Ketika Soekarno melarang musik ngak, ngik, ngok pada tahun 1960-an, saya kebetulan masih bersekolah Sekolah Dasar di SD Pangudiluhur Bruderan Solo, hanya beberapa ratus langkah dari Balai Kota Surakarta yang sekarang ini dikepalai Walikota Mas Gibran Rakabuming, putra Presiden RI Joko Widodo.
Atmosfer di Solo tahun 1960-1965 sungguh bumi langit dengan Solo masa kini. Misalnya, di tahun 1960-an sering terjadi "momen" (razzia). Kami murid SD di Bruderan waktu itu, sering beramai-ramai nonton momen, orang pada dirazzia oleh petugas di depan Balai Kota Solo. Yang pakai rok mini ketat, disobek pakai gunting ujung celana dan ujung roknya biar tidak bisa dipakai lagi. Dipermalukan, biar mereka nggak pakai "busana imperialis", rok mini ketat, celana ketat, rambut gondrong, musik ngak, ngik, ngok.
Sepatu dengan haak tinggi? Yang waktu itu kami sebut sebagai "model sepatu bitel" (karena orang meniru pemakai sepatu itu, yakni grup musik The Beatles dari Inggris) juga dilarang oleh Soekarno. Maka, yang pakai sepatu bitel pun kena razzia di depan Balai Kota Solo, atas petunjuk pemerintah pusat. Rambut gondrong lelakinya, dan rambut "agogo" perempuannya, juga kena razzia. Dibuat pitak rambutnya. Ngga boleh lagi gondrong, atau model-model Barat....
Koes Bersaudara tahun 1960-an super terkenal karena mampu memuaskan selera kuping pop waktu itu. Dan di panggung, mereka bitel-bitelan seperti juga musik band perempuan Dara Puspita di panggung. Saya sempat menyaksikan pentas kedua band ini di Stadion Sriwedari di tahun 1960-an. Tapi saya naik menara lampu Stadion, nontonnya. Blum cukup duit untuk membayar tiket kelas berdiri sekalipun. Koes Bersaudara sempat merasakan panasnya penjara di Glodok (kini sudah jadi mall Glodok di Harco), karena musik ngak, ngik, ngok mereka). Keluar penjara, Koes Bersaudara mencipta lagu kenangan mereka di bui, "Waktu ku di Dalam Bui"..
Indonesia, waktu itu sedang nyaring-nyaringnya bergema semangat anti imperialis, kolonialis, penjajah barat. "Inggris Kita Linggis, Amerika Kita Seterika...," teriak Soekarno dalam pidatonya.
Bebas menggerojok
Tahun 1975, sekitar enam tahun setelah era Orde Lama Bung Karno surut dan berganti era Soeharto menjadi era Orde Baru, Soeharto pengganti Soekarno seperti membuka kran kebebasan untuk dunia musik, walau di dunia politik justru Soeharto makin memperketatnya.
Tahun 1975 musik Indonesia seperti terbuka lebar. Rekaman-rekaman musik ngak, ngik, ngok The Beatles, Rolling Stones, The Monkeys, The Animals, Tremelous, pokoknya semua boleh masuk. Menutupi politik yang makin ditutup di dalam negeri. Bahkan ketika dunia dilanda musik keras rock, sebagai protes suasana Perang Negara Adidaya AS vs Blok Uni Soviet, musiknya dibuka lebar oleh Soeharto. Bebas menggerojok masuk Republik Indonesia.
Sekarang bisa dibayangkan, atmosfer politik saat terjadi Konser Musik Deep Purple dan dibuka God Bless di Stadion Gelora Senayan. Pada saat yang sama Konser Deep Purple, pada hari yang sama 5 Desember 1975, di Istana Merdeka tak jauh sekali dari tempat konser Deep Purple dan God Bless, Presiden sedang menyambut tamu negara yang tak main-main pentingnya, Presiden Gerald Ford dari AS.
Sebuah kebetulan, suasana Indonesia sedang tegang dengan hubungan meruncing antara Indonesia-Timor Timur yang baru memproklamirkan kemerdekaan menjadi Timor Leste. Itu pula sebabnya, Presiden AS Gerald Ford dan Menlu AS Henry Kiessinger bertemu di Istana Merdeka.
Dua hari kemudian? Pada 7 Desember 1975, Indonesia mengirim pasukan berkekuatan penuh ke Timor Leste, untuk meredam kemerdekaan rakyat Timor. Operasi ini disebut sebagai Operasi Seroja. Dilli di Timor Leste pun jatuh. Operasi Seroja oleh dunia internasional, disebut sebagai upaya invasi Indonesia ke Timor, sementara bagi Indonesia dipandang sebagai upaya integrasi, karena memang Timor Timur sebelumnya wilayah Indonesia. Karena dikompori pihak luar (Australia), di samping juga niat rakyat Timor untuk merdeka, maka Timor Leste pun memerdekakan diri. Perang pun berkecamuk di Timor Leste.