Pertarungan penentuan hidup mati di Grup B Mitsubishi Piala AFF 2022 antara Malaysia dan Singapura di Stadion Bukit Jalil Kuala Lumpur Selasa (03/01/2023) sungguh menarik disimak.Â
Singapura tampil dengan minim pemain naturalisasi. Sebaliknya, Malaysia tampil dengan sebergada pemain naturalisasinya sehingga permainan di lapangan ibarat "Tim Asia Serasa Eropa".
Pemandangan kontras pun terjadi. Terutama dari sisi fisik. Singapura tampil dengan relatif lebih pendek-pendek pemainnya, sebaliknya Tim Negeri Jiran Malaysia kekar-kekar dan tinggi. Dan sebenarnya tim-tim lain di Piala AFF kali ini pun kurang lebih sama, pada dibanjiri pemain-pemain naturalisasi demi mencapai kemenangan. Termasuk pula Timnas Indonesia.
Tim Jiran Malaysia menang gemilang 4-1 dan bahkan nyaris 4-0 kalau saja Faris Ramli di menit 60' tidak mencetak gol balasan untuk Singapura. Padahal, Singapura sebenarnya hanya butuh seri untuk mengamankan tempatnya di semifinal mendampingi Vietnam -- yang Selasa (03/01/2023) menang atas Myanmar 3-0 sehingga menjadi pemuncak Grup B.Â
Sementara Malaysia kudu menang, untuk lolos semifinal bersama Vietnam. Tampilnya Vietnam sebagai juara Grup B juga menjamin kepastian, Vietnam-lah calon lawan semifinal Indonesia di leg 1 Stadion Gelora Bung Karno Jakarta (06/01/2023) serta leg 2 di kandang lawan (09/01/2023).
Sebelum turun berlaga lawan Malaysia di pertandingan akhir Grup B, Singapura sebenarnya sudah menempati peringkat kedua Grup B dengan 7 poin. Seri pun cukup untuk lolos bagi Singapura.Â
Sementara tim asuhan Kim Pan-gon, Malaysia kudu menang untuk lolos semifinal, karena baru mengantungi 6 poin di peringkat ke-3 Grup B. Maka, di depan publik mereka di Stadion Bukit Jalil pun Malaysia tampil sekuat tenaga, all out, dan harus mengerahkan sebergada pemain-pemain naturalisasinya.
Singapura mulanya mengandalkan materi-materi lokalnya, termasuk anak kiper lokal terkenal Fandi Ahmad, Irfan Fandi. Pemain naturalisasinya, Song Ui-young yang kelahiran Incheon 8 November 1993 dan baru jadi warga Singapura Agustus 2021 juga diturunkan paling awal tetapi tidak penuh 90 menit.Â
Dan ketika sudah jauh keteter, tertinggal gol tiga gol, pelatih Singapura asal Jepang Tatsuma Yoshida baru menurunkan pemain-pemain naturalisasi lainnya. Namun rupanya itu sudah terlambat. Tim Negeri Singa itu sudah tak bisa lagi mengejar ketinggalan dari Harimau Malaysia.
Banjir Pemain Brasil
Tentang fenomena pemain naturalisasi, sebenarnya tidak hanya terjadi di Asia Tenggara saja. Akan tetapi itu sudah menjadi fenomena lama di seluruh dunia. Terutama di Eropa pertengahan abad ke-20.Â
Contoh klasik terjadi pada diri Alfredo di Stefano. Striker legendaris kelahiran Buenos Aires ini bermain untuk tim nasional Argentina (1947), tetapi kemudian pada (1957-1961) bermain untuk Spanyol. Seperti bunglon saja yang berubah-ubah warna.
Rekan satu tim Di Stefano ketika di Real Madrid Spanyol, Ferenc Puskas juga demikian. Setelah mengumpulkan 85 caps (memperkuat tim nasional negerinya) untuk Hungaria, Puskas pun kemudian bermain untuk timnas Spanyol.
Main pindah kewarganegaraan yang tidak kalah sensasional di abad 20 adalah pemain kelahiran Sao Paulo Brasil, Jose Altafini. Di Piala Dunia FIFA 1958 Altafini bermain untuk Brasil saat Tim Samba itu juara dunia untuk pertama kalinya. Tetapi di Piala Dunia berikutnya, Piala Dunia FIFA 1962 ia bermain untuk Italia! Bener-bener bunglon sepak bola.
Dan memang sejak Brasil menguasai sepak bola dengan juara Piala Dunia FIFA 1958, 1962, 1970, 1994, 2002 maka pemain-pemain Brasil pun membanjir pindah Eropa.Â
Sampai-sampai pada sebuah wawancara di bulan November 2007, Presiden FIFA Sepp Blatter secara sarkas pernah mengatakan pada Radio Inggris BBC: "Jika kita tidak menghentikan lelucon ini, dan jika kita tidak peduli, maka penjajah Brasil akan menuju Eropa dan Afrika, di Piala Dunia 2014 atau 2018," katanya.
Tidak Cuma Brasil
Apakah hanya Brasil? Ternyata membanjirnya pemain asing itu merajalela di mana-mana.Â
Ini sejumlah catatan saja, masih ada yang lain: Ernst Wilimowski lahir di Polandia dari bapak ibu Jerman, ia main untuk tim Polandia dan kemudian Jerman. Joe Gaetjens penyerang tengah kelahiran Haiti. Ia bermain untuk Amerika Serikat, dan kemudian Haiti.
Lebih hebat lagi Luis Monti yang kelahiran Argentina. Ia kemudian dibajak jadi warga Italia karena kehebatannya di sepak bola.Â
Monti adalah satu-satunya pemain di dunia, yang mampu tampil di final Piala Dunia, dan turun bermain untuk negara yang berbeda. Ia menjadi pemain Argentina tanah kelahirannya pada (1924-1931) dan pemain Italia (1932-1936).
Masih ada lagi, Jose Santamaria yang di kemudian hari terkenal sebagai Manajer Pelatih Timnas Spanyol. Ia kelahiran Uruguay dan kemudian pindah jadi warga Spanyol. Dan setelah sempat bermain untuk Timnas Uruguay, Jose Santamaria Iglesias ini pindah ke Spanyol dan menghabiskan waktu 18 tahun bermain untuk klub ternama Real Madrid.
Michel Platini -- bintang legendaris kelahiran Perancis yang berdarah Italia, serta membawa klub raksasa Juventus di Italia menjadi juara Piala Champions 1985. Platini pernah pindah sesaat jadi warga negara Kuwait (1988) hanya untuk bisa tampil bermain dalam sebuah pertandingan persahabatan selama 21 menit, atas permintaan seorang Emir di Kuwait...
Statuta FIFA Berubah
Maka FIFA sebagai organisasi yang bertanggung jawab atas perkembangan sepak bola dunia pun memperketat peraturan, ketika terjadi banyak simpang siur kewarga-negaraan pemain-pemain sepak bola dunia. Bulan Januari 2004, FIFA mengeluarkan peraturan baru tentang eligibilitas pemain untuk bisa mewakili satu negara.
Menurut statuta FIFA Januari tahun 2004 ini, pemain hanya diperbolehkan main untuk satu negara pada jenjang junior, dan kemudian baru boleh pindah main ke tingkat internasional untuk negara lain setelah dewasa. Dengan syarat, permohonan pindah warga negara diajukan sebelum ulang tahun ke-21.
Bulan Maret tahun yang sama, 2004, FIFA mengubah kebijakan menjadi lebih longgar tentang eligibilitas pemain sepak bola. Hal ini dilakukan sebagai reaksi atas trend naturalisasi pemain di berbagai negara yang sulit dibendung. Diantaranya Qatar dan Togo yang melakukan "naturalisasi" pemain yang lahir dan besar di tempat lain dan tidak memiliki hubungan leluhur yang jelas dengan kewarganegaraan yang baru.
Menurut keputusan Komite Darurat FIFA, pemain harus dapat menunjukkan "hubungan yang jelas" dengan negara tempat mereka, bukan tempat kelahirannya akan tetapi negara yang ingin diwakili.Â
Putusan ini secara eksplisit menyatakan bahwa, seseorang pemain harus memiliki setidaknya satu orang tua atau kakek nenek yang lahir di negara tersebut. Atau pemain tersebut harus sudah tinggal di negara tersebut selama dua tahun terakhir.
Terakhir, FIFA di bawah kepemimpinan Presiden Gianni Infantino pada Januari 2021 melembagakan secara menyeluruh sistem eligibilitas pemain, memungkinkan pemain yang terikat dengan kewarganegaraan atau memiliki hubungan yang jelas dengan negeri tersebut, boleh pindah mewakili tim junior dan bahkan timnas senior negara tersebut.
Nah, praktik naturalisasi pemain asing itu kini terlihat jelas di kejuaraan terbesar kawasan ASEAN, di Piala AFF 2022. Berduyun-duyun pemain keturunan pindah warga negara lain demi memenuhi tawaran untuk memperkuat tim nasional sepak bola.Â
Istilah yang populer untuk para pemain seperti ini, mereka populer disebut pemain-pemain naturalisasi... *
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H