Raja Willem I menerimanya dengan bangga, meski sebenarnya keris itu bukan keris pertama yang dimilikinya. Willem I sangat menghargai keris Kyai Anggrek, dan kemudian menyimpannya sebagai pusaka keluarga yang disakralkan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden.
Raja Willem I sangat senang dan kagum, bukan hanya karena objek yang begitu indah tetapi juga karena kisah perjalanan dan kapal karam yang menakjubkan. Oleh karena itu, Raja Willem I meminta agar diberikan gambaran yang lebih jelas tentang keris tersebut.
Namun karena catatan tentang keris tersebut juga sudah hilang, permintaan detail tersebut tidak dapat Elout minta untuk segera dipenuhi. Â
Ketika berada di Surakarta Elout menyampaikan niat untuk menemui Susuhunan Pakubuwana IV, menceritakan kejadian tragis karamnya empat dari delapan kapal tersebut, dan menanyakan lebih lanjut keterangan yang lebih rinci keris tersebut.
Menurut keterangan lisan dari Susuhunan Surakarta PB IV yang juga dikenal sebagai pujangga, keris Kyai Anggrek itu ditempa pada tahun 1643 oleh seorang raja besar di Jawa bernama Sultan Agung dari Mataram. Yang menggarap empu Cindhe Amoh dan dapur atau model kerisnya "Lara Stuwa" (bisa diinterpretasikan sebagai dhapur Rara Siduwa, luk tujuh dengan awalan seolah bilah lurus dengan luk tujuh di atasnya). Cincin atau mendhaknya di atas deder atau hulu keris tayuman, disebut sebagai mendhak Parijata. Warangka dari "kayu tambala" (mungkin juga trembalo), serta sarung atau pendhok suasa.
Dalam bukunya, "Royal Gifts from Indonesia: Ikatan Sejarah dengan House of Oranje-Nassau (1600-1938)" Rita Wassing-Visser mengungkapkan, bahwa keris tersebut telah dipindahkan ke Museum Rijks Ethnographisch (sekarang Museum Volkenkunde, bagian dari Museum Nasional Budaya Dunia [NMVW]) di Leiden. Namun saat ini, keris tersebut tidak pernah ditemukan lagi di sana.
Banyak keris dapat ditemukan di museum Belanda, bersama dengan artefak klasik lainnya dari negara kolonial. Ada ratusan di seluruh Belanda, bahkan mungkin ribuan. Dan sebagian besar berada di Museum Volkenkunde NMVW, Leiden, seperti yang dapat dilihat di katalog online museum. Tidak semuanya dipajang. Keris-keris ini berasal dari berbagai tempat di Indonesia dan tiba di museum ini dalam periode yang berbeda.
Di saat hubungan antara Prancis dan Belanda sedang memburuk, Willem V, putra Willem IV, mulai merasa tidak pasti akan masa depan negaranya.
Oleh karena itu, ia mulai menyimpan beberapa pusaka berharga di kabinet (rak penyimpanannya) dengan mengirimkannya ke Jerman, dititipkan kepada putrinya yang menikah dengan seorang pangeran di sana.
Willem IV Â kemudian meminta suaka ke Inggris saat tentara Prancis menduduki Belanda pada 1795. Keris-keris koleksinya dievakuasi ke Jerman saat pasukan Prancis menduduki Belanda. Setelah Napoleon dikalahkan dan Kerajaan Inggris Belanda didirikan pada tahun 1815, pusaka dikembalikan.
Menurut Rita Wassing-Visser, pada saat kematian Raja Willem I pada tahun 1843, terdapat 22 keris dari berbagai daerah di Indonesia dalam Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden miliknya. Termasuk di antaranya tiga keris emas, salah satunya adalah keris dari Kerajaan Gowa, Sulawesi Selatan. Dan juga, keris pusaka yang bertuah keselamatan, Kyai Anggrek dari raja Surakarta PB IV. *