Di etalase museum masih tersimpan tidak hanya tombak-tombak lurus, akan tetapi ada juga yang berlekuk. Sebagian bopeng-bopeng seperti "besi kabudan" karena sebagian lama terpendam, disembunyikan semasa kolonial, tetapi semuanya terkesan kokoh, kuat, sebagai senjata perang. Salah-salah, tombak-tombak kokoh era Sultan Matangaji yang sempat terpendam ini, bisa ditangguh (diperkirakan era zamannya) sebagai "tombak-tombak singosari" alias tombak era kerajaan Singasari di abad ke-13, karena bentuknya banyak yang bopeng terpendam. Yang utuh, dikira bikinan Mataram...
Banyak yang dibongkar dari pendaman, dan bopeng-bopeng, lantaran di masa kolonial sempat dikeluarkan semacam undang-undang larangan dari pemerintah kolonial, untuk tidak menyimpan apalagi memproduksi senjata. Dan masih banyak juga yang masih terpendam. Terbukti, suatu ketika detektor logam, mengunjuk bahwa di bawah bumi itu ada tersimpan logam dalam jumlah banyak.
Di antara tombak-tombak, yang memiliki keunikan dan fungsional, adalah tombak-tombak Dwisula, atau tombak bermata dua. Menurut Raden Hafid Permadi alias Raden Nanang, salah seorang kerabat kesultanan (waktu itu menjadi pemandu museum, kini sudah tidak lagi), bahkan ada sembilan macam.
"Kesembilan macam itu menandai bahwa pemegang dwisula itu adalah anggota pasukan tertentu," tutur Raden Nanang. Penanda ciri khas pasukan berupa simbol ukiran tertentu, ada di pangkal dwisula, di pangkal simpang bilah.
Kesembilan pasukan khusus Cirebon dengan ciri khas Dwisula itu menurut Raden Nanang, terdiri dari Pasukan Suranenggala (Angkatan Darat Kesultanan Cirebon), Pasukan Sarwajala (Angkatan Laut), Pasukan Bhayangkara atau Jagabayan (Kepolisian), Pasukan Jagasatru (penjaga luar benteng kota), Pasukan Jalasutra (pasukan wanita pemanah), Pasukan Wirabrata (pasukan tempur), Pasukan Panyutran (Kopassus), Pasukan Dipati Awangga (pasukan berkuda, kavaleri), Pasukan Salaka Domas (pengawal Pangeran Panjunan). Masih ditambah lagi, Pasukan Telik Sandi (umumnya orang Bugis, dengan ciri khas senjata berhulu Cirebon posisinya teleng, atau meliuk kepalanya menyerupai hulu keris Bugis).
Gua Sunyaragi
 "Disebut kedongdong, sebab peperangannya seperti buah kedongdong. Kulitnya halus, tetapi di dalamnya bijinya berduri," ungkap Lurah Keraton Moh. Maskun. Terlihat halus perangainya, padahal didalamnya orang Cirebon sebenarnya melawan kolonial.
Produksi diam-diam persenjataan tradisional itu, di antaranya dilakukan di arena Sunyaragi, yang sampai kini juga masih menyisakan 'bangunan' serupa bukit-bukit padas, berlobang seolah jendela. Lokasi pembuatan senjata yang kini disebut sebagai Gua Sunyaragi itu masih tegar berdiridi dekat jalan arteri Cirebon kini. (Dulu pernah hancur dibom pasukan kolonial Belanda).
Dalam sejarah lisan, yang di antaranya dikutip oleh penulis sejarah Keraton Cirebon Sulendraningrat, dituturkan bahwa Sultan Matangaji alias Sultan Syafiudin setelah meninggalkan Keraton, berjalan ke arah Blok Capar, lalu meneruskan pengembaraannya lagi ke arah Bukit Pasir Anjing di desa Sidawangi untuk mencari tempat yang lebih aman dari serangan-serangan pasukan artileri Belanda.
Di desa Sidawangi, Sultan Matangaji membangun sebuah pesantren. Sampai saat ini, tempat tersebut dijuluki sebagai Blok Pesantren atau Dusun Pesantren yang banyak didatangi orang untuk belajar mengaji dan ilmu keagamaan.