Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Aura Sederhana Keris Gaya Yogyakarta

23 Januari 2025   16:00 Diperbarui: 24 Januari 2025   06:37 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gusti Yudaningrat (nomor tiga dari kanan) dan Fadli Zon (nomor empat dari kiri) dalam sebuah sarasehan tentang Keris Yogyakarta di dalem Yudanegaran, pada Mei 2018. (Foto: Jimmy S Harianto)

Jejak Perjanjian Giyanti

Perjanjian Giyanti 1755 tidak hanya membelah kerajaan Islam Mataram di Jawa, menjadi belah dua -- Ngayogyakarta Hadiningrat (dimulai dengan Sultan HB I) dan Surakarta (mulai Paku Buwana atau PB III). Akan tetapi meninggalkan jejak keterbelahan budaya yang tajam antara Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian yang diperantarai kolonial itu sekaligus juga mengakhiri masa independensi Mataram sejak dibangun oleh Sutawijaya 1685.

Dua hari setelah perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), yang berlangsung antara pihak penguasa Mataram diwakili Kumpeni (VOC) setelah Paku Buwana II raja di Sala menyerahkan kekuasaan ke kolonial, dengan pihak Mangkubumi, saudara lain ibu. Mangkubumi setelah perjanjian, diangkat menjadi Hamengku Buwana I di Ngayogyakarta Hadiningrat.

"Kanjeng Kiai Ageng Kopek sebagai wahyu ratu, sedangkan tombak Pleret sebagai wahyu senapati," kata Gusti Yudho. Pada perjanjian Jatisari dua hari setelah Giyanti, raja Surakarta PB III menyerahkan pusaka utama Mataram, KKA Kopek kepada HB I yang juga paman PB III.

"Paku Buwana III mengusulkan agar HB I melanjutkan kostum Mataram sepuh (Senapaten dan Sultan Agung) di Jatisari," tutur Gusti Yudho pula. Dan tidak hanya kostum saja, akan tetapi juga gaya busana kerisnya. Yogya meneruskan gaya busana keris Mataram.

Sementara Surakarta membuat gagrak baru, dengan mengadopsi busana pesisiran yang diperindah. Selain itu, kedua kerajaan bersaudara ini seperti terbelah dua, juga independensi Mataram Surakarta dan Ngayogyakarta secara de facto, berhenti.

Dalam salah satu pasal perjanjian Giyanti (1755) misalnya, para pepatih dalem maupun bupati Ngayogyakarta yang diangkat sultan, harus mendapat persetujuan dari Kumpeni (Belanda) untuk mengucapkan sumpah setiap kepada Gubernur VOC.

Ini sama halnya pemerintah kolonial melarang Sultan mengangkat pepatih dalem, atau bupatinya tanpa persetujuan Kumpeni. Dan tidak hanya independensi politik saja yang terhenti. Perjanjian Giyanti 1755 ini juga mewajibkan Sultan Yogyakarta memasok dan menjual semua hasil buminya kepada Belanda, dengan harga yang ditentukan secara sepihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun