Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Suksesi Kusut di Keraton Mataram Kartasura

17 Oktober 2024   11:30 Diperbarui: 19 Oktober 2024   13:36 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sisa-sisa tembok Keraton Kartasura yang dibangun di abad ke-17 sekitar sepuluh tahun silam. Tembok Cagar Budaya ini sudah diruntuhkan pembeli tanah di Kartasura pada 2022 silam. (Foto Tira Hadiatmojo)

Susuhunan Amangkurat III memerintah sangat singkat di Kartasura (1703-1705). Pada bulan Maret 1704 Pangeran Puger adik Amangkurat II melarikan diri dari istana Kartasura ke pantai utara Jawa. Ia meminta dukungan dari Dutch East India Company (VOC). Dan juga dengan bantuan Cakraningrat II (memerintah 1680-1707) dari Madura, Adipati Anom memburu Amangkurat III. VOC pun berhasil dibujuk Puger dan bahkan mendukung klaim Puger sebagai raja baru Mataram Kartasura dengan gelar yang barupula, Paku Buwana I untuk menghadapi Amangkurat III.

Putra Pakubuwana I Pangeran Blitar, menurut Babad Kraton yang dikutip Ricklefs, mengirim utusan ke Amangkurat III untuk menuntut darinya tombak pusaka Kyai Baru, jaket Kyai Gundhil dan keris kyai Balabar. Kesemuanya adalah pusaka utama lambang kekuasaan kerajaan Mataram (pusaka artinya keberkatan. Jw). Paku Buwana I kemudian memberi tahu VOC bahwa pusaka-pusaka ini adalah tiga dari empat prinsip utama regalia Mataram, yang masing-masing digelari dengan pangkat Pusaka Ageng (KKA, Kanjeng Kyai Ageng).  

Tentang pusaka yang keempat ada beberapa ketidakpastian. Dalam versi surat di arsip VOC, Pakubuwana I mengatakan bahwa pusaka ageng yang keempat adalah pelana kuda Kyai Berkat. Tetapi mungkin itu pusaka keempat itu adalah tombak Kyai Plered, yang di kemudian hari (sampai sekarang) dianggap sebagai salah satu pusaka ageng terbesar di keraton Yogyakarta. Atau mungkin gong kecil (bendhe) Kyai Bicak (ditulisnya Kyai Becak). Amangkurat III dilaporkan memberi tahu utusan Pangeran Blitar bahwa nanti kalau sampai di Surabaya, Amangkurat III akan menyerahkan pusaka kerisnya dan bendh Kyai Bicak kepada utusan Paku Buwana.

Pada bulan Juli 1708, Amangkurat III menyerah kepada VOC dan dibawa ke Surabaya. Tampaknya tidak ada keraguan pada diri Amangkurat III akan janji dari komandan Belanda, Gubernur Cnoll, bahwa ia akan diizinkan untuk tetap berada di Jawa sebagai "pangeran independen" setelah tersingkir dari Pangeran Puger alias Paku Buwana I. Janji ini rupanya tidak ditepati oleh Kumpeni. Alih-alih jadi "pangeran independen". Amangkurat III malah dikirim ke Batavia pada bulan Agustus dan kemudian dibuang ke Sri Lanka pada awal Oktober 1708 oleh VOC.

Dibawa Kabur ke Sri Lanka

Karena merasa tidak ditepati janjinya oleh Kumpeni, Amangkurat III juga tidak mau menepati janji untuk menyerahkan pusaka kerajaan yang dimilikinya saat ia tiba di Surabaya. Dari sumber-sumber bukti catatan VOC dan sumber-sumber Jawa (menurut sejarawan Ricklefs), tidak ada pusaka-pusaka dalam kepemilikan Amangkurat III sesampai di Surabaya. Hanya saja, Amangkurat III dilaporkan memberikan dua cincin cantik sebagai hadiah kepada Gubernur Cnoll dan Kapten kumpeni lainnya bernama Wolfgang Maijer. Yang terakhir ini dilaporkan sebagai tindakan suap untuk mendapatkan informasi tentang rencana VOC terhadap diri Amangkurat III. Apakah cincin itu juga dianggap sebagai salah satu pusaka Mataram, tidak diketahui lebih lanjut.

Gubernur Cnoll rupanya meyakinkan Amangkurat III bahwa ia bisa menjaga mereka. Beberapa anggota Dewan VOC di Surabaya mencatat bahwa Amangkurat III berjanji di bawah sumpah bahwa ia dapat menjaga keberadaan pusaka-pusaka atau tanda pangkat (Rijscieraaden) yang terdiri dari sebuah gong atau bende (Kyai Bicak), baju putih (jaket) dengan beberapa huruf dan ucapan Arab (Kyai Gundhil), sebuah tombak (Kyai Baru) dan keris (Kyai Balabar).

Catatan ini menegaskan bahwa pusaka ageng Mataram diyakini dimiliki Amangkurat III. Namun, utusan Paku Buwana I yakni Pangeran Blitar kembali dari Surabaya dengan tangan hampa, setelah ditolak oleh Amangkurat III. Bahkan Pangeran Blitar diperlakukan dengan kasar oleh Amangkurat III dan bahwa ia akan menyerahkan kerisnya ketika (atau jika: yen, Jw) ia mencapai Kartasura, menurut Babad Kraton. Di sumber lain, Babad ing Sangkala ditulis bahwa pusaka kemudian dibawa ke Batavia bersama Amangkurat III.

Ketika Paku Buwana I tahu bahwa pusaka-pusaka sudah dibawa ke Batavia, sang raja merasa khawatir tak akan ditepati janji. Harus diingat bahwa benda-benda ini, selalu ditulis dalam Babad Kraton sebagai "pusaka-pusaka tanah Jawa" (pusakaning tanah Jawi). Dan ternyata, Paku Buwana I itu tidak menerima pusaka-pusaja Tanah jawa itu. Maka, karena tidak memiliki pusaka turun-temurun sebagai legitimasi raja, Paku Buwana I pun "menciptakan" (menominasikan) pusaka baru bagi Mataram, berupa situs suci kuburan raja-raja Mataram di Adilangu, Demak, serta Masjid Demak peninggalan kerajaan Demak pasca Majapahit. Dua pusaka terakhir ini, tidak akan seorang pun yang dapat membawanya pergi. Dan, memang, dua tempat pusaka itu di era selanjutnya tidak jarang menjadi situs perlawanan dan perebutan di dinasti Mataram.

Setibanya di Batavia pada bulan September 1708, Amangkurat III mengatakan kepada petugas VOC bahwa pusaka-pusaka Mataram memang bersamanya. Gubernur Jenderal dan Dewan Hindia memutuskan bahwa Amangkurat III harus menyerahkan pusaka-pusaka itu sebelum ia diasingkan ke Sri Lanka.

Amangkurat III memprotes bahwa ia janji dapat menjaga pusaka-pusaka itu apabila ia tetap diizinkan tinggal di Jawa. Tidak diasingkan ke Sri Lanka. Tetapi protesnya ditolak Kumpeni. Dan Amangkurat III dibuang ke Sri Lanka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun