Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aura Sederhana Keris Gaya Yogyakarta

23 Januari 2025   16:00 Diperbarui: 24 Januari 2025   06:37 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gusti Yudaningrat (nomor tiga dari kanan) dan Fadli Zon (nomor empat dari kiri) dalam sebuah sarasehan tentang Keris Yogyakarta di dalem Yudanegaran, pada Mei 2018. (Foto: Jimmy S Harianto)

Ciri khas keris Hamengku Buwanan atau keris Ngayogyakarta itu umumnya prasaja, akan tetapi mrabu. Sederhana (prasaja), kurang gemerlap akan tetapi berwibawa dan memancarkan sifat raja (mrabu).

"Gagrak Yogya ada banyak. Akan tetapi pakemnya seperti (keris) Mataram Sultan Agung, lebih kecil namun memba-memba (memirip) Mojo," ungkap Gusti Yudhaningrat, salah adik kandung Sultan Hamengku Buwana (HB) X yang saat ini bertahta.

Gusti Yudho, panggilan akrab adik Sultan HB X banyak berkiprah di kesenian tradisional termasuk keris dan wayang kulit. Ia mengungkapkan hal ini dalam sebuah sarasehan khusus tentang keris di dalem Yudanegaran Yogyakarta, pada suatu Selasa (30.05.2018) enam tahun silam. Meski enam tahun silam, akan tetapi apa yang diuraikan Gusti Yudho waktu itu masih relevan sampai sekarang.

Fadli Zon, waktu itu juga hadir di Yudanegaran akan tetapi tentu saja belum jadi menteri, akan tetapi sebagai Ketua SNKI (Serikat Nasional Perkerisan Indonesia). Khalayak yang hadir, sangat beragam, dan umumnya adalah kalangan tradisionalis dan tentu saja banyak penggemar keris di antara mereka.

Beberapa sampel dari puluhan keris Hamengku Buwanan yang dipamerkan di Yudanegaran pada 30 Mei 2018 silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
Beberapa sampel dari puluhan keris Hamengku Buwanan yang dipamerkan di Yudanegaran pada 30 Mei 2018 silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
Sengaja diangkat kembali topik "Keris Hamengku Buwanan" ini, lantaran topik tentang itu sangat jarang mengemuka ke publik. Umumnya publik hanya tahu, bahwa keris Jawa itu adalah keris Surakarta. Sehingga sangat sering terjadi, jika ada perhelatan dengan nuansa tradisional, orang sering campur aduk. Ada yang memakai baju tradisional Sorjan Ngayogyakarta, tetapi kerisnya Surakarta. Atau sebaliknya.

Maklumlah, persewaan baju untuk penganten dan para among tamu, hanya menyediakan perlengkapan keris-kerisan. Umumnya bikinan Yogyakarta selatan, tetapi umumnya berbentuk keris-kerisan Surakarta, yang dibuat seadanya: warangka kasar, kodian, dan bilahnya pun hanya aluminum berbentuk serupa keris, atau keris temantenan dari bekas besi drum.

Antara Branggah dan Ladrang

Umumnya pekeris Surakarta memakai keris dengan warangka jenis Ladrang yang pangkal warangkanya serupa kapal melengkung. Padahal, dulu itu menggambarkan lengkungan sabut kelapa yang kering. Simbolisme kehidupan agraris yang dilambangkan dengan sabut kelapa. Sementara, negeri-negeri pesisiran seperti Cirebon, Banten, dan terutama Sumatera dan Sulawesi, mereka memakai gambaran perahu atau kapal. Sebagai perlambang kehidupan maritim.

Warangka Ladrang Surakarta, kalau di Yogyakarta namanya warangka Branggah. Sepintas mirip. Akan tetapi jika dicermati detilnya, baik bentuk daunan warangkanya, maupun bentuk gandar (sarung) bilahnya, sungguh berbeda. Katakanlah, yang satunya seperti bentuk daun singkong, yang satunya daun nangka, atau malah daun sawo dengan simbolismenya masing-masing.

Bagi mereka yang sudah terbiasa dengan keris-kieris Jawa, akan sangat berhati-hati untuk mencampur adukkan begitu saja, baju atau busana tradisional Beskap Surakarta dengan keris Yogyakarta. Atau baju Surjan Yogyakarta, tetapi kerisnya "keris-kerisan" Surakarta yang umum terdapat di persewaan baju-baju penganten dan among tamu di seantero Jawa.

Baik Ladrang (Surakarta) maupun Branggah (Yogyakarta) umumnya dipakai pada saat event-event resmi, pengantenan, perayaan tradisional. Sedangkan bentuk warangka keris sehari-hari, adalah jenis Gayaman. Gayaman Solo atau Surakarta, serta Gayaman Yogyakarta, sama-sama untuk keseharian. Dan umum pula dibawa atau dikenakan oleh para abdi dalem kraton sehari-hari, saat menjalankan pengabdiannya di dalam istana raja.

Keris-keris Hamengku Buwanan yang dipamerkan di dalem Yudanegaran Yogyakarta pada 30 Mei 2018 silam. (Foto: Tira Hadiatmojo)
Keris-keris Hamengku Buwanan yang dipamerkan di dalem Yudanegaran Yogyakarta pada 30 Mei 2018 silam. (Foto: Tira Hadiatmojo)
Kanjeng Kiai Ageng Kopek

Di Yogyakarta, keris yang menjadi simbol kekuasaan kerajaan Mataram saat ini, adalah keris Kanjeng Kiai Ageng (KKA) Kopek. Bentuk kerisnya sangat sederhana, meskipun terlihat dulunya bekas keris yang tentunya cukup mewah. KKA Kopek bilah kerisnya berdhapur (model) Jalak Sangu Tumpeng yang konon dulunya berasal dari Sunan Kalijaga. Kalijaga sendiri adalah salah satu dari Sembilan Wali (Walisanga) pada awal-awal Islam di Jawa.

Jalak Sangu Tumpeng sendiri, kini merupakan model yang umum dicara kalangan perkerisan. Berupa keris lurus, dengan dua "sogokan" (dua garis cekung berjajar di bagian bawah bilah atau sorsoran) dengan badan bilah sedikit cembung. Bentuk seperti keris KKA Kopek ini di Yogyakarta sangat diburu mereka penggemar keris.

"Kalau dari ceritanya, KKA Kopek itu pusakanya Yudistira, yang diberikan pada Sang Prabu Patah Jimbun dari Demak Bintara," tutur Gusti Yudho dalam ceramah di Yudonegaran, enam tahun lalu itu. Siapa yang menyengkelit KKA Kopek, dia menguasai Tanah Jawi, itu mitosnya...

Lebih dari sejam, Gusti Yudho waktu itu bertutur soal keris HB sampai berbagai pusaka Kraton Ngayogyakarta, dari yang berbentuk gamelan, bende, tombak Kiai Ageng Plered, Bendera sobekan Kiswah dari Mekkah (KK Tunggul Wulung), Songsong (Payung) KK Tunggul Naga yang berjari-jari 99 buah dengan tulisan lafal Asmaul Husna, sampai kitab pandom (panduan) Prabu Nata.

"KK Suryojoyo, yang berupa kitab pandom (pedoman) Prabu Nata itu harus dibaca setiap raja Ngayogyakarta," kata Gusti Yudho pula. Kitab ini berisi ular-ular (wejangan) HB II atau Sultan Sepuh, putra pendiri Yogyakarta HB I.

Yang namanya pusaka kerajaan (royal heirloom) itu memang tidak hanya berbentuk keris atau tombak, atau pedang. Berbagai raja Mataram, dan juga raja Jawa lainnya mempusakakan berbagai benda milik raja, termasuk pula berlian istimewa baik itu ruby berukuran besar, maupun berlian.

Salah satu pusaka Amangkurat (Mataram) Kartasura yang terkenal namun hilang dalam peperangan suksesi di abad 16 adalah Kanjeng Kiai Menjangan Bang. Ruby berwarna merah, yang dulu menjadi salah satu simbol kekuasaan raja Mataram juga di era Kartasura.

Sarasehan di dalem Yudanegaran tahun 2016 malam itu berlangsung unik. Tamu utama sarasehan, Fadli Zon adalah putra Sumatra Barat. Namun, seperti kebiasaan utama kraton Ngayogyakarta, Gusti Yudho membawakan ceramahnya dalam bahasa Jawa mlipis, krama inggil halus. Bahasa yang tentu saja tak dimengerti begitu saja oleh Fadli Zon.

Meski demikian, sarasehan tetap berlangsung hangat sampai lewat tengah malam. Selain sarasehan, di latar belakang penceramah, ada gelaran etalase keris yang berisi sampel-sampel keris Tangguh Hamengku Buwanan, dari HB I sampai HB VIII.

"Semoga sarasehan seperti ini bisa dilakukan setiap bulan atau dua bulan sekali, tanpa mempedulikan dari organisasi mana. Terbuka bagi semua kalangan," kata Gusti Yudho pula.

Jejak Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti 1755 tidak hanya membelah kerajaan Islam Mataram di Jawa, menjadi belah dua -- Ngayogyakarta Hadiningrat (dimulai dengan Sultan HB I) dan Surakarta (mulai Paku Buwana atau PB III). Akan tetapi meninggalkan jejak keterbelahan budaya yang tajam antara Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian yang diperantarai kolonial itu sekaligus juga mengakhiri masa independensi Mataram sejak dibangun oleh Sutawijaya 1685.

Dua hari setelah perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), yang berlangsung antara pihak penguasa Mataram diwakili Kumpeni (VOC) setelah Paku Buwana II raja di Sala menyerahkan kekuasaan ke kolonial, dengan pihak Mangkubumi, saudara lain ibu. Mangkubumi setelah perjanjian, diangkat menjadi Hamengku Buwana I di Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Kanjeng Kiai Ageng Kopek sebagai wahyu ratu, sedangkan tombak Pleret sebagai wahyu senapati," kata Gusti Yudho. Pada perjanjian Jatisari dua hari setelah Giyanti, raja Surakarta PB III menyerahkan pusaka utama Mataram, KKA Kopek kepada HB I yang juga paman PB III.

"Paku Buwana III mengusulkan agar HB I melanjutkan kostum Mataram sepuh (Senapaten dan Sultan Agung) di Jatisari," tutur Gusti Yudho pula. Dan tidak hanya kostum saja, akan tetapi juga gaya busana kerisnya. Yogya meneruskan gaya busana keris Mataram.

Sementara Surakarta membuat gagrak baru, dengan mengadopsi busana pesisiran yang diperindah. Selain itu, kedua kerajaan bersaudara ini seperti terbelah dua, juga independensi Mataram Surakarta dan Ngayogyakarta secara de facto, berhenti.

Dalam salah satu pasal perjanjian Giyanti (1755) misalnya, para pepatih dalem maupun bupati Ngayogyakarta yang diangkat sultan, harus mendapat persetujuan dari Kumpeni (Belanda) untuk mengucapkan sumpah setiap kepada Gubernur VOC.

Ini sama halnya pemerintah kolonial melarang Sultan mengangkat pepatih dalem, atau bupatinya tanpa persetujuan Kumpeni. Dan tidak hanya independensi politik saja yang terhenti. Perjanjian Giyanti 1755 ini juga mewajibkan Sultan Yogyakarta memasok dan menjual semua hasil buminya kepada Belanda, dengan harga yang ditentukan secara sepihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun