Ketika diangkat menjadi empu Mataram, Ki Nom -- julukan empu Supa Anom putranya Pangeran Sedayu alias Ki Supamandrangi dari Majapahit -- banyak membuat keris-keris indah dengan bilah berhias serasah emas. Ki Nom tidak hanya diangkat jadi empu Mataram dan diganjar nama gelar Pangeran Sendang. Akan tetapi juga dianugerahi putri cantik berdarah raja untuk diperistri.
Selain keris-keris dengan sinarasah emas, Ki Nom juga banyak membuat keris dengan gandhik naga, juga keris berdapur (model) Nagasasra dengan ganja kelap lintah, ganja dhungkul dan berhias emas. Keris-keris itu untuk caosan (hadiah) bagi para gusti (putra-putra raja) yang masih timur (masih muda).
Kisah itu diungkapkan dalam tetembangan susastra, "Serat Cariyosipun Para Empu ing Tanah Jawi" (1919, Bab 14 pada atau bait 22-23). Kisah-kisah tentang Ki Nom, keris Nagasasra dan juga Sultan Agung banyak ditulis di catatan-catatan lama seperti Serat Paniti Kadga, Â ataupun tetambangan seperti Suluk Tambangraras yang populer disebut sebagai Serat Centhini (1823), dan berbgai catatan lain di keraton.
Sultan Agung ing Mataram (1613-1645)  juga memerintahkan Ki Nom untuk membuat tombak-tombak untuk para prajurit, jumlahnya karobelah (150 pucuk) yang bagus-bagus. Untuk yang tamtama (prajurit garis depan)  Sultan Agung minta dibuatkan dapur yang sama, dapur sapit abon yang bagus, dengan pamor triwarna.
Ki Nom (disebut begitu karena empu sepuh ini awet enom) juga diperintahkan untuk membuat empat keris dengan ganja berpamor (ganja sekar). Setelah membikin empat keris dengan ganja sekar ini, kata Sultan Agung, Ki Nom jangan lagi membuat keris dengan ganja sekar. Tetapi ganja tanpa pamor. Artinya, setelah empat keris yang dibabar oleh Ki Nom itu, orang-orang senegara Mataram hendaknya tidak lagi membuat keris dengan ganja sekar, akan tetapi "ganja waja". (Serat Cariyosipun Para Empu, Bab 14 pada atau bait 18-19).
Ganja (bagian yang melintang terpisah di dasar bilah keris) waja yang dimaksud Serat tersebut, adalah ganja tanpa pamor, yang umum disebut sebagai "ganja wulung". Itu sebabnya, banyak keris-keris tangguh Mataram Sultan Agungan ditemukan memakai ganja wulung, ganja tanpa pamor meskipun bilahnya berpamor indah.
Karena peraturan penguasa Mataram Sultan Agung, setelah Ki Nom membuat empat keris dengan ganja sekar, setelah itu tidak boleh lagi dibuat kerisdi era Mataram  dengan ganja berpamor. Itu sebabnya, banyak ditemukan keris era Sultan Agungan yang dihias serasah emas di ganda pun, ganjanya ganja waja. Tanpa pamor, tetapi ditutup tinatah emas...
Tinatah Gajah Singa
Keris dengan tinatah emas di bilahnya mulanya memang umumnya hanya dikenakan oleh para pangeran, atau para bangsawan. Selain emas bukan logam yang mudah dimiliki untuk menghias bilah keris di masa kerajaan, juga lantaran jenis motif tinatah emas itu berfungsi juga untuk pembeda status.
Namun Sultan Agung ternyata justru membuat tradisi baru. Bahwa siapa saja, yang berjasa terhadap negara Mataram dianugerahi keris dengan ganja berhias emas. Sesuai dengan besar jasanya pada Sultan Agung. Atau, keris milik orang yang berjasa itu dibubuhi susulan hiasan emas sesuai jasanya pada wuwungan (bagian dasar ganja) dengan serasah emas.
Sultan Agung menduduki tahta Mataram selama 32 tahun, sejak tahun surya 1538 sampai dengan 1570 (1613-1645 Masehi). Selain dikenal berpendirian teguh, suka perang, beliau juga dikenal sebagai seorang raja yang halus tegur sapa terhadap rakyat. Dan mengganjar mereka yang berjasa terhadap negara Mataram, namun juga sebaliknya menghukum yang salah.
Menurut Pangeran Hadiwidjojo (1961) - salah satu putra raja Surakarta Paku Buwana X - bentuk tinatah relief gajah-singa (gajah di ujung wuwungan atau alas bawah ganja) serta singa di sisi sebelahnya itu sebenarnya merupakan sengkalan (simbol yang bermakna angka tahun) Jawa 1558. Â Bersamaan dengan tahun Masehi 1636, yaitu saat kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung Anyakrakusuma, berhasil menumpas pemberontakan Kadipaten Pati. (Haryono Haryoguritno, 2005-249)
Karena itu, bentuk singa dan gajah ini sering dianggap sebagai lambang kerajaan Mataram (dengan tafsir: singa nggero atau gertak Mataram yang berarti singa yang mengaum sebagai gertak pasukan Mataram). Sedangkan gajah dianggap melambangkan kadipaten Pati (dengan tafsir gajah nggiwar, berarti gajah yang menghindar karena takut) yang akhirnya menyerah di bawah kekuasaan Mataram Sultan Agung. (Haryoguritno, 2005).
Penulis lain, Koesni (Pakem Pengetahuan tentang Keris, 1970an) menuliskan bahwa dalam pemerintahan Sultan Agung, pemberian ganjaran dari raja kepada sentana (kerabat raja) dan rakyatnya, selain mengingat besar kecilnya jasa, juga disesuaikan dengan kedudukannya, sebagai berikut:
Para lelurah prajurit sampai perajurit biasa menerima ganjaran, ada yang berupa tombak dan keris yang diserasah emas bergambar "sada sakler" (motif pamor berwujud satu garis sampai ke pucuk, lidi sebatang) pun juga bergambar "sapit landak" dan trisula atau tombak berpucuk tiga.
Para perwira prajurit dan Panewu Mantri mendapat ganjaran pusaka-pusaka yang diserasah emas bergambar kepala gajah dan singa. Karena perwira prajurit dan Panewu Mantri itu jumlahnya banyak, maka tidak heran jika jumlah tinatah dengan motif gajah singa begitu banyak terdapat di perkerisan.
Sebagai pimpinan pasukan dan para Wadana Kliwon mendapat ganjaran pusaka yang diserasah emas berupa motif lunglungan (sulur batang) dan ronronan (dedaunan).
Para kerabat keraton atau patih dalem, mendapat ganjaran pusaka yang diserasah emas bergambar (motif) bunga anggrek.
Pusaka Ageman
Selain membuat keris merakyat, dengan mengizinkan rakyat biasa pun bisa memiliki keris dengan hiasan emas, Sultan Agung juga dikenang di kalangan perkerisan karena membuat pusaka-pusaka ageman dan tayuhan dalam berbagai bentuk relief naga. Yang pertama-tama membabar kerisnya waktu itu adalah Ki Nom, alias Empu Supa Anom atau Warih Anom putra empu asal Majapahit Supamandrangi alias Jakasupa.
Pusaka ageman adalah pusaka (bisa berbentuk keris atau tombak) yang berfungsi sebagai simbol dan karakter pemiliknya, mengunjuk pada identitas profesi pada masa itu. Pemilik pusaka yang dimaksud waktu itu adalah kalangan ulama, pendeta, Raja dan Patih Sepuh.
Pusaka Ageman yang diperintahkan dibikin oleh Sultan Agung waktu itu adalah Kyai Nagasasra, keris dengan luk (lekuk) tigabelas berserasah emas mulai dari kepala sampai ekor. Bagian lambe gajah (detil di bagian depan sorsoran atau bagian bawah keris) berbentuk kepala naga dari emas, di mulutnya diberi sebutir intan (bukan berlian).
Kyai Naga Siluman, juga memiliki luk atau lekuk tiga belas. Lambe gajah berbentuk kepala naga, tetapi bukan menggunakan mahkota seperti Kyai Nagasasra. Naga Siluman hanya menggunakan 'topong' tutup kepala yang agak membulat ujungnya. Serasah emas di badan hanya tiga perempat, selanjutnya terputus bagian ekornya menghilang. Perwujudan ekornya tidak ada.
Kyai Naga Kikik, juga memiliki luk tiga belas dengan serasah emas mulai kepala naga yang tidak memakai perhiasan apa-apa, dan mulut naga sedikit runcing serta tidak begitu menganga buka mulutnya.
Kyai Nagawelang juga luk tiga belas, dengan kepala naga yang dihias dengan jamang ringih (hiasan kepala, bukan berupa mahkota atau topong). Penerapan emas sedikit tebal dan penggambaran sisik selang-seling antara emas dan besi (bukan emas). Dan bila diperhatikan, motif badan ularnya seperti ular welang.
Menurut penulis Koesni di bukunya, Pakem Pengetahuan tentang Keris, di masa kerajaan Demak (sebelum Mataram dan sesudah era Majapahit), empu Kyai Supa juga sudah pernah membabar pusaka keris dengan relief naga. Namun namanya Kyai Nagaraja, dan bukan Nagasasra.
Setelah keris-keris yang dibabar Ki Nom di Mataram, maupun Kyai Supa di era Demak ini, bermunculan keris-keris yang dibabar oleh empu-empu lain dengan motif atau model yang sama. Keris-keris di kemudian hari yang model dan motifnya sama dengan yang dibuat Ki Nom atau Ki Warihanom di era Mataram, disebutnya bukan dengan sebutan Kyai Nagasasra, Kyai Naga Siluman, Kyai Naga Kikik dan Kyai Nagawelang lagi. Akan tetapi keris-keris berdapur Nagasasra, dapur Naga Siluman, dapur Naga Kikik, dapur Nagawelang dan tentunya juga seperti model di era Demak... Keris berdapur Nagaraja. *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H