Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Keris Banjar dari Hulu Sungai Selatan

12 September 2024   21:02 Diperbarui: 21 September 2024   14:03 3336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu tempat tempa besi di Kabupaten Hulu Sungai Selatan di Nagara, lokasi dulu para empu tradisional dulu di era kerajaan Nagara Daha di Kandangan, Kalimantan Selatan. (Foto Pemkot Banjarmasin)

Mereka saat ini memang tidak lagi membuat keris seperti di abad 14 silam. Akan tetapi membuat berbagai alat dari besi tempa dan baja seperti balirih (parang yang melebar ke arah pucuk), parang bungkul (parang khas banjar yang melebar ke pucuk tetapi agak menunduk), parang lais (parang khas banjar yang melebar ke pucuk akan tetapi cenderung melengkung ke atas), cangkul, arit, kapak, pisau.

Awalnya dulu kala para pandai besi (yang konon dulu berawal dari pendatang Jawa) membuat senjata tradisional saja, tetapi pada perkembangannya sampai masa kini membuat alat-alat kebutuhan masyarakat seperti mata tajak (cangkul khas banjar, yang mata cangkulnya ramping seperti parang melengkung), pisau sembelih, pisau sadap untuk keperluan hutan dan sebagainya.

Seorang pandai besi secara tradisional di Kalimantan Selatan biasanya tinggal dan membuat usaha tempa besinya di dekat pasar-pasar umum atau pasar hewan tempat berkumpulnya para petani di desa masa kini.

Dalam hal proses tempa, berbeda dengan para pandai besi di Jawa. Pandai-pandai keris Banjar mereka tidak memakai bara dari arang kayu jati seperti di Jawa. Di Kalimantan Selatan para pandai besi memakai arang kayu ulin (kayu besi) karena panas yang dihasilkan bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan jenis kayu-kayu lainnya di Kalimantan.

Sementara bahan baku besi, di masa lalu berasal dari bahan besi lokal Kalimantan, maka kini mereka membeli dari para pengumpul besi di Sungai Pinang yang biasa mengambil besi ke daerah Banjarmasin. Bahan baja biasa diambil dari bekas per mobil tronton atau per mobil tambang yang tebalnya sekitar dua sentimeter, baja impor pabrikan tentunya.

Jejak Kediri dan Majapahit

Kerajaan maritim Majapahit umumnya meninggalkan jejak senjata-senjata tradisional berbentuk keris di negeri mitra-mitra dagangnya di seantero Nusantara. Dan setelah menjadi tradisi setempat, maka tradisi keris dikembangkan sesuai kebijakan lokal masing-masing. Sehingga memiliki kekhasan sendiri, tak sama dengan keris-keris Jawa.

Daerah Nagara merupakan wilayah rawa-rawa dan perairan yang mayoritasnya dihuni oleh Suku Banjar Batang Banyu. Sebelum identitas "Banjar" lahir, wilayah ini adalah ibu kota Kalimantan Selatan yang bernama Kerajaan Nagara Daha, penerus Kerajaan Negara Dipa alias Amuntai.

Amuntai (dalam bahasa Banjar artinya: murung) terletak di pertemuan tiga sungai, Sungai Negara, Sungai Tabalong dan Sungai Balangan yang berjarak sekitar 190 km arah utara dari kota Banjarmasin, ibu kota Kalimantan kini.

Nagara Dipa alias Amuntai disebut sebagai Daha, seperti julukan sebuah kerajaan di zaman Kediri (1042-1222)  di Jawa Timur. Dan apabila dirunut asal muasalnya, adalah  Ampu Jatmaka alias Empu Jatmika seorang saudagar kaya asal Keling.

Keling, (Menurut Verbeek 1889:10 dan Munoz 2009:401-435) merupakan negara bawahan Majapahit di barat daya Kediri. Empu Jatmika merupakan anak seorang saudagar sekaligus Tumenggung bernama Mangkubumi atau disebut juga sebagai Saudagar Jantam. Berdasarkan saran ayahnya, Empu Jatmika diutus melakukan perjalanan untuk mencari "negeri yang tanahnya suam dan berbau wangi".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun