Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Berteriak Keras-keras Setengah Abad

10 Maret 2023   07:34 Diperbarui: 10 Maret 2023   14:01 1571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
God Bless formasi Muktamar Musik di Solo, dari kiri Abadi Soesman, Ian Antono, Ahmad Albar, Donny Fattah Gagola dan Fajar Satritama. (Foto Dokumentasi God Bless)

Karakter utama band hardrock adalah berdentum, berdentam, jlegur-jlegur musiknya dan teriak keras parau atau melengking-lengking penyanyinya. Maka jika mau diurai dengan kata-kata, selama setengah abad Ian Gillan dan Ahmad Albar, vokalis Deep Purple dan God Bless ini genap setengah abad berteriak keras-keras di panggung.

Padahal kedua vokalis ini dua-duanya sudah kepala tujuh. Ahmad Albar, kelahiran Surabaya 76 tahun lalu. Sedangkan Ian Gillan yang kelahiran Chiswick London, ia 77 tahun.

Ahmad Albar, yang jadi pembuka konser bersama grupnya di  "Muktamar Deep Purple x God Bless" di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta, Jumat 10 Maret 2023 ini, membentuk grup musik kerasnya pada tahun 5 Mei 1973, hampir 50 tahun lalu. (Nama gelaran konser itu "Muktamar Deep Purple x God Bless" itu dipilih oleh Anas Syahrul Alimi pendiri dan CEO promotor Rajawali Indonesia).

Persisnya nama God Bless pertama kali dimunculkan di pentas mereka di Taman Ismail Marzuki dan kemudian diikuti di pesta musik "Summer 28" di Pasar Minggu Jakarta pada tahun 1973. Sebelum itu, sepulang Ahmad Albar alias Iyek dari bermukim beberapa tahun di Belanda, nama band awalnya, Crazy Wheels.

Kedua band musik keras yang tampil di Edutorium UMS Solo ini diawaki oleh pemusik-pemusik yang rata-rata berusia kepala 7. Deep Purple diawaki Ian Gilan vokalis utamanya (77), Roger Glover di bass (77), Ian Paice (74) di drum, Don Airey di keyboards (74) dan hanya gitaris Simon McBride yang muda belia, 43 tahun.

God Bless yang membuka konser "muktamar", juga dimotori pemusik-pemusik kepala 7, Ahmad Albar (76), Donny Fattah di bass (73), gitaris Ian Antono (72), Abadi Soesman di keyboards (74) dan hanya drummer-nyaberusia muda, Fajar Satritama (52).

Meski nyaris semua pemusik motornya berusia kepala 7, namun jangan tanya warna musiknya. Pokoknya keras semua, dan jrenggg sekali. Pada tahun 1975, Guinness Book of World Records bahkan pernah menobatkan Deep Purple misalnya, sebagai "band paling keras di dunia" untuk konser mereka di Rainbow Theatre London pada 1973. Sementara God Bless, disebut sebagai "raja musik cadas" dari Indonesia.

God Bless Setengah Abad

God Bless, band hard rock lokal asli Jakarta, tampil di Edutorium Solo dengan dua misi peringatan. Menjelang setengah abad mereka berpentas musik keras di Tanah Air. Dan yang kedua memperingati langkah bersejarah mereka menjadi band pembuka konser musik kelas dunia di Stadion Gelora Senayan Jakarta pada 5 Desember 1975 bersama Deep Purple.

(Beruntung, saya kebetulan sebagai peliput event kelas dunia itu di Gelora Senayan 4-5 Desember 1975 dan menuliskannya di koran Kompas 8 Desember 1975. Kini setelah hampir 48 tahun, kembali meliput penampilan fenomenal mereka berdua untuk media sosial. Sudah pensiun, boss, aku sudah nggak di media besar. Kini jadi WTS alias Wartawan Tanpa Surat Kabar, he, he, he....)

Atmosfer negeri pada tahun 1975 itu tentunya berbeda. Ketika itu, dunia musik Indonesia tengah mengalami euforia.... Boleh bebas bermusik, setelah beberapa tahun sebelumnya Bung Karno pemimpin besar Revolusi (PBR) Presiden pertama RI membatasi rakyat Indonesia dari bermusik Barat. Pokoknya, "ngga boleh musik ngak, ngik, ngok ....," demikian Soekarno menyebut musik Barat. Mungkin karena The Beatles sering ngak, ngik, ngok pakai harmonikanya, membuat Soekarno pun menuduh ngak, ngik, ngok...

Ketika Soekarno melarang musik ngak, ngik, ngok pada tahun 1960-an, saya kebetulan masih bersekolah Sekolah Dasar di SD Pangudiluhur Bruderan Solo, hanya beberapa ratus langkah dari Balai Kota Surakarta yang sekarang ini dikepalai Walikota Mas Gibran Rakabuming, putra Presiden RI Joko Widodo.

Atmosfer di Solo tahun 1960-1965 sungguh bumi langit dengan Solo masa kini. Misalnya, di tahun 1960-an sering terjadi "momen" (razzia). Kami murid SD di Bruderan waktu itu, sering beramai-ramai nonton momen, orang pada dirazzia oleh petugas di depan Balai Kota Solo. Yang pakai rok mini ketat, disobek pakai gunting ujung celana dan ujung roknya biar tidak bisa dipakai lagi. Dipermalukan, biar mereka nggak pakai "busana imperialis", rok mini ketat, celana ketat, rambut gondrong, musik ngak, ngik, ngok.

Sepatu dengan haak tinggi? Yang waktu itu kami sebut sebagai "model sepatu bitel" (karena orang meniru pemakai sepatu itu, yakni grup musik The Beatles dari Inggris) juga dilarang oleh Soekarno. Maka, yang pakai sepatu bitel pun kena razzia di depan Balai Kota Solo, atas petunjuk pemerintah pusat. Rambut gondrong lelakinya, dan rambut "agogo" perempuannya, juga kena razzia. Dibuat pitak rambutnya. Ngga boleh lagi gondrong, atau model-model Barat....

Koes Bersaudara tahun 1960-an super terkenal karena mampu memuaskan selera kuping pop waktu itu. Dan di panggung, mereka bitel-bitelan seperti juga musik band perempuan Dara Puspita di panggung. Saya sempat menyaksikan pentas kedua band ini di Stadion Sriwedari di tahun 1960-an. Tapi saya naik menara lampu Stadion, nontonnya. Blum cukup duit untuk membayar tiket kelas berdiri sekalipun. Koes Bersaudara sempat merasakan panasnya penjara di Glodok (kini sudah jadi mall Glodok di Harco), karena musik ngak, ngik, ngok mereka). Keluar penjara, Koes Bersaudara mencipta lagu kenangan mereka di bui, "Waktu ku di Dalam Bui"..

Indonesia, waktu itu sedang nyaring-nyaringnya bergema semangat anti imperialis, kolonialis, penjajah barat. "Inggris Kita Linggis, Amerika Kita Seterika...," teriak Soekarno dalam pidatonya.

Bebas menggerojok

Tahun 1975, sekitar enam tahun setelah era Orde Lama Bung Karno surut dan berganti era Soeharto menjadi era Orde Baru, Soeharto pengganti Soekarno seperti membuka kran kebebasan untuk dunia musik, walau di dunia politik justru Soeharto makin memperketatnya.

Tahun 1975 musik Indonesia seperti terbuka lebar. Rekaman-rekaman musik ngak, ngik, ngok The Beatles, Rolling Stones, The Monkeys, The Animals, Tremelous, pokoknya semua boleh masuk. Menutupi politik yang makin ditutup di dalam negeri. Bahkan ketika dunia dilanda musik keras rock, sebagai protes suasana Perang Negara Adidaya AS vs Blok Uni Soviet, musiknya dibuka lebar oleh Soeharto. Bebas menggerojok masuk Republik Indonesia.

Sekarang bisa dibayangkan, atmosfer politik saat terjadi Konser Musik Deep Purple dan dibuka God Bless di Stadion Gelora Senayan. Pada saat yang sama Konser Deep Purple, pada hari yang sama 5 Desember 1975, di Istana Merdeka tak jauh sekali dari tempat konser Deep Purple dan God Bless, Presiden sedang menyambut tamu negara yang tak main-main pentingnya, Presiden Gerald Ford dari AS.

Sebuah kebetulan, suasana Indonesia sedang tegang dengan hubungan meruncing antara Indonesia-Timor Timur yang baru memproklamirkan kemerdekaan menjadi Timor Leste. Itu pula sebabnya, Presiden AS Gerald Ford dan Menlu AS Henry Kiessinger bertemu di Istana Merdeka.

Dua hari kemudian? Pada 7 Desember 1975, Indonesia mengirim pasukan berkekuatan penuh ke Timor Leste, untuk meredam kemerdekaan rakyat Timor. Operasi ini disebut sebagai Operasi Seroja. Dilli di Timor Leste pun jatuh. Operasi Seroja oleh dunia internasional, disebut sebagai upaya invasi Indonesia ke Timor, sementara bagi Indonesia dipandang sebagai upaya integrasi, karena memang Timor Timur sebelumnya wilayah Indonesia. Karena dikompori pihak luar (Australia), di samping juga niat rakyat Timor untuk merdeka, maka Timor Leste pun memerdekakan diri. Perang pun berkecamuk di Timor Leste.

Maka, atmosfer musik hard rock yang memang menyuarakan kemerdekaan, menjadi cocok dalam konteks "memerdekakan diri dari keterkungkungan politik" saat itu. Dan gelora musik keras Deep Purple, didahului God Bless pada saat bersamaan kunjungan Presiden AS Gerald Ford pun seperti cocok, dengan atmosfer kebebasan musik di Senayan.

Menjadi patriotik. Saat kedatangan super grup musik Deep Purple ke Jakarta waktu itu, seolah "disambut kibaran sang saka Merah Putih". Padahal, saat itu Gubernur KDKI Ali Sadikin menginstruksikan "kantor dan rumah di sepanjang jalan dari Bandara Halim Perdana Kusuma sampai Istana Merdeka yang akan dilewati Presiden AS kudu mengibarkan bendera merah putih". Bukan untuk mengibari super grup dari Inggris.

Ya nggak papa sih. Kedatangan Grup Musik Deep Purple di Jakarta waktu itu disambut Merah Putih. Saya, sepulang dari jumpa pers dengan Deep Purple (waktu itu vokalisnya David Coverdale, yang mengganti posisi Ian Gillan) di Hotel Sahid Jaya Boulevard, sempat merasa "ge-er". Weh, kita disambut Merah Putih, nih!

Nggak tahunya, Merah Putih itu yang dikibarkan di sepanjang jalan itu untuk menyambut si boss Gerald Ford. Bukan untuk Deep Purple....*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun