Kanjeng Kiai Ageng Kopek
Di Yogyakarta, keris yang menjadi simbol kekuasaan kerajaan Mataram saat ini, adalah keris Kanjeng Kiai Ageng (KKA) Kopek. Bentuk kerisnya sangat sederhana, meskipun terlihat dulunya bekas keris yang tentunya cukup mewah. KKA Kopek bilah kerisnya berdhapur (model) Jalak Sangu Tumpeng yang konon dulunya berasal dari Sunan Kalijaga. Kalijaga sendiri adalah salah satu dari Sembilan Wali (Walisanga) pada awal-awal Islam di Jawa.
Jalak Sangu Tumpeng sendiri, kini merupakan model yang umum dicara kalangan perkerisan. Berupa keris lurus, dengan dua "sogokan" (dua garis cekung berjajar di bagian bawah bilah atau sorsoran) dengan badan bilah sedikit cembung. Bentuk seperti keris KKA Kopek ini di Yogyakarta sangat diburu mereka penggemar keris.
"Kalau dari ceritanya, KKA Kopek itu pusakanya Yudistira, yang diberikan pada Sang Prabu Patah Jimbun dari Demak Bintara," tutur Gusti Yudho dalam ceramah di Yudonegaran, enam tahun lalu itu. Siapa yang menyengkelit KKA Kopek, dia menguasai Tanah Jawi, itu mitosnya...
Lebih dari sejam, Gusti Yudho waktu itu bertutur soal keris HB sampai berbagai pusaka Kraton Ngayogyakarta, dari yang berbentuk gamelan, bende, tombak Kiai Ageng Plered, Bendera sobekan Kiswah dari Mekkah (KK Tunggul Wulung), Songsong (Payung) KK Tunggul Naga yang berjari-jari 99 buah dengan tulisan lafal Asmaul Husna, sampai kitab pandom (panduan) Prabu Nata.
"KK Suryojoyo, yang berupa kitab pandom (pedoman) Prabu Nata itu harus dibaca setiap raja Ngayogyakarta," kata Gusti Yudho pula. Kitab ini berisi ular-ular (wejangan) HB II atau Sultan Sepuh, putra pendiri Yogyakarta HB I.
Yang namanya pusaka kerajaan (royal heirloom)Â itu memang tidak hanya berbentuk keris atau tombak, atau pedang. Berbagai raja Mataram, dan juga raja Jawa lainnya mempusakakan berbagai benda milik raja, termasuk pula berlian istimewa baik itu ruby berukuran besar, maupun berlian.
Salah satu pusaka Amangkurat (Mataram) Kartasura yang terkenal namun hilang dalam peperangan suksesi di abad 16 adalah Kanjeng Kiai Menjangan Bang. Ruby berwarna merah, yang dulu menjadi salah satu simbol kekuasaan raja Mataram juga di era Kartasura.
Sarasehan di dalem Yudanegaran tahun 2016 malam itu berlangsung unik. Tamu utama sarasehan, Fadli Zon adalah putra Sumatra Barat. Namun, seperti kebiasaan utama kraton Ngayogyakarta, Gusti Yudho membawakan ceramahnya dalam bahasa Jawa mlipis, krama inggil halus. Bahasa yang tentu saja tak dimengerti begitu saja oleh Fadli Zon.
Meski demikian, sarasehan tetap berlangsung hangat sampai lewat tengah malam. Selain sarasehan, di latar belakang penceramah, ada gelaran etalase keris yang berisi sampel-sampel keris Tangguh Hamengku Buwanan, dari HB I sampai HB VIII.
"Semoga sarasehan seperti ini bisa dilakukan setiap bulan atau dua bulan sekali, tanpa mempedulikan dari organisasi mana. Terbuka bagi semua kalangan," kata Gusti Yudho pula.