Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dramatis di Balik Keris Si Ginjei dan Singo Merjayo

2 Desember 2024   09:59 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:28 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penyerahan dua simbol Kesultanan Jambi keris Si Ginjei dan Singo Merjayo (dibungkus kain di atas meja) oleh Pangeran Ratu Marta Ningrat (tiga dari kiri) kepada Residen Belanda untuk Jambi Oscar Louis Helfrich pada 26 Maret 1904. (Foto KITLV Leiden)

Terlepas dari apakah penyerahan itu secara sukarela atau paksaan, namun dari dokumentasi foto terlihat, Jambi telah takluk dan perangkat kesultanan secara simbolis, sudah tidak lagi berkuasa setelah serah terima pusaka. Karena Si Ginjei dan Singa Merjayo adalah lambang kedaulatan kesultanan Melayu, Jambi.

Sultan Thaha Syaifuddin, menurut sebuah catatan, dikatakan berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya. Ia menolak untuk bekerjasama dengan Belanda terkait monopoli perdagangan lada hitam di Sumatera, dan juga rempah-rempah lain termasuk juga cukai tembakau.

Terhitung sejak penolakan Sultan Thaha Syaifuddin (1858), maka Belanda pun melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Sultan. Hingga Sultan pun melakukan pelarian serta memimpin kerajaan dari wilayah hulu. Keris Si Ginjei sudah diserahkan pada putra mahkota.

Trik-trik Belanda pun, menurut catatan ini, sudah dilakukan dengan menguasai istana kesultanan yang lokasinya di Istana Tanah Pilih yang saat ini berada di wilayah kota Jambi. Penguasaan Belanda atas kesultanan Jambi ini tercatat, bahwa Belanda bisa mengganti siapa saja kerabat istana yang dapat menjadi sultan sesuai keinginan mereka. Kemudian menjadikan 'sultan boneka' agar bisa memonopoli perdagangan lada hitam.

Dalam catatan kesultanan, misalnya disebut, Panembahan Prabu diangkat sebagai sultan penguasa Jambi bergelar Sultan Ahmad Nazaruddin (1858-1881) padahal Sultan Thaha Syaifuddin masih dalam pelarian. Pangeran Ratu Marta Ningrat (putra mahkota Sultan Thaha) digelari Belanda sebagai Pangeran Anom Kesumo Yudho. Ia adalah putra Sultan Thaha Syaifuddin dengan permaisuri Ratu Hajjah, menurut stamboom van Kraton Djambi.

Keris pusaka Kesultanan Jambi Si Ginjei (kiri) dan keris kepangeranan Jambi Singo Merjayo atau Senja Merjaya menurut catatan Belanda. (Dok Kemegahan Emas/Museum Nasional Indonesia)
Keris pusaka Kesultanan Jambi Si Ginjei (kiri) dan keris kepangeranan Jambi Singo Merjayo atau Senja Merjaya menurut catatan Belanda. (Dok Kemegahan Emas/Museum Nasional Indonesia)
Waktu itu timbul tanda tanya, mengapa Sultan Thaha dalam pelarian tidak membawa serta keris pusaka kerajaan Si Ginjei, yang menjadi simbol kekuasaan raja. Tetapi mempercayakan keris tersebut pada Pangeran Ratu sang putra mahkota.

Dalam catatan kesultanan, Pangeran Ratu dinyatakan ditangkap oleh Belanda dan diajak untuk berunding. Dan ketika didapati, sang putra mahkota "mengkhianati" ayahnya yang masih dalam pelarian, itu masih menjadi tanda tanya. Apakah itu dalam kondisi paksaan, atau sukarela?

Ternyata Pangeran Ratu pun bukannya mendapat imbalan kedudukan setelah menyerahkan pusaka Si Ginjei ke Residen Belanda (1904). Pangeran Ratu, yang waktu itu berusia sekitara 17-18 tahun, malah dibuang oleh Belanda ke pulau Celebes atau Sulawesi.

Pangeran Ratu Marta Ningrat, si pemegang keris Singo Merjayo itu, meninggal dalam pembuangan di Sulawesi dalam kondisi tidak memiliki keturunan... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun