keris Kyai Anggrek sebagai tanda terima kasih dan persahabatan dengan Raja Belanda Willem I atau Willem Frederik (1772-1843) sebagai tanda terima kasih dan persahabatan antara kedua kerajaan.
Sekitar tahun 1818, Susuhunan Pakubuwana IV penguasa kerajaan Surakarta di Jawa Tengah, mengirimkan keris pusakaPerjalanan keris pusaka yang dulu dibuat oleh Empu Cindeamoh di era Mataram Sultan Agung (1593-1645) itu sungguh dramatis, lantaran empat dari delapan armada kapal Belanda yang membawa ribuan macam benda budaya itu tenggelam sebelum mencapai tujuan. Keris Kyai Anggrek (Kyai Hanggrek) yang dibawa Admiraal Evertsen itu menjadi satu-satunya keris yang terselamatkan dan mencapai Belanda. Namun jejak keberadaannya di Belanda sampai kini masih buram. Belum diketahui, dimana persisnya keris pusaka yang dipercaya memiliki "tuah keselamatan" itu kini berada.
Kisah menarik ini diungkapkan oleh Sri Margana, doktor lulusan Leiden Belanda kelahiran Klaten Jawa Tengah yang kini Dosen Ilmu Sejarah di Universitas Gajah Mada (UGM), ketika ia tampil dalam sebuah diskusi keris di Resto Poenakawan Yogyakarta, Minggu (28/5/2023) saat berlangsungnya Pagelaran Keris Kamarogan Nusantara oleh Sanggar Keris Mataram (SKM). Selain Dr Sri Margana, tampil pula dengan presentasinya Prof Dr Timbul Haryono pengajar Universitas Gajah Mada, serta praktisi empu dari Solo Ki Subandi Supaningrat.
Banyak Kyai Anggrek
Tema keris Kyai Anggrek yang diangkat Dr Sri Margana ini tentunya sangat menarik bagi kalangan perkerisan di Yogyakarta dan kota lain di Jawa, lantaran saat ini di Indonesia ada lebih dari tiga keris yang memiliki julukan Kyai Anggrek, atau dijuluki begitu saja sebagai Kyai Anggrek di tangan para kolektor keris. Cerita yang diangkat Dr Sri Margana ini tentunya memancing keingin-tahuan para kolektor pusaka, seperti apa sebenarnya bentuk Kyai Anggrek pusaka era Mataram Sultan Agung ini.
Keberadaannya keris Kyai Anggrek di Belanda, menurut Sri Margana, disinggung oleh Rita Wassing-Visser dalam bukunya "Royal Gifts from Indonesia: Ikatan Sejarah dengan House of Oranje-Nassau (1600-1938)". Wassing Visser menulis, bahwa keris tersebut telah dipindahkan dari Museum Rijks Ethnographisch (sekarang Museum Volkenkunde, bagian dari Museum Budaya Nasional Dunia (NMVW) di Leiden, Belanda. Namun tidak pernah lagi ditemukan, dimana keris Kyai Anggrek itu berada.
Di kalangan kolektor Indonesia saat ini, Keris Kyai Anggrek ini menjadi sebuah 'legenda' tersendiri sehingga menjadi semacam "merek dagang yang banyak diincar", sehingga keris-keris yang berlabelkan "Kyai Anggrek" dan memiliki kualitas keren walau belum tentu atau bahkan bohong besar itu "Keris Kyai Anggrek" dari Paku Buwana IV untuk raja Willem Frederik di Belanda, namun nama itu sudah mendongkrak harga, mencapai ratusan juta bahkan milyar rupiah di pasaran kolektor. Hmmm.....
Menelusuri Kyai Anggrek
Sri Margana mengungkapkan liku-likunya saat ia menelusuri keberadaan Kyai Anggrek, senyampang ia diberi tugas oleh pemerintah Indonesia untuk menjadi salah satu kurator dalam rangka pemulangan keris pusaka Pangeran Diponegoro, Naga Siluman dari Belanda ke Indonesia tahun 2021. Keris Kyai Anggrek diketahui disimpan di Belanda dari 1818 hingga 1883. Setelah itu tidak diketahui jejaknya.
Asal-usul keris Kyai Anggrek membawa kita kembali ke periode awal pembentukan negara kolonial, Hindia Belanda, serta ekspedisi ilmiah kolonial yang ditugaskan oleh raja Belanda waktu itu, Raja Willem I atau Willem Frederik (1772-1843). Dia mengirimkan sejumlah ilmuwan ke Jawa, seperti CGC Reindwardt (1773-1854), CL Blume (1796-1862), dan PFB von Siebold (1796-1866) ke Hindia Belanda untuk mengoleksi berbagai benda dan artefak yang dapat mengisi koleksi museum dan lembaga ilmiah yang didirikan di Belanda.
Benda-benda budaya dan artefak dari Hindia Belanda tersebut tidak hanya mewakili kekayaan budaya berbagai suku bangsa di Nusantara, tetapi juga kemajuan di bidang kesehatan, farmasi, dan sejarah alam. Kalau yang berbentuk senjata tradisional keris, salah satunya ya Keris Kyai Anggrek pemberian raja Surakarta Paku Buwana IV (1788-1820) kepada Raja Willem Frederik.