Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Dramatis di Balik Keris Si Ginjei dan Singo Merjayo

2 Desember 2024   09:59 Diperbarui: 2 Desember 2024   10:28 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keris pusaka Kesultanan Jambi Si Ginjei (kiri) dan Singo Merjayo atau Singa Merjaya koleksi Museum Gajah di Jakarta. (Foto Jimmy S Harianto)

Keris Si Ginjei dan Singa Merjaya atau Singo Merjayo adalah dua pusaka utama kerajaan milik Kesultanan Jambi yang menyimpan banyak kisah dan sejarah di masa kolonial awal abad ke-20.

Kedua peninggalan berharga milik salah satu kesultanan Sumatra penghasil lada hitam (piper nigrum) di masa silam ini disimpan rapi di Museum Gajah atau Museum Nasional Indonesia (MNI). Si Ginjei, yang berhias serasah emas di sekujur bilahnya serta memakai selut (mangkuk cincin keris) yang berhiaskan berlian Martapura ini, tersimpan rapi di sebuah sudut etalase museum di lantai empat Museum Gajah.

Sedangkan keris pusaka Singo Merjayo disimpan di tempat terpisah, dulu di lantai dua gedung lama Museum Gajah. Kini pusaka Singo Merjayo tengah ikut dipamerkan di Pameran Pesona Keris Nusantara yang digelar oleh komunitas keris nasional, SNKI di salah satu sudut belakang museum lama, museum patung dan batu prasasti. Pameran digelar selama sebulan penuh dari 25 November hingga 31 Desember 2024.

Si Ginjei adalah keris lambang kekuasaan Sultan Jambi. Dan terakhir dipegang Sultan Thaha Syaifudin awal abad 20. Sedangkan keris Singo Merjayo adalah keris lambang si pemegang adalah putra mahkota Kesultanan Jambi, atau Pangeran Ratu. Si pemegang adalah calon sultan di masa datang.

Keris Singo Merjayo dan Si Ginjei diserahkan oleh Pangeran Ratu (putra mahkota Jambi) Marta Ningrat dan Pangeran Prabu Negara kepada Residen Belanda untuk Jambi Oscar Luis Helfrich. Saat diserahkan, Sultan Thaha yang tak mau tunduk pada Belanda, masih dalam pelarian. Berdasarkan catatan GJ Velds dari Angkatan Bersenjata Belanda dalam De Onderwerping van Djambi, 1901-1907 disebutkan bahwa penyerahan Si Ginjei dan Singo Merjayo pada Residen Helfrich itu terjadi pada 26 Maret 1904.

Pemerintah Hindia Belanda melalui Binnenlandsch Bestuur (Kementrian Dalam Negeri) dengan Gubermenten Besluit (Keputusan Pemerintah) No. 7 tanggal 14 Agustus 1904 menyerahkan kedua pusaka berharga milik Kesultanan Jambi itu pada lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang kini menjadi Museum Nasional, di Batavia.

Pameran di Museum Gajah yang diantaranya memamerkan keris pusaka Singo Merjayo ini diadakan dalam rangka peringatan 19 tahun pengakuan Keris Indonesia sebagai "The Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage of Humanity" oleh UNESCO di Paris pada 25 November 2005.

Penyerahan dua simbol Kesultanan Jambi keris Si Ginjei dan Singo Merjayo (dibungkus kain di atas meja) oleh Pangeran Ratu Marta Ningrat (tiga dari kiri) kepada Residen Belanda untuk Jambi Oscar Louis Helfrich pada 26 Maret 1904. (Foto KITLV Leiden)
Penyerahan dua simbol Kesultanan Jambi keris Si Ginjei dan Singo Merjayo (dibungkus kain di atas meja) oleh Pangeran Ratu Marta Ningrat (tiga dari kiri) kepada Residen Belanda untuk Jambi Oscar Louis Helfrich pada 26 Maret 1904. (Foto KITLV Leiden)
Serah dan Menyerah

Keris pusaka kerajaan menurut tradisi Melayu selain merupakan senjata yang telah digunakan sejak lebih dari 600 tahun lalu untuk mempertahankan diri, adalah juga sebagai simbol alat kebesaran raja.

Dalam kaitan Kesultanan Jambi, keris regalia Si Ginjei merupakan lambang kekuasaan Sultan Jambi. Sedangkan keris Singo Merjayo (dalam catatan Belanda juga disebutkan sebagai keris Senja Merjaya) adalah keris putra mahkota, si calon sultan.

Ketika dua benda pusaka kerajaan simbol kekuasaan dan kepangeranan itu telah diserahkan oleh Pangeran Ratu Marta Ningrat dan Pangeran Prabu Negara kepada Residen Belanda Oscar Lous Helfrich (1904), itu artinya kerajaan penghasil lada hitam itu juga sudah diserahkan kepada Belanda. Artinya, kerajaan itu secara simbolis sudah ditaklukkan.

Terlepas dari apakah penyerahan itu secara sukarela atau paksaan, namun dari dokumentasi foto terlihat, Jambi telah takluk dan perangkat kesultanan secara simbolis, sudah tidak lagi berkuasa setelah serah terima pusaka. Karena Si Ginjei dan Singa Merjayo adalah lambang kedaulatan kesultanan Melayu, Jambi.

Sultan Thaha Syaifuddin, menurut sebuah catatan, dikatakan berbeda dengan sultan-sultan sebelumnya. Ia menolak untuk bekerjasama dengan Belanda terkait monopoli perdagangan lada hitam di Sumatera, dan juga rempah-rempah lain termasuk juga cukai tembakau.

Terhitung sejak penolakan Sultan Thaha Syaifuddin (1858), maka Belanda pun melakukan serangan bertubi-tubi terhadap Sultan. Hingga Sultan pun melakukan pelarian serta memimpin kerajaan dari wilayah hulu. Keris Si Ginjei sudah diserahkan pada putra mahkota.

Trik-trik Belanda pun, menurut catatan ini, sudah dilakukan dengan menguasai istana kesultanan yang lokasinya di Istana Tanah Pilih yang saat ini berada di wilayah kota Jambi. Penguasaan Belanda atas kesultanan Jambi ini tercatat, bahwa Belanda bisa mengganti siapa saja kerabat istana yang dapat menjadi sultan sesuai keinginan mereka. Kemudian menjadikan 'sultan boneka' agar bisa memonopoli perdagangan lada hitam.

Dalam catatan kesultanan, misalnya disebut, Panembahan Prabu diangkat sebagai sultan penguasa Jambi bergelar Sultan Ahmad Nazaruddin (1858-1881) padahal Sultan Thaha Syaifuddin masih dalam pelarian. Pangeran Ratu Marta Ningrat (putra mahkota Sultan Thaha) digelari Belanda sebagai Pangeran Anom Kesumo Yudho. Ia adalah putra Sultan Thaha Syaifuddin dengan permaisuri Ratu Hajjah, menurut stamboom van Kraton Djambi.

Keris pusaka Kesultanan Jambi Si Ginjei (kiri) dan keris kepangeranan Jambi Singo Merjayo atau Senja Merjaya menurut catatan Belanda. (Dok Kemegahan Emas/Museum Nasional Indonesia)
Keris pusaka Kesultanan Jambi Si Ginjei (kiri) dan keris kepangeranan Jambi Singo Merjayo atau Senja Merjaya menurut catatan Belanda. (Dok Kemegahan Emas/Museum Nasional Indonesia)
Waktu itu timbul tanda tanya, mengapa Sultan Thaha dalam pelarian tidak membawa serta keris pusaka kerajaan Si Ginjei, yang menjadi simbol kekuasaan raja. Tetapi mempercayakan keris tersebut pada Pangeran Ratu sang putra mahkota.

Dalam catatan kesultanan, Pangeran Ratu dinyatakan ditangkap oleh Belanda dan diajak untuk berunding. Dan ketika didapati, sang putra mahkota "mengkhianati" ayahnya yang masih dalam pelarian, itu masih menjadi tanda tanya. Apakah itu dalam kondisi paksaan, atau sukarela?

Ternyata Pangeran Ratu pun bukannya mendapat imbalan kedudukan setelah menyerahkan pusaka Si Ginjei ke Residen Belanda (1904). Pangeran Ratu, yang waktu itu berusia sekitara 17-18 tahun, malah dibuang oleh Belanda ke pulau Celebes atau Sulawesi.

Pangeran Ratu Marta Ningrat, si pemegang keris Singo Merjayo itu, meninggal dalam pembuangan di Sulawesi dalam kondisi tidak memiliki keturunan... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun