakan kewenangannya, dan bisa juga ia dijerat dengan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001: Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau 6 denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima pul uh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Rumusan korupsi dalam Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999, pertama kali termuat pada Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 3 Tahun 1971. Perbedaan rumusan terletak pada masuknya kata ”dapat” sebelum unsur ”merugikan keuangan/perekonomian negara” pada UU No. 31 Tahun 1999. Sampai dengan saat ini, pasal ini termasuk paling banyak dipakai untuk memidana koruptor. Untuk menyimpulkan apakah suatu perbuatan termasuk korupsi menurut Pasal ini,
wajib memenuhi unsur-unsur:
1. Setiap orang;
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana;
4. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Diatas kita telah membahas perbuatan korupsi dalam pandangan hukum pidana. Lalu, bagaimana cara Islam memandang perbuatan korupsi?. Dalam hukum Islam, perbuatan korupsi memang tidak dibenarkan. Islam memandang korupsi sebagai perbuatan keji. Perbuatan korupsi dalam konteks agama Islam adalah perbuatan yang mengganggu tatanan kehidupan yang pelakunya dikategorikan melakukan Jinayaat al-kubra (dosa besar). Korupsi dalam Islam merupakan perbuatan melanggar syariat. Agama Islam membagi istilah korupsi dalam beberapa poin, yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al-gasysy atau penipuan dan pengkhianatan.
Kiranya sebagai mahasiswa syariah perlu memahami kembali bagaimana pandangan Islam tentang perbuatan korupsi, kemudian meninggalkan perbuatan tersebut karena bertentangan dengan maqasid al-shari’ah yaitu Hifz al-mal (terpeliharanya harta rakyat dari penyelewengan). Dari sinilah Ulama’ Klasik maupun Kontemporer sepakat bahwa perbuatan korupsi hukumnya haram karena bertentangan dengan prinsip maqasid al-shari’ah dengan alasan sebagai berikut ; 1. Perbuatan korupsi termasuk kategori perbuatan curang dan menipu yang berpotensi merugikan keuangan negara yang notabene adalah uang publik (rakyat). Dalam hal ini Allah mengecam pelakunya. QS.Ali Imran:161 yang artinya : "Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang, maka pada hari Kiamat ia akan datang dengan membawa apa yang telah dikhianati itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan pembalasan yang setimpal, sedang mereka tidak dianiaya" (QS. Alu Imran: 161) .
Ayat di atas turun dilatarbelakangi oleh peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, Tirmizi dan Ibn Jarir bahwa sehelai kain wol merah hasil rampasan perang hilang. Sudah dicari kemana-mana ternyata tidak ditemukan dan tidak pula ada di inventaris negara. Padahal harta rampasan perang ini seharusnya masuk di inventaris negara. Tidak salah lagi, berita ini menimbulkan desas-desus tidak enak di kalangan sahabat bahkan ada yang lancang berkata,"mungkin Nabi sendiri yang mengambil kain wol itu untuk dirinya."
Kemudian turun ayat tersebut yang menegaskan bahwa Nabi tidak mungkin korup dan curang dalam mengemban amanah harta publik(rampasan perang). Justru Nabi sendiri mengancam siapa saja yang mengambil harta milik negara, maka kelak harta tersebut akan menjadi bara api di neraka dan segala amal yang didapat dengan cara korupsi tidak diterima oleh Allah Swt. Teladan ini dipraktikkan oleh Khalifah ‘Umar Ibn Abdul ‘Aziz (63-102 H) yang memerintahkan puterinya supaya mengembalikan kalung emas kepada negara padahal kalung tersebut merupakan hibah dari pengawas perbendaharaan negara (bayt al-mal) karena jasa-jasa beliau selama menjabat khalifah.
2.Perbuatan korupsi yang termasuk dalam penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, kelompok atau golongan. Semua itu merupakan pengkhianatan terhadap amanah dan sumpah jabatan. Mengkhianati amanah adalah salah satu karakter orang-orang munafik dan termasuk perbuatan dosa yang dibenci oleh Allah, sehingga hukumnya haram. Seperti yang terkandung dalam QS.al-Anfal: 27 dan QS.al-Nisa’: 58 yang artinya sebagai berikut; "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul-Nya (Muhammad), dan jangan pula kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu sedang kamu mengetahui." (QS.al-Anfal: 27)
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, menetapkan hukum diantara manusia dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sungguh Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS.al-Nisa’ 58)
3.Perbuatan korupsi adalah perbuatan zalim, baik untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, kelompok dan golongan, karena kekayaan negara adalah harta publik yang berasal dari jerih payah rakyat termasuk kaum miskin dan kaum papa. Perbuatan ini diancam dengan azab yang sangat pedih kelak di akhirat. Bisa kita lihat pada kandungan QS.al-Zukhruf: 65 yang artinya ; Maka berselisihlah golongan-golongan yang terdapat diantara mereka, maka kecelakaan yang besar bagi orang-orang yang zalim yaitu siksaan yang pedih (QS.al-Zukhruf: 65).
Dan sabda Nabi Saw yang artinya; “ Rasulullah Saw. Melaknat pemberi suap dan penerima suap.” Juga sabda Beliau dari Abu Dawud, “ Barangsiapa yang kami pekerjakan untuk mengerjakan suatu tugas tertentu dan telah kami beri gaji tertentu maka apa yang ia ambil selain gaji itu adalah ghulul (korupsi)”. (HR. Abu Dawud, al-Hakim, Baihaqi dan Ibn Huzaimah). Sedangkan memanfaatkan harta hasil korupsi baik yang dilakukan untuk kepentingan pribadi, keluarga dan bantuan sosial apalagi untuk membangun sarana ibadah tetap haram. Sama halnya seperti orang yang memanfaatkan hasil usaha dari suatu pekerjaan yang dilarang oleh Islam seperti berjudi, merampok, menipu, dan pekerjaan ilegal lainnya. Karena pada prinsipnya harta yang diperoleh dari hasil korupsi, berjudi, menipu, merampok dan lain sebagainya bukan hak milik yang sah sehingga tidak berhak untuk memanfaatkan harta tersebut sekalipun untuk kebaikan.
Beberapa ulama fiqih pun juga setuju, apabila menggunakan atau meraih harta dari hasil tindak pidana korupsi, hal itu sama saja dengan memakan hasil penjarahan, perjudian, dan perampokan. Dimana, hukumnya sudah jelas menjadi haram. Inilah cara Islam memandang perbuatan korupsi yang seakan-akan telah menjadi ciri budaya di Indonesia.
Oleh karena itu, setelah terungkapnya tindak pidana korupsi ekspor minyak goreng ini, pemerintah harus mengevaluasi perbaikan sistem perizinan ekspor dan impor. Juga, hidup ini harus dilandasi dengan Akhlak yang baik, bersen-dikan agama dan menghormati serta mentaati hukum-hukum yang benar. Sehingga kehidupan kita menjadi bermanfaat untuk diri sendiri dan banyak orang serta berguna dan bermakna bagi alam semesta, sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Penulis : Adinda Miftakhul Jannah, Mahasiswi Sekolah Tinggi Agama Islam Negri Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau, Prodi Hukum Keluarga Islam Smstr 2.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H