Terlepas dari apakah penyerahan itu secara sukarela atau paksaan, namun dari dokumentasi foto terlihat, Jambi telah takluk dan perangkat kesultanan secara simbolis, sudah tidak lagi berkuasa setelah serah terima pusaka. Karena Si Ginjei dan Singa Merjayo adalah lambang kedaulatan kesultanan Melayu, Jambi.
Sultan Thaha Syaifuddin, menurut sebuah catatan, dikatakan berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya. Ia menolak untuk bekerjasama dengan Belanda terkait monopoli perdagangan lada hitam di Sumatera, dan juga rempah-rempah lain termasuk juga cukai tembakau.
Terhitung sejak penolakan Sultan Thaha Syaifuddin (1858), maka Belanda pun melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Sultan. Hingga Sultan pun melakukan pelarian serta memimpin kerajaan dari wilayah hulu. Keris Si Ginjei sudah diserahkan pada putra mahkota.
Trik-trik Belanda pun, menurut catatan ini, sudah dilakukan dengan menguasai istana kesultanan yang lokasinya di Istana Tanah Pilih yang saat ini berada di wilayah kota Jambi. Penguasaan Belanda atas kesultanan Jambi ini tercatat, bahwa Belanda bisa mengganti siapa saja kerabat istana yang dapat menjadi sultan sesuai keinginan mereka. Kemudian menjadikan 'sultan boneka' agar bisa memonopoli perdagangan lada hitam.
Dalam catatan kesultanan, misalnya disebut, Panembahan Prabu diangkat sebagai sultan penguasa Jambi bergelar Sultan Ahmad Nazaruddin (1858-1881) padahal Sultan Thaha Syaifuddin masih dalam pelarian. Pangeran Ratu Marta Ningrat (putra mahkota Sultan Thaha) digelari Belanda sebagai Pangeran Anom Kesumo Yudho. Ia adalah putra Sultan Thaha Syaifuddin dengan permaisuri Ratu Hajjah, menurut stamboom van Kraton Djambi.
Waktu itu timbul tanda tanya, mengapa Sultan Thaha dalam pelarian tidak membawa serta keris pusaka kerajaan Si Ginjei, yang menjadi simbol kekuasaan raja. Tetapi mempercayakan keris tersebut pada Pangeran Ratu sang putra mahkota.
Dalam catatan kesultanan, Pangeran Ratu dinyatakan ditangkap oleh Belanda dan diajak untuk berunding. Dan ketika didapati, sang putra mahkota "mengkhianati" ayahnya yang masih dalam pelarian, itu masih menjadi tanda tanya. Apakah itu dalam kondisi paksaan, atau sukarela?
Ternyata Pangeran Ratu pun bukannya mendapat imbalan kedudukan setelah menyerahkan pusaka Si Ginjei ke Residen Belanda (1904). Pangeran Ratu, yang waktu itu berusia sekitara 17-18 tahun, malah dibuang oleh Belanda ke pulau Celebes atau Sulawesi.
Pangeran Ratu Marta Ningrat, si pemegang keris Singo Merjayo itu, meninggal dalam pembuangan di Sulawesi dalam kondisi tidak memiliki keturunan... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H