Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suksesi Kusut di Keraton Mataram Kartasura

17 Oktober 2024   11:30 Diperbarui: 19 Oktober 2024   13:36 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak kurang dari seratus enam puluh (160) "benda istana" yang tersisa juga telah dibagi-bagikan di antara para pelayan keraton dan para wanita ketika Amangkurat III melarikan diri meninggalkan istana pada tahun 1705. Amangkurat III juga mengaku tidak tahu apa-apa tentang keberadaan pusaka penting lainnya, seperti keris pusaka Kyai Megantara, Kyai pacar dan Kyai Cam (?). Atau Pawidadaren yaitu pusaka Mataram berupa batok kelapa kembar. Tetapi beberapa sumber di Mataram mengatakan bahwa pusaka-pusaka tersebut sebenarnya telah hilang selama "Perang Mataram" atau Perang Suksesi yaitu antara tahun 1675-80 atau 1705-08.

Akhirnya, jika pusaka-pusaka berupa senjata api, keris, tombak dan benda lain yang telah dia kirim ke Kartasura dianggap sebagai pusaka-pusaka palsu dan bukan pusaka sejati, kata Amangkurat III, bisakah dia mendapatkan benda-benda pusaka itu kembali?

Jawaban Amangkurat III terkesan menutupi masalah keberadaan pusaka-pusaka legitimasi Mataram ini. Mungkinkah pusakanya ditahan, atau disembunyikan oleh para mantan hamba dan pengikutnya yang masih di Jawa. Yang jelas, Amangkurat III tidak bisa mengungkapkan identitas beberapa pusaka-pusaka Mataram itu secara pasti.

Hanya saja, Amangkurat III menyiratkan dalam suratnya bahwa sebenarnya beberapa senjata yang telah dinyatakan sebagai pusaka kerajaan yang palsu itu menurutnya justru asli. Atau jika tidak, Amangkurat sendiri pun juga tidak dapat membedakannya mana yang asli, mana yang palsu. Masalah ini diperparah oleh tradisi kerahasiaan yang melingkupi tradisi kepusakaan di keraton maupun praktek keraton tentang pusaka-pusaka "putran", pusaka-pusaka duplikat. Pusaka asli yang sengaja diduplikat, sementara aslinya disimpan rapat-rapat.

Memang Amangkurat III mengatakan bahwa Pangeran Arya Mataram memiliki apa yang disebut sebagai pusaka-pusaka "putran" seperti itu. Bagaimana seseorang membedakan pusaka putran dari aslinya? Paku Buwana I memang dihadapkan pada situasi sulit untuk bisa memperoleh kembali pusaka-pusaka asli Mataram ke dalam keraton sebagai legitimasi kekuasaannya.

Praktek mutrani pusaka, sinengkernya (dirahasiakannya) pusaka kraton, ditambah dengan ruwetnya jejak pusaka selama perang, membuat versi baru pusaka seperti yang dituturkan Amangkurat III menjadi sulit dipercaya.

Karena itu, tiga puluh tiga (33) keris dan enam tombak yang dimiliki Amangkurat III dan dibawanya serta di tempat pembuangan Sri Lanka diambil darinya oleh Kumpeni. Pusaka-pusaka itu kemudian dikirim kembali ke Jawa dengan asumsi bahwa ada kemungkinan, terdapat pusaka-pusaka asli kerajaan Mataram di antaranya.

Pada Maret 1710 kiriman tiga puluh tiga (33) keris dan enam tombak yang dibawa Amangkurat III ke Sri Langka telah sampai di Semarang. Dan dua bulan kemudian pusaka yang disita dari Amangkurat III di Sri Lanka itu dibawa ke Kartasura di bawah pengawalan pribadi dari kepala VOC di pantai timur Laut Jawa, Pieter Metsue (1709-14). Kumpeni sangat menginginkan dikembalikannya pusaka-pusaka itu dari Amangkurat III di pembuangan Sri Lanka kepada "mitra dagang"nya di Jawa, Paku Buwana I. Pengembalian pusaka-pusaka Mataram yang dibawa kabur ke Sri Lanka oleh Amangkurat III ini dimaksudkan agar menambah kepercayaan raja pada Kumpeni, dan  meredakan kecurigaan raja terhadap kerjasama yang selama itu terjalin antara Kumpeni dan raja Jawa...

Pusaka-pusaka Mataram boleh dikatakan "lengkap kembali" pada tahun 1737, dengan kembalinya secara bertahap pusaka-pusaka Mataram, baik yang diminta kembali dari Amangkurat III oleh VOC dari pembuangan Sri Lanka, maupun dari tempat-tempat berceceran di berbagai kerabat keraton Kartasura.

Dengan kata lain, sebenarnya raja-raja di Kartasura pada periode 1704 sampai 1737, selama tiga dekade mereka tidak memiliki pusaka utama sebagai lambang legitimasi. Kalau dalam kacamata pandang orang Jawa tradisional, para raja yang memerintah dalam rentang waktu itu, mereka tidak "kewahyon" sebagai raja Jawa. Karena seorang raja tanpa memiliki pusaka kerajaan yang diperoleh secara turun-temurun, sebenarnya dia bukan raja sesungguhnya...*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun