Mohon tunggu...
Jingga Ramadhintya
Jingga Ramadhintya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Politik di Universitas Airlangga

I read, i talk, i listen, therefore i write.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Huru-hara Omnibus Law dan Getirnya Nasib Buruh di Indonesia

16 Juni 2022   22:02 Diperbarui: 9 Agustus 2022   21:04 771
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustration: Rahmad Kurniawan from dreamstime

Kesejahteraan pekerja telah menjadi isu yang cukup krusial untuk diperbincangkan dan diangkat sebagai diskursus. Tak hanya pekerja adalah sumber daya yang menentukan ke arah mana kemajuan ekonomi suatu negara, pekerja juga merupakan pihak yang hak-haknya mesti dipenuhi serta dilindungi. 

Di Indonesia sendiri, pekerja atau buruh masih menemui beragam masalah pelik dalam pemenuhan hak-haknya, baik itu dari segi kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah, maupun eksekusi yang berada di tangan para pengusaha yang mempekerjakan para buruh.   

Dalam praktiknya, kesejahteraan buruh di Indonesia masih meninggalkan celah-celah rumpang untuk dibenahi, regulasi yang ada tak mampu menjadi tembok yang cukup kokoh untuk melindungi buruh dari ketidakadilan, malah regulasi yang ada justru menjadi jalan bagi fleksibelnya kesewenang-wenangan terhadap buruh selaku pihak yang lemah dalam keberadaan relasi kuasa.   

Adalah Omnibus Law, rancangan undang-undang yang mencakup lebih dari satu aspek yang digabung menjadi satu undang-undang (O'brien, 2009), yang disahkan di Indonesia pada 5 Oktober 2020 lalu. UU Omnibus Law  Cipta Kerja yang bertujuan mengurangi ketatnya aturan-aturan hukum di Indonesia yang dianggap menghambat penanaman modal oleh para investor ini memayungi beberapa undang-undang di bawahnya, 

salah satunya adalah undang-undang mengenai ketenagakerjaan. 

Pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja mendatangkan banyak kritik dari berbagai pihak, terutama para buruh yang merasa bahwa dengan disahkannya undang-undang ini, maka semakin menyulitkan buruh untuk mendapatkan haknya. Undang-undang ini juga disebut-sebut sebagai bentuk kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap buruh.

Sebelum UU Ciptaker ditetapkan sebagai payung yang menaungi hukum tentang tenaga kerja, terlebih dahulu regulasi mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UU No.13 Tahun 2003, di dalam UU Ciptaker, hal-hal yang bersangkutan dengan tenaga kerja diatur di dalam UU No. 11 Tahun 2020. 

Meski ada pergantian payung hukum dan beberapa pasal, perubahan ini tak serta merta mengarah ke jalan yang lebih baik bagi buruh. Beberapa pasal di dalam UU No. 11 Tahun 2020 malah menjadi polemik baru. UU Ciptaker terlampau memprioritaskan kepentingan para investor dan mengabaikan hak-hak buruh.   

Contoh pertama adalah penghapusan pasal 91 pada UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Dihapuskannya pasal ini membuka peluang bagi para pengusaha untuk membayar buruh di bawah upah minimum yang berlaku sebab sanksi terhadap hal ini menjadi lebih longgar. 

Selanjutnya, Pasal 66 ayat 1 di UU No. 13 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja alih daya tidak boleh bersangkutan langsung dengan pekerjaan utama yang dimiliki oleh perusahaan. 

Pasal 66 ayat (1) pada UU Cipta Kerja menggantinya dan menjelaskan bahwa hubungan pekerjaan di antara pekerja, perusahaan subkontrak, dan perusahaan pengguna atau alih daya ditentukan melalui perjanjian tertulis yang menentukan jenis pekerjaan dengan waktu tertentu atau pekerjaan dengan waktu tidak tertentu. 

Hal ini mengisyaratkan bahwa pengusaha menjadi lebih bebas memerintah buruh untuk melakukan jenis pekerjaan yang diminta oleh pengusaha dan mengaburkan batasan-batasan mengenai pekerjaan jenis apa yang dapat dikerjakan oleh pekerja alih daya. 

Dua pasal di atas hanyalah segelintir contoh mengenai betapa hukum di Indonesia masih minim keberpihakannya kepada buruh atau pekerja. Undang-undang yang semestinya menjadi produk hukum dan politik penopang regulasi demi melindungi hak-hak buruh, malah menjadi bumerang. 

Pemerintah selaku pihak yang memiliki otoritas untuk membuat peraturan masih lebih mengunggulkan kesejahteraan investor, namun itu dilakukan dengan mengorbankan kemaslahatan para buruh. 

Undang-undang ini bukan saja bermasalah dari segi substansi namun juga penggarapannya yang dianggap tidak melibatkan pihak-pihak terdampak, waktu yang terlampau singkat untuk penyelesaiannya, serta jauh dari transparansi kepada publik, sehingga saat ia muncul, tak heran kritik untuknya dilemparkan dari berbagai sisi.   

UU Omnibus Law Cipta Kerja, Inkonstitusional Bersyarat? 

Mahkamah Konstitusi (MK) pada tanggal 25 November 2021 menyatakan bahwa UU Omnibus Law Cipta Kerja berstatus inkonstitusional bersyarat disebabkan oleh tidak adanya keterbukaan terhadap publik serta ambiguitas sifatnya; apakah merevisi undang-undang yang sudah ada atau membuat undang-undang yang baru. Oleh karena itu, MK masih memberi kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki UU ini dalam kurun waktu dua tahun. 

Meski sudah ditetapkan inkonstitusional bersyarat, yang artinya pasal yang dimohonkan diuji tersebut adalah inkonstitusional jika syarat yang ditetapkan oleh MK tidak dipenuhi, pada kenyataannya praktis Omnibus Law masih membawa banyak persoalan pelik di meja. 

Padahal, jika sudah menyandang status inkonstitusional bersyarat, mestinya pemerintah dapat dengan tanggap memperbaiki dan mengevaluasi undang-undang, pemerintah juga bertanggung jawab membuat regulasi yang tetap menguntungkan kedua belah pihak tanpa harus mengorbankan pemenuhan pihak lain (dalam kasus ini adalah buruh atau pekerja). 

Kurun waktu dua tahun itu sudahkah digunakan seefektif dan seefisien mungkin untuk menunjukkan keberpihakan pemerintah kepada rakyat? Atau justru dua tahun hanyalah bilangan angka bagi pemerintah untuk terus menutup mata dan abai pada kewajibannya kepada rakyat?   

Keberpihakan pada Investor Berkedok Fleksibilitas?  

Salah satu tujuan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah penerapan pasar bebas dengan terbukanya lebih banyak peluang bagi para investor untuk menanamkan modal, yang akan berimbas kepada terciptanya lebih banyak lapangan kerja. UU ini juga ditujukan untuk mengurangi tingkat pengangguran di Indonesia, serta mengubah undang-undang sebelumnya yang dianggap kaku dan rigid, dalih fleksibilitas menjadi jargon yang kerap digaungkan.   

Namun, apakah fleksibilitas benar-benar sesuatu yang dibutuhkan pekerja di Indonesia? Bahkan tanpa fleksibilitas pun, kondisi tenaga kerja di Indonesia sudah mengalami cukup banyak kesulitan. Pengesahan Omnibus Law justru semakin memperparah keadaan yang ada, terbukti dari pasal-pasal kabur yang belum jelas apa maunya tapi sudah begitu saja disahkan. 

Penulis berharap pemerintah dapat memahami keresahan buruh dan menyadari bahwa kita perlu solusi atas masalah kolektif ini, dan Omnibus Law yang digarap secara serampangan tanpa keberpihakan kepada pekerja, bukanlah solusinya. 

Penulis: Jingga Ramadhintya

Untuk berkorespondensi dengan penulis, ia dapat dihubungi melalui alamat email jingga.ramadhintya.putri-2021@fisip.unair.ac.id, atau di akun Instagram pribadinya @dhintyaaa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun