Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suksesi Kusut di Keraton Mataram Kartasura

17 Oktober 2024   11:30 Diperbarui: 19 Oktober 2024   13:36 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Pangeran Puger yang nantinya Paku Buwana I menghukum putrinya sendiri, Raden Ayu Lembah dengan cara mencekik lehernya, atas perintah raja Kartasura Amangkurat III. Ayu Lembah, isteri Amangkurat III, dihukum mati karena berselingkuh dengan anak pejabat Kartasura. (KITLV Leiden) 

Seorang raja di Jawa tanpa memiliki pusaka ibarat raja tanpa legitimasi. Pusaka itu tidak harus berupa keris atau tombak. Akan tetapi bisa berupa pelana kuda yang bersejarah turun-temurun, baju kutang atau jaket perang, perhiasan permata, berlian, zamrud, mirah berukuran besar sampai batok kelapa kembar.

Batok kelapa kembar bisa melambangkan dualitas atau kesatuan dari dua hal yang berbeda, seperti langit dan bumi, laki-laki dan perempuan, atau dunia nyata dan dunia gaib. Dalam konteks kerajaan, simbolisme ini bisa dianggap sebagai cerminan harmoni dan keseimbangan yang harus dijaga oleh seorang raja atau pemimpin.

Simbol-simbol kekuasaan itu harus ada di tangan raja Jawa di masa lalu, jika ia harus mewarisi kekuasaan dari pendahulunya. Tanpa pusaka turun-temurun itu, maka di mata kerabat kerajaan dan rakyat, raja tersebut dianggap tidak layak dan bahkan boleh dikata tidak sah menjadi raja.

Pada era tertentu, banyak pusaka turun-temurun yang raib dilarikan raja terdahulu karena berkecamuknya Perang Suksesi. Salah satu Perang Suksesi yang fenomenal di era kerajaan di Jawa terjadi di era Kartasura. Dan Perang Suksesi atau yang disebut juga sebagai Perang Tahta Jawa yang pertama itu terjadi saat Amangkurat III dengan Pangeran Puger. Pangeran Puger dan pengikutnya memutuskan memberontak terhadap keponakannya, Amangkurat III yang baru saja naik tahta setelah kematian ayahnya, Amangkurat II (1703). Amangkurat III alias Adipati Anom adalah satu-satunya putra mahkota Amangkurat II karena ibunya telah mengguna-gunai isteri-isteri sang raja lainnya sehingga pada mandul dan tak berketurunan.

Sementara Pangeran Puger dia adalah adik Amangkurat II yang menurut kalangan keraton di Kartasura, dinilai lebih layak dan pantas menjadi raja ketimbang sang putra mahkota. Perang suksesi antara Pangeran Puger yang juga didukung banyak kalangan di luar keraton ini melawan Amangkurat III terjadi antara 1704-1708. Perebutan kekuasaan Mataram itu dimenangkan oleh Pangeran Puger yang dibantu oleh mitranya, Kumpeni.

Kumpeni (VOC, Vereenigde Oost-Indische Compagnie) didirikan pada tahun 1602 oleh pemerintah Belanda dengan tujuan menguasai dan memperdagangkan rempah-rempah yang berlimpah di wilayah Asia Tenggara, khususnya di wilayah Hindia Belanda dan kerajaan-kerajaan Nusantara modern. Pada saat itu, rempah-rempah seperti cengkeh, kayu manis, dan lada sangat berharga dan menjadi komoditas yang sangat dicari di pasar Eropa. VOC didukung oleh investasi pemerintah Belanda dan memiliki monopoli de facto dalam perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut. Kumpeni dijalankan oleh tujuhbelas direktur yang disebut Heeren Zeventien yang merupakan perwakilan dari enam kongsi dagang (kamers) dari Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen. Markas besar Dewan Tujuh Belas Tuan ini berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Para tuan besar ini memanfaatkan kelemahan para raja Jawa, yang sangat sering terlibat perang karena perebutan kekuasaan. Bahkan di antara keturunan-keturunan raja sendiri.

Raibnya Pusaka-pusaka Mataram

Sebegitu pentingnya pusaka kerajaan sebagai lambang kedaulatan dan bahkan legitimasi raja, sampai-sampai Perang Suksesi di Kartasura ini sangat diwarnai dengan perebutan pusaka. Dan perebutan pusaka di sini dilukiskan sebagai rebutan beneran, dan bahkan diwujudkan dalam bentuk peperangan saudara.

Sejak akhir abad ke-16, Mataram Islam yang berkembang di Jawa ini memiliki berbagai pusaka lambang kekuasaan raja, tidak hanya terbatas pada keris, pedang dan tombak saja. Akan tetapi juga mahkota dari Majapahit, perlengkapan berkuda, seperti pijakan kaki kuda milik raja pendahulu. Dan bahkan juga sebuah bende (semacam gong atau genta kecil bersejarah yang dulu berfungsi sebagai tanda pemberitahuan akan ada titah raja pada rakyat).

Hilangnya pusaka-pusaka lambang legitimasi raja Mataram ini dilukiskan cukup rinci oleh sejarawan Australia kelahiran Amerika Serikat, MC Ricklefs (1943-2019) dalam artikel sejarahnya "The Missing Pusakas of Kartasura, 1705-37" terbitan Monash University, Clayton, Victoria, Australia (1980). Termasuk daftar nama dan jenis pusaka Mataram yang hilang itu, serta siapa saja yang menghilangkan dan memperebutkannya.

Amangkurat III alias Mas Sutikna satu-satunya pewaris tahta Mataram sepeninggal Amangkurat II itu juga dijuluki Pangeran Kencet. Karena ia menderita cacat di bagian tumitnya (kencet: tumit. Jw). Menurut kisahnya, Mas Sutikna alias Pangeran Kencet berwatak buruk, mudah marah, pencemburu jika melihat pria lain lebih tampan darinya. Dan ketika menjabat sebagai Adipati Anom -- calon pewaris tahta Mataram -- ia menikahi sepupunya sendiri, Raden Ayu Lembah putri dari Pangeran Puger. Namun isterinya itu kemudian dicerai, karena isterinya itu berselingkuh dengan Raden Sukra putra Patih Mataram, Sindureja. Raden Sukra kemudian dibunuh utusan Mas Sutikna, sedangkan Pangeran Puger dipaksa menghukum mati Raden Ayu Lembah, putrinya sendiri. Mas Sutikna kemudian menikahi Ayu Himpun, adik Ayu Lembah.

Susuhunan Amangkurat III memerintah sangat singkat di Kartasura (1703-1705). Pada bulan Maret 1704 Pangeran Puger adik Amangkurat II melarikan diri dari istana Kartasura ke pantai utara Jawa. Ia meminta dukungan dari Dutch East India Company (VOC). Dan juga dengan bantuan Cakraningrat II (memerintah 1680-1707) dari Madura, Adipati Anom memburu Amangkurat III. VOC pun berhasil dibujuk Puger dan bahkan mendukung klaim Puger sebagai raja baru Mataram Kartasura dengan gelar yang barupula, Paku Buwana I untuk menghadapi Amangkurat III.

Putra Pakubuwana I Pangeran Blitar, menurut Babad Kraton yang dikutip Ricklefs, mengirim utusan ke Amangkurat III untuk menuntut darinya tombak pusaka Kyai Baru, jaket Kyai Gundhil dan keris kyai Balabar. Kesemuanya adalah pusaka utama lambang kekuasaan kerajaan Mataram (pusaka artinya keberkatan. Jw). Paku Buwana I kemudian memberi tahu VOC bahwa pusaka-pusaka ini adalah tiga dari empat prinsip utama regalia Mataram, yang masing-masing digelari dengan pangkat Pusaka Ageng (KKA, Kanjeng Kyai Ageng).  

Tentang pusaka yang keempat ada beberapa ketidakpastian. Dalam versi surat di arsip VOC, Pakubuwana I mengatakan bahwa pusaka ageng yang keempat adalah pelana kuda Kyai Berkat. Tetapi mungkin itu pusaka keempat itu adalah tombak Kyai Plered, yang di kemudian hari (sampai sekarang) dianggap sebagai salah satu pusaka ageng terbesar di keraton Yogyakarta. Atau mungkin gong kecil (bendhe) Kyai Bicak (ditulisnya Kyai Becak). Amangkurat III dilaporkan memberi tahu utusan Pangeran Blitar bahwa nanti kalau sampai di Surabaya, Amangkurat III akan menyerahkan pusaka kerisnya dan bendh Kyai Bicak kepada utusan Paku Buwana.

Pada bulan Juli 1708, Amangkurat III menyerah kepada VOC dan dibawa ke Surabaya. Tampaknya tidak ada keraguan pada diri Amangkurat III akan janji dari komandan Belanda, Gubernur Cnoll, bahwa ia akan diizinkan untuk tetap berada di Jawa sebagai "pangeran independen" setelah tersingkir dari Pangeran Puger alias Paku Buwana I. Janji ini rupanya tidak ditepati oleh Kumpeni. Alih-alih jadi "pangeran independen". Amangkurat III malah dikirim ke Batavia pada bulan Agustus dan kemudian dibuang ke Sri Lanka pada awal Oktober 1708 oleh VOC.

Dibawa Kabur ke Sri Lanka

Karena merasa tidak ditepati janjinya oleh Kumpeni, Amangkurat III juga tidak mau menepati janji untuk menyerahkan pusaka kerajaan yang dimilikinya saat ia tiba di Surabaya. Dari sumber-sumber bukti catatan VOC dan sumber-sumber Jawa (menurut sejarawan Ricklefs), tidak ada pusaka-pusaka dalam kepemilikan Amangkurat III sesampai di Surabaya. Hanya saja, Amangkurat III dilaporkan memberikan dua cincin cantik sebagai hadiah kepada Gubernur Cnoll dan Kapten kumpeni lainnya bernama Wolfgang Maijer. Yang terakhir ini dilaporkan sebagai tindakan suap untuk mendapatkan informasi tentang rencana VOC terhadap diri Amangkurat III. Apakah cincin itu juga dianggap sebagai salah satu pusaka Mataram, tidak diketahui lebih lanjut.

Gubernur Cnoll rupanya meyakinkan Amangkurat III bahwa ia bisa menjaga mereka. Beberapa anggota Dewan VOC di Surabaya mencatat bahwa Amangkurat III berjanji di bawah sumpah bahwa ia dapat menjaga keberadaan pusaka-pusaka atau tanda pangkat (Rijscieraaden) yang terdiri dari sebuah gong atau bende (Kyai Bicak), baju putih (jaket) dengan beberapa huruf dan ucapan Arab (Kyai Gundhil), sebuah tombak (Kyai Baru) dan keris (Kyai Balabar).

Catatan ini menegaskan bahwa pusaka ageng Mataram diyakini dimiliki Amangkurat III. Namun, utusan Paku Buwana I yakni Pangeran Blitar kembali dari Surabaya dengan tangan hampa, setelah ditolak oleh Amangkurat III. Bahkan Pangeran Blitar diperlakukan dengan kasar oleh Amangkurat III dan bahwa ia akan menyerahkan kerisnya ketika (atau jika: yen, Jw) ia mencapai Kartasura, menurut Babad Kraton. Di sumber lain, Babad ing Sangkala ditulis bahwa pusaka kemudian dibawa ke Batavia bersama Amangkurat III.

Ketika Paku Buwana I tahu bahwa pusaka-pusaka sudah dibawa ke Batavia, sang raja merasa khawatir tak akan ditepati janji. Harus diingat bahwa benda-benda ini, selalu ditulis dalam Babad Kraton sebagai "pusaka-pusaka tanah Jawa" (pusakaning tanah Jawi). Dan ternyata, Paku Buwana I itu tidak menerima pusaka-pusaja Tanah jawa itu. Maka, karena tidak memiliki pusaka turun-temurun sebagai legitimasi raja, Paku Buwana I pun "menciptakan" (menominasikan) pusaka baru bagi Mataram, berupa situs suci kuburan raja-raja Mataram di Adilangu, Demak, serta Masjid Demak peninggalan kerajaan Demak pasca Majapahit. Dua pusaka terakhir ini, tidak akan seorang pun yang dapat membawanya pergi. Dan, memang, dua tempat pusaka itu di era selanjutnya tidak jarang menjadi situs perlawanan dan perebutan di dinasti Mataram.

Setibanya di Batavia pada bulan September 1708, Amangkurat III mengatakan kepada petugas VOC bahwa pusaka-pusaka Mataram memang bersamanya. Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia memutuskan bahwa Amangkurat III harus menyerahkan pusaka-pusaka itu sebelum ia diasingkan ke Sri Lanka.

Amangkurat III memprotes bahwa ia janji dapat menjaga pusaka-pusaka itu apabila ia tetap diizinkan tinggal di Jawa. Tidak diasingkan ke Sri Lanka. Tetapi protesnya ditolak Kumpeni. Dan Amangkurat III dibuang ke Sri Lanka.

Maka sejak itu, berbagai benda yang dianggap sebagai pusaka Mataram, diambil dari Amangkurat III dan ditempatkan di bawah tanggung jawab Ratu Ibu Amangkurat, janda mendiang Amangkurat II yang masih tinggal di keraton Kartasura ketika Amangkurat III berlayar ke pembuangan Sri Lanka. Paku Buwana I mulanya sangat senang mengetahui bahwa ia akan segera mendapatkan pusaka di istana Kartasura yang konon dipegang janda Amangkurat II, ibu Amangkurat III.

Ratu Ibu Amangkurat mengirimkan pusaka-pusaka itu dan peti-peti benda miliknya mencapai Semarang pada November 1708. Ibu Ratu dikirim ke Kartasura beberapa minggu kemudian, tetapi peti yang berharga itu disimpan di Semarang dan akan menyusul dikirimkan secara pribadi oleh Gubernur Cnoll.

Sisa-sisa tembok Keraton Kartasura yang dibangun di abad ke-17 sekitar sepuluh tahun silam. Tembok Cagar Budaya ini sudah diruntuhkan pembeli tanah di Kartasura pada 2022 silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
Sisa-sisa tembok Keraton Kartasura yang dibangun di abad ke-17 sekitar sepuluh tahun silam. Tembok Cagar Budaya ini sudah diruntuhkan pembeli tanah di Kartasura pada 2022 silam. (Foto Tira Hadiatmojo)
Raja Tanpa Legitimasi

Pada bulan Januari 1709 Cnoll pergi ke Kartasura untuk sebuah konferensi dengan raja Mataram, salah satunya adalah untuk menyerahkan pusaka-pusaka dengan upacara yang tepat. Pada tanggal 20 Januari, peti dibuka di hadapan Paku Buwana I dan abdi dalem seniornya. Di dalamnya ditemukan bendhe Kyai Bicak, tanduk Kyai Nakula dan Kyai Sadewa dan tombak Kyai Karawelang. Musket atau senapan kuno Kyai Dewangga yang semula dianggap asli pada awalnya tetapi kemudian dikatakan palsu. Semua senjata dan benda-benda tersebut ternyata bukan pusaka aslinya.

Cnoll pun malu dan berjanji kepada raja, bahwa VOC akan mendapatkan pusaka aslinya dari Amangkurat III di Sri Lanka. Penyelesaian ini menghasilkan daftar pusaka-pusaka Mataram yang hilang pertama yang menjadi dasar bagi Apendiks dalam artikel Ricklefs. (Ada dalam daftar pusaka, di artikel "The Missing Pusakas of Kartasura, 1705-1737" tulisan Ricklefs).

Di mata Kumpeni (VOC) "pusaka-pusaka tanah Jawi" itu dianggap tidak lebih dari "beberapa senjata dan pakaian antik Jawa biasa" yang menurut Kumpeni dianggap tidak ada nilainya. Tetapi bagi raja Paku Buwana I dianggap sebagai "tanda otoritas yang berdaulat atas tanah Jawa". Sama pentingnya dengan prestise jabatan petinggi VOC di Tanah Jawa.

Babad Kraton, sumber utama sejarah Kartasura serta Babad Sangkala semuanya menghilangkan episode memalukan tentang pusaka palsu kerajaan Mataram ini. Paku Buwana I kemudian secara khusus, ia mengusulkan untuk memindahkan saja istananya dari Kartasura (sekitar 10 km barat Surakarta sekarang) kembali ke Mataram (dekat Yogyakarta sekarang), rumah dinasti Mataram dan situs kraton sebelum 1680. Paku Buwana I akhirnya batal melaksanakan ide ini, dan berupaya mencari legitimasi baru dari pihak raja.

Dalam keprihatinan sebagai "raja tanpa legitimasi" karena ia tidak memegang pusaka turun-temurun Mataram, Paku Buwana I tentu saja senang dengan janji VOC bahwa Batavia memerintahkan kantor VOC di Sri Lanka agar berupaya mendapatkan kembali pusaka asli yang dibawa kabur Amangkurat III yang diasingkan.

Amangkurat III, menyangkal bahwa pusaka-pusaka Mataram itu dibawanya ke Sri Lanka. Dalam jawabannya (berdasarkan daftar B dalam Lampiran seperti tercantum di buku Ricklefs), dia memberikan perincian lebih lanjut tentang apa yang telah dia klaim tentang pusaka itu. Amangkurat III mengklaim bahwa pusaka kerajaan Mataram berupa batu ruby Kyai Menjangan Abang dan berlian Kyai Gurnita telah ditinggalkan ketika dia melarikan diri dari Kartasura 1705.

Amangkurat mengaku tidak lagi tahu keberadaan batu-batu pusaka Mataram itu dan juga dimana keberadaan pusaka lain Mataram, berupa berlian Kyai Sekar Kedhaton. Akan tetapi, pusaka berupa keris Kyai Crubuk, Kyai Maesanular, Kyai Antu, dan empat keris lainnya yang selama ini dianggap sebagai pusaka Keraton Mataram di Kartasura, tidak disebutkan tertera dalam surat Amangkurat. Ia mengaku pusaka-pusaka itu telah diberikan kepada tiga wanita. Dia juga tidak tahu lagi keberadaan Kerah (hiasan leher) kuda Kyai Iderbuwana pusaka Mataram. Tetapi dia telah meninggalkan pelana Kyai Berkat dan Kyai Partawijaya, keris Kyai Baruwang, senapan Kyai Dewangga dan tombak Kyai Butamancak di Batavia beserta keris Toyapanambang di pulau Edam (di teluk Batavia) dalam perjalanan dari Batavia menuju tempat pembuangan di Sri Lanka.

Dua puluh peti berisi pusaka Mataram telah ditinggalkannya ketika dia melarikan diri dari Kartasura pada tahun 1705. Keris Kyai Sempanakeling, Kyai Bethok, Kyai Sangulara dan Kyai Tarikan (?) ia katakan telah disimpan oleh tiga anggota istana (disebut namanya Mangunrana, Tandha, Wirareja), pada saat meninggalkan keraton Kartasura tahun 1705. Tombak Kyai Kalika dan Kyai Gadatapan juga ditinggalkan, digantung di atas tempat tidurnya, di Kartasura.

Tak kurang dari seratus enam puluh (160) "benda istana" yang tersisa juga telah dibagi-bagikan di antara para pelayan keraton dan para wanita ketika Amangkurat III melarikan diri meninggalkan istana pada tahun 1705. Amangkurat III juga mengaku tidak tahu apa-apa tentang keberadaan pusaka penting lainnya, seperti keris pusaka Kyai Megantara, Kyai pacar dan Kyai Cam (?). Atau Pawidadaren yaitu pusaka Mataram berupa batok kelapa kembar. Tetapi beberapa sumber di Mataram mengatakan bahwa pusaka-pusaka tersebut sebenarnya telah hilang selama "Perang Mataram" atau Perang Suksesi yaitu antara tahun 1675-80 atau 1705-08.

Akhirnya, jika pusaka-pusaka berupa senjata api, keris, tombak dan benda lain yang telah dia kirim ke Kartasura dianggap sebagai pusaka-pusaka palsu dan bukan pusaka sejati, kata Amangkurat III, bisakah dia mendapatkan benda-benda pusaka itu kembali?

Jawaban Amangkurat III terkesan menutupi masalah keberadaan pusaka-pusaka legitimasi Mataram ini. Mungkinkah pusakanya ditahan, atau disembunyikan oleh para mantan hamba dan pengikutnya yang masih di Jawa. Yang jelas, Amangkurat III tidak bisa mengungkapkan identitas beberapa pusaka-pusaka Mataram itu secara pasti.

Hanya saja, Amangkurat III menyiratkan dalam suratnya bahwa sebenarnya beberapa senjata yang telah dinyatakan sebagai pusaka kerajaan yang palsu itu menurutnya justru asli. Atau jika tidak, Amangkurat sendiri pun juga tidak dapat membedakannya mana yang asli, mana yang palsu. Masalah ini diperparah oleh tradisi kerahasiaan yang melingkupi tradisi kepusakaan di keraton maupun praktek keraton tentang pusaka-pusaka "putran", pusaka-pusaka duplikat. Pusaka asli yang sengaja diduplikat, sementara aslinya disimpan rapat-rapat.

Memang Amangkurat III mengatakan bahwa Pangeran Arya Mataram memiliki apa yang disebut sebagai pusaka-pusaka "putran" seperti itu. Bagaimana seseorang membedakan pusaka putran dari aslinya? Paku Buwana I memang dihadapkan pada situasi sulit untuk bisa memperoleh kembali pusaka-pusaka asli Mataram ke dalam keraton sebagai legitimasi kekuasaannya.

Praktek mutrani pusaka, sinengkernya (dirahasiakannya) pusaka kraton, ditambah dengan ruwetnya jejak pusaka selama perang, membuat versi baru pusaka seperti yang dituturkan Amangkurat III menjadi sulit dipercaya.

Karena itu, tiga puluh tiga (33) keris dan enam tombak yang dimiliki Amangkurat III dan dibawanya serta di tempat pembuangan Sri Lanka diambil darinya oleh Kumpeni. Pusaka-pusaka itu kemudian dikirim kembali ke Jawa dengan asumsi bahwa ada kemungkinan, terdapat pusaka-pusaka asli kerajaan Mataram di antaranya.

Pada Maret 1710 kiriman tiga puluh tiga (33) keris dan enam tombak yang dibawa Amangkurat III ke Sri Langka telah sampai di Semarang. Dan dua bulan kemudian pusaka yang disita dari Amangkurat III di Sri Lanka itu dibawa ke Kartasura di bawah pengawalan pribadi dari kepala VOC di pantai timur Laut Jawa, Pieter Metsue (1709-14). Kumpeni sangat menginginkan dikembalikannya pusaka-pusaka itu dari Amangkurat III di pembuangan Sri Lanka kepada "mitra dagang"nya di Jawa, Paku Buwana I. Pengembalian pusaka-pusaka Mataram yang dibawa kabur ke Sri Lanka oleh Amangkurat III ini dimaksudkan agar menambah kepercayaan raja pada Kumpeni, dan  meredakan kecurigaan raja terhadap kerjasama yang selama itu terjalin antara Kumpeni dan raja Jawa...

Pusaka-pusaka Mataram boleh dikatakan "lengkap kembali" pada tahun 1737, dengan kembalinya secara bertahap pusaka-pusaka Mataram, baik yang diminta kembali dari Amangkurat III oleh VOC dari pembuangan Sri Lanka, maupun dari tempat-tempat berceceran di berbagai kerabat keraton Kartasura.

Dengan kata lain, sebenarnya raja-raja di Kartasura pada periode 1704 sampai 1737, selama tiga dekade mereka tidak memiliki pusaka utama sebagai lambang legitimasi. Kalau dalam kacamata pandang orang Jawa tradisional, para raja yang memerintah dalam rentang waktu itu, mereka tidak "kewahyon" sebagai raja Jawa. Karena seorang raja tanpa memiliki pusaka kerajaan yang diperoleh secara turun-temurun, sebenarnya dia bukan raja sesungguhnya...*

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun