tosan aji yang dijejerkan di meja depan Riki Kurniawan Apriansyah (27) kesemuanya bilah-bilah dari wilayah Pasundan. Dari kujang ciung, kujang badak, kujang bandung, sampai kudi trancang alias kujang geni, dan juga bentuk kudi yang paling terkenal di Cirebon, yakni kudi cangak ondhol.
Sekitar lima puluh bilahAll Pasundan items, di meja Riki. Sementara di belasan meja lain, berjajar di meja-meja, keris dari berbagai pelosok Jawa. Baik itu keris dari Surakarta, Yogyakarta, Pasundan, Madura, bahkan juga Bali dan Lombok. Syaipul dan kawan-kawan, bahkan bertujuh datang dari Lombok khusus untuk ikut gelaran acara ini. Hanya di meja Riki saja yang "All Pasundan" items.
Selama tiga hari itu, dari 1-3 Maret 2024 halaman Keraton Kacirebonan di Jalan Pulasaren, Pekalipan kota Cirebon, memang tengah berlangsung Pameran Keris serta Bursa Tosan Aji bertemakan "Nuansa Gaman Cirebon". Meski Tajuknya Nuansa Cirebon, akan tetapi yang dipamerkan banyak juga yang dari belahan lain pulau Jawa. Dari Jakarta, ada juga pebursa keris terkenal di You Tube, Joko Supriyadi. Juga Ronald Onay dari Bogor.
Di beranda khusus depan samping Keraton yang didirikan pada 18 Maret 1808 ini malah ada suguhan khusus koleksi keris-keris bergaya Cirebonan dan Pasundan, milik sejumlah kolektor di antaranya milik Kohin Abdul Rohim dari Jakarta, yang memang sehari-hari pekerjaannya adalah berburu tosan aji di berbagai pelosok Jawa Barat. Sebagian dikoleksi, dan sebagian dijualnya kembali kepala kolektor-kolektor keris serta tosan aji di seantero Jawa dan luar Jawa.
Sultan Abdulgani Natadiningrat
Sultan Kacirebonan ke-9, Pangeran Abdulgani Natadiningrat SE di hari pembukaan pameran bahkan sempat berpose dengan salah satu maskot keris asal Sumedang, yang modelnya mirip dengan pusaka kerajaan Sumedang Larang Ki Dukun.
Di kalangan kolektor keris di jagat maya Nusantara, umumnya mereka kenal nama Ki Dukun, pusaka yang berasal dari masa kerajaan Pajajaran di abad XVI, yang secara turun-temurun tersimpan di Kraton Sumedang sampai kini.
Meski di masa lalu hubungan berbagai kerajaan di Jawa Barat itu "naik turun", sempat bermusuhan karena pertikaian keluarga dan juga politik.
Akan tetapi, Cirebon memiliki kekerabatan juga dengan kraton-kraton di Jawa Barat, seperti Sumedang Larang -- yang saat ini sudah ditetapkan resmi oleh pemerintah Presiden Joko Widodo, sebagai "Puser Budaya Pasundan" alias pusat kebudayaan Sunda.
Keris Ki Dukun di Sumedang, merupakan satu dari antara berbagai pusaka kerajaan (royal heirlooms) milik raja terakhir Pajajaran Prabu Siliwangi, yang dititipkan ke kerajaan Sumedang Larang (di masa pemerintahan Prabu Geusanulun) sebelum Pajajaran hancur lumat diserbu oleh kerajaan Banten di tahun 1579 Masehi.
Karena sudah lebih dulu diamankan di Sumedang, maka pusaka-pusaka Pajajaran seperti Ki Dukun maupun mahkota kerajaan yang disebut mahkota Bino Kasih, sampai sekarang masih utuh tersimpan di Sumedang Larang, meskipun Pajajaran sudah "rata tanah" dan bahkan sulit dilacak, dimana persis letak bangunan keratonnya di sekitar Batutulis Bogor ini.
Ki Dukun
Keris khas Sumedang, Ki Dukun, yang sampai kini dipajang di etalase Museum Geusanulun Sumedang itu, merupakan keris yang secara fisik bentuknya istimewa dan khas. Berlekuk lima, dengan ricikan (detil garap) di bagian sor-soran (bagian bawah bilah), dihiasi detil lengkap keris. Dari sekar kacang, sogokan, greneng, bahkan ricikan yang jarang.... Pudhak sategal.
Pudhak adalah bunga pandan. Sangat jarang orang bisa menemukan atau melihat bunga pandan. Nah, jika sor-soran dari keris itu dihiasi "Pudhak Sategal" (satu ladang penuh dengan bunga pudhak), maka secara simbolis, keris pusaka itu melambangkan semacam raja yang "sugih" (kaya), loh jinawi (makmur sentosa), lambang kekayaan wilayah Pasundan, yang tak hanya kaya budaya, akan tetapi juga alamnya kaya raya. Dan bergunung-gunung indah.
Keris yang di"tanting" (tanting -- memegang keris di genggaman) Sultan Abdulgani dari Kacirebonan hari itu, merupakan keris serupa Ki Dukun, persis plek dan bahkan mungkin empu pembikinnya pun sama. Berlekuk lima, kehitaman, karena tidak dibersihkan atau pun diwarangi (agar keluar pamor).
Sementara Ki Dukun Sumedang, warnanya putih keperakan, karena secara rutin setiap Maulud Nabi, selalu "dijamasi" alias dimandikan dengan air dari tujuh sungai sekitar Sumedang, seperti Cipeles, Cihonje, Cirangkong, Ciloa, Cileuleuy, Cipicung dan Cipongporang.
Setelah dimandikan dengan air tujuh mata air di Pasundan, Ki Dukun dan juga pusaka-pusaka Sumedang umumnya digosok dengan "sekam" (kulit padi) di atas nyiru, dicelup lagi air tujuh mata sungai, dan kemudian diminyakin dengan minyak misik atau minyak arab.
Sumedang, dan juga Cirebon tidak seperti di lingkungan keraton-keraton di Jawa Tengah, pusaka-pusakanya dijamasi setiap awal Maulud, pas kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bukan seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, di awal tahun baru Jawa, di awal Sura.
Pameran di Kacirebonan
Pameran di Keraton Kacirebonan pada 1-3 Maret 2024, berlangsung meriah. Maklumlah, Keraton Kacirebonan selalu disebut sebagai "Pusat Budaya Cirebon". Di Cirebon ada tiga keraton, dan satu Peguron keraton. Yakni, keraton Kasepuhan, keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan.
"Semua sultan, sejak masa Sunan Gunungjati pendiri Cirebon (1482) selalu berguru agama terlebih dulu di Peguron Keprabonan," tutur Pangeran Iyan Arifudin, kerabat Kraton Kacirebonan yang juga Kepala Unit Cagar Budaya keraton Kacirebonan, kepada saya Sabtu (2/3/2024) lalu.
Meski kini Keprabonan juga dinyatakan sebagai kraton, akan tetapi dulu kala sebenarnya Keprabonan itu merupakan Peguron (perguruan) agama, perguruan spiritual bagi para calon sultan Cirebon.
Tentang Pameran yang berlangsung meriah selama tiga hari di halaman Kraton Kacirebonan, ditandai dengan ajang bursa tosan aji, dari sekitar 50-an pebursa keris dan tosan aji se-Indonesia.
"Saya sudah sejak lima tahun terakhir hanya membursakan pusaka-pusaka kujang, karena saya lihat hampir tidak ada yang mengkhususkan diri untuk kujang," tutur Riki Kurniawan Apriansyah, yang mengaku memfokuskan diri memburu pusaka-pusaka berbentuk kudi dan kujang Jawa Barat. Dari yang asli kuno Sunda, maupun yang garap masa kini.
"Bagi kebanyakan orang, mereka pasti tidak bisa membedakan, mana kujang asli kuno dan bikinan para panai (pande besi) dari Ciwidey," kata Riki Kurniawan pula. Seorang panai kujang (di Bogor disebutnya "guru teupa") Jajang Oet dari Ciwidey, masih sangat produktif membuat kujang dengan bikinan yang mirip kujang kuno.
"Sebenarnya ada lagi di kaki Gunung Salak, nama panai itu Abah Eddy," kata Riki Kurniawan. Abah Eddy juga bikin kujang dengan teknik tempa kuno. Kujang juga dibikin di Madura, tidak hanya di Jawa Barat saja.
Banyak ilmu tentang kujang yang ia dapat dari senior-senior budaya Pasundan, utamanya kujang seperti Budi Dalton (yang memiliki ratusan koleksi kujang, terlengkap), serta budayawan Sunda Hadian Wasita Shaleh dari Bandung.
"Dulu saya enam tahun kerja di (jaringan pasar swalayan) Yogya grup, dan aktif dalam kegiatan di kraton Sumedang. Isteri saya asli Bandung, maka saya pun pindah ke Bandung," kata Riki Kurniawan Apriansyah. Riki pernah di Pesantren Plus SMP di Parakan Muncang, serta SMK Pertanian di Tanjungsari, Sumedang. Profesi utamanya adalah pedagang baju-baju anak-anak. Tempat jualan pindah-pindah, Minggu terkadang di Soreang, Senin di Kutawaringin dan Selasa biasanya di Ciwidey. Â Tinggal di Kutawaringin Bandung. Setiap ada kegiatan bursa dan pameran tosan aji, ia fokus jualan kudi dan kujang Sunda.... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H