Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jaka Lara Keris Pertama Saya

8 Februari 2023   08:19 Diperbarui: 8 Februari 2023   14:25 1688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jaka Lara adalah istilah untuk keris yang pertama kali dimiliki (Foto: Tira Hadiatmojo)

Arti harafiah "Jaka Lara" sebenarnya adalah istri yang pertama kali dikawini. Akan tetapi di dunia perkerisan, Jaka Lara adalah keris pusaka yang pertama kali dimiliki. 

Dan keris Jaka Lara saya adalah sebuah keris sederhana, berdhapur sengkelat berlekuk 13 tangguh Kartasura pemberian Mas Hajar Satoto seorang seniman seni rupa adik kandung penari kondang di kalangan seni, Retno Maruti.

Hajar Satoto memberikan keris ini di rumahnya yang berseni, di Kartasura, Surakarta bagian barat di Jawa Tengah pada awal tahun 1990-an ketika saya masih menjadi wartawan di sebuah harian nasional terbesar waktu itu. 

Saya dibawa ke rumah Hajar Satoto, yang lulusan seni rupa ASRI, oleh seorang wartawan Kompas sobat saya, Ardus M Sawega yang kini sudah almarhum, seperti pula Hajar Satoto.

Saya tidak ingat persis kata-kata Hajar Satoto ketika memberikan keris ini pada saya di Kartasura. Tetapi kurang lebih, "Nyoh, tak wenehi. Iki sengkelat apik, tangguh Kartasura...," kata Hajar. Nih, aku beri. Ini keris sengkelat bagus, tangguhnya Kartasura. Perkiraan zaman pembuatan dan juga gaya kerisnya adalah gaya Kartasura.

Dan tak berselang beberapa tahun setelah itu, Hajar Satoto menjadi salah satu tokoh penyelenggara Pameran Seni Tosan Aji bersama karikaturis Kompas Mas GM Sudarta yang kondang dengan nama Oom Pasikom. 

Saya juga diajak menjadi "bala dupak" (pembantu grubyuk) pameran keris yang pertama kalinya diselenggarakan di Bentara Budaya Jakarta milik grup Kompas Gramedia, pada 22-28 Agustus 1996.

Pameran keris pertama di Bentara Budaya Jakarta ini di kemudian hari tercatat dalam berbagai media. Dimuat di tulisan Bambang Harsrinuksmo di Ensiklopedi Keris (2004) terbitan Gramedia pada sub topik "Pameran Seni Tosan Aji". Juga, saya tulis di harian Jakarta Post di halaman Leisure pada 28 Agustus 1996 dengan judul "The Javanese Kris, A Symbol of Identity". Juga tentunya tertulis di beberapa artikel yang dimuat di harian Kompas, tempat saya waktu itu bekerja, di berbagai halaman berupa tulisan bersama dengan Ardus M Sawega.

Ladrang Kasatriyan

Hajar Satoto tidak hanya seorang seniman seni rupa, yang banyak bereksperimen dalam seni rupa gagrak kontemporer-tradisional, akan tetapi juga waktu itu disebut sebagai "ahli keris" yang sering bereksperimen membuat keris kontemporer -- yang kini hampir semua karyanya berjumlah puluhan masih tersimpan rapi di koleksi Marc Peeters, seorang warga negara Indonesia asal Belgia tinggal di Jakarta. 

Mark Peeters adalah seorang pengusaha bambu di pasaran internasional dan salah seorang kolektor meriam kuno.

Menurut Hajar Satoto, keris pemberiannya berdhapur sengkelat luk 13 dari tangguh Kartasura. Dhapur adalah istilah khas keris untuk menyebut model, seperti halnya mobil ada tipe di samping merek. 

Besi kerisnya khas, nggrasak, agak kasar dan tidak pulen seperti keris-keris Majapahit, ataupun Mataram Sultan Agung yang padat licin dan matang tempa itu. Pamor atau motif yang muncul di permukaan bilah pun standar, beras atau wos wutah. Namun warangkanya garap bagus, Surakarta Ladrang Kasatriyan dari bahan kayu trembalo "nganam kepang".

Disebut "nganam kepang" lantaran motif serat kayu tersebut menggambarkan seolah anyam-anyaman tikar, dan dalam rona yang "ngindhen". Nah, ngindhen ini agak sulit dicari padanan kata Indonesia nya. Akan tetapi, dalam bahasa perkerisan di antara orang barat, disebut "chatoyant" (Bahasa Perancis). Berkilau dengan gradasi warna tua-muda.

Nganam kepang hanyalah salah satu jenis motif yang ngindhen. Ada lagi, motif "ndaging urang" (seperti kulit urang, yang seolah berlekuk dengan warna tua, muda, tua muda di kulitnya). Ndaging urang tidak beranyam-anyam. Hanya bergaris-garis dengan nuansa coklat tua, muda, tua muda.

Memanggil Teman

Kata orang perkerisan, keris Jaka Lara biasanya "memanggil teman". Artinya, jika sudah memiliki keris pusaka pertama yang disebut Jaka Lara, biasanya trus menarik mengoleksi keris-keris lain. 

Waktu itu memang demikian. Ada puluhan bahkan ratusan keris setelah itu "berdatangan" ke kamar saya, tentunya tidak gratis. Sebagian saya buru dari berbagai pelosok di tanah Jawa dan satu dua dari Sumatera.

Ada yang dimahar (dibeli) mahal, dimahar murah, ada juga yang dititipi teman cuma-cuma karena konon dia takut di rumahnya "kerisnya glodhakan di almari" sehingga bikin takut sekeluarga. 

Cerita keris glodhakan ini umumnya hanya cerita berdasarkan "katanya" tetapi tidak dialami oleh yang bersangkutan sendiri. Biasanya itu diungkapkan oleh orang yang nggak punya keris, akan tetapi takut dibilang "nggak njawani, nggak punya keris padahal orang jawa"....

Sebelum dibawa Ardus M Sawega ke rumah Hajar Satoto di Kartasura, sebenarnya saya sudah lebih dulu dikenalkan dengan Hajar Satoto oleh Mas GM Sudarta, karikaturis Oom Pasikom itu, ketika dia menjadi Direktur Bentara Budaya, sebuah lembaga seni nirlaba milik Kompas Grup yang bergerak di bidang kebudayaan, kesenian, pertunjukan dan terutama pameran di berbagai tempat di galeri Bentara Budaya.

Sekitar tahun 1990-an, saya dikenalkan dengan Hajar Satoto di Bentara Budaya Yogyakarta, yang ketika itu memang digawangi oleh Hajar. Waktu dikenalkan di Bentara Budaya Yogyakarta itu, Hajar Satoto sedang "marangi" atau mewarangi, mencuci keris, di belakang galeri Bentara yang sekarang ini sudah menjadi Gedung Toko Buku Gramedia di Jalan Jendral Sudirman, Yogyakarta.

Perkenalan dengan Hajar Satoto ini terjadi setelah saya tinggal di Perancis selama empat-lima bulan, ketika saya terpesona dengan keris-keris Indonesia yang justru dipamerkan di sebuah galeri kecil di bilangan Trocadero, Paris, yakni Musee Guimet. Persisnya di 6 Place d'Iena Paris, tidak jauh dari kawasan menara Eiffel di jantung kota Paris. 

Sejak melihat keris Jawa "milik" orang Perancis yang punya galeri di Trocadero itu, saya pun penasaran dan menjadi pemburu keris yang madatan, kambuhan. Ngga puas-puasnya berburu keris, sampai terkumpul ratusan.

Beruntung, saya kini sudah bertobat. Dan paling hanya tinggal memiliki seratusan keris. Kalau tidak sembuh? Akan jatuh korban gemerincing koin berjatuhan karungan, untuk membeli keris-keris. 

Salah satu korban terparah, adalah mobil istri saya sebuah Honda CRV dia jual untuk membelikan saya tiga bilah keris, milik seorang blantik keris dari Solo, pada awal 2000-an.

Terima kasih, istriku! Padahal dia asli Indramayu lho....*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun