Mohon tunggu...
Jimmy S Harianto
Jimmy S Harianto Mohon Tunggu... Jurnalis - Mantan Redaktur Olahraga dan Desk Internasional Kompas

Redaktur Olahraga (1987-1993), Wakil Redaktur Opini dan Surat Pembaca (1993-1995), Redaktur Desk Hukum (1995-1996), Redaktur Desk Features dan Advertorial (1996-1998), Redaktur Desk Internasional (2000-2003), Wakil Redaktur Kompas Minggu (2003-2008), Redaktur Desk Internasional (2008-2012)

Selanjutnya

Tutup

Raket Artikel Utama

Drama di Ujung Gelar Juara Anthony Ginting

7 November 2022   17:17 Diperbarui: 8 November 2022   13:33 1847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anthony Ginting/sha/inews

Peristiwa dramatis ini memang terjadi kurang dari tiga menit saja menjelang akhir pertandingan. Tetapi saya yakin, Chou Tien Chen pebulutangkis China Taipei itu tak akan lupa seumur hidupnya. 

Betapa ia merasa kesempatannya meraih gelar juara di turnamen Hylo Saarbrucken, Jerman (06/11/2022) itu direnggut begitu saja oleh hakim servis di depan matanya.

Anthony Ginting maupun Chou Tien Chen sama-sama mengincar gelar kedua dalam karier mereka di turnamen bulu tangkis internasional berhadiah. Ginting pertama kali juara di Singapore Open 2022 bulan Juli lalu. 

Sementara sudah sejak lama, Chou Tien Chen juara, di kejuaran kandang sendiri Taipei Terbuka 2016. Chou adalah pemain bulu tangkis Taipei pertama yang mampu meraih gelar juara di tunggal putra bagi Taipei sejak 1999.

Game ketiga Hylo Open 2022 di Saarbrucken itu sebenarnya sudah di genggaman Anthony Ginting sejak ia memimpin Championship Point, 20-17. Game pertama dan kedua, pemain-pemain ini sama kuat, Ginting kalah game pertama 18-21, dan menang di game kedua 21-11. 

Tinggal satu angka, menang sudah Anthony Ginting untuk meraih gelar juaranya yang kedua. Tetapi rupanya ketegangan malah merundung Ginting. Chou Tien Chen merangkak naik, mengejar ketinggalan 17-20, 20-20, bahkan situasi terbalik ketika Chou unggul dulu dan Championship Point 21-20. 

Ginting berhasil lolos dari cengkeraman Chou Tien, 21-21. Bahkan kembali Championship Point 22-21. Chou Tien berhasil terhindar dari kekalahan, dan menyamakan kedudukan 22-22.

Saat melakukan servis pada posisi 22-22 inilah terjadi drama tak diduga. Hakim servis mengatakan "service fault" pada Chou Tien yang tinggal dua pukulan ia juara. Kedudukan pun berbalik lagi, 23-22, dan bahkan 24-22 karena Chou Tien belum pulih dari kekecewaan. 

Chou Tien tidak hanya memprotes pada Chair Umpire di kursi tinggi. Tetapi juga mendatangi Hakim Servis. Dan juga ditengahi Wasit Kehormatan yang memasuki lapangan.

Pelatih Chou Tien berusaha meredakan amarah Chou Tien, dengan mengacungkan keempat ibu jari dan telunjuknya mengunjuk tanda membentuk hati. 

Chou Tien pun meneruskan permainan, dengan penuh kekecewaan. Pertandingan terhenti lebih dari semenit akibat protes Chou Tien, yang mengancam mogok meneruskan tanding.

Anthony Ginting yang diuntungkan dengan keputusan Hakim Servis pun tak menyianyiakan kesempatan emas, meraih dua angka terakhir dengan pukulan-pukulan tajam ke sisi Chou Tien Chen. Ginting pun juara. Chou Tien menyalami Chair Umpire dengan memalingkan muka...

Anthony Ginting/sha/inews
Anthony Ginting/sha/inews

Sistem Review

Chou Tien Chen sempat ngotot meminta untuk "replay" pada Chair Umpire ketika merasa dicurangi Hakim Garis. Tetapi, seperti kita tahu lah, di bulu tangkis sistem review, yang disebut sebagai Hawk Eye (mata elang) itu hanya untuk menentukan in, atau out, sebuah pukulan melalui tayangan mata elang. Bukan untuk melakukan replay, seperti yang terjadi di sepak bola jika terjadi dispute saat ada dugaan pelanggaran.

Di dunia sepak bola, sejak berkembangnya teknologi komputer, dikenalkan dengan alat bantu replay video di layar besar lapangan untuk memutuskan apakah gol sah atau tidak sah. Atau untuk menentukan perlu tendangan penalti dari titik putih, atau free kick dari luar kotak penalti. Atau untuk memastikan, pemain melakukan pelanggaran keras terhadap pemain lawan atau tidak, wasit perlu meminta agar diputar ulang (replay) adegan terakhir. Dan cara penghakiman melalui video itu di dunia sepak bola internasional dikenal sebagai Video Assistant Referee (VAR).

VAR ini jauh lebih menguntungkan bagi permainan, ketimbang Hawk Eye pada permainan bulu tangkis ataupun tenis, yang sekadar memutuskan apakah menurut rekaman komputer pukulan itu keluar atau masuk. 

Pada situasi kritis seperti keputusan Hakim Servis, untuk mengatakan service fault pada pemain yang dalam perjalanan untuk memenangkan pertandingan, keputusan itu tidak bisa diprotes. Apalagi, dalam aturan bulu tangkis, Chair Umpire tidak memiliki hak untuk melakukan overrule (mementahkan keputusan hakim lapangan).

Mau protes berbusa-busa pun, jika Hakim Servis mengatakan "fault" tidak bisa dilawan oleh wasit yang memimpin pertandingan. Itu memang sudah peraturan bakunya permainan bulu tangkis. Hakim servis memiliki wewenang mutlak untuk memutuskan, salah atau tidak salah seseorang melakukan pukulan servis. Terutama pada saat-saat kritis.

Icuk Sugiarto

Terlibatnya teknologi rekaman komputer, ataupun video replay ini memang merupakan salah satu jalan keluar terbaik, untuk mengatasi jika terjadi dispute di lapangan pertandingan, baik itu di sepak bola, ataupun di bulu tangkis, tenis dan cabang lain.

Pengalaman terpahit pernah dialami Indonesia ketika dulu belum ada teknologi Hawk Eye seperti itu. Di Asian Games 1986 Seoul, Icuk Sugiarto pemain terbaik Indonesia saat itu, memaksa diri mogok main dan tak mau meneruskan pertandingan di perempat final perseorangan melawan andalan tuan rumah, Park Sung-Bae, gara-gara terus-menerus "dicurangi" hakim garis tuan rumah.

Saya melihat langsung pertarungan Icuk itu di Seoul bersama wartawan-wartawan Indonesia lain. Di depan mata banyak ofisial Indonesia, serta pengurus-pengurus KONI Pusat yang menonton pertandingan Icuk Sugiarto saat itu, hakim-hakim garis bulu tangkis Asian Games dari tuan rumah benar-benar nekad. 

Icuk sampai perlu berhenti main, setelah sebuah shuttle-cock Park Sung-Bae yang jelas-jelas jauh di belakang lapangan, kurang lebih hampir setengah meter, dinyatakan "in" oleh Hakim Garis. Para pendukung Indonesia pun meneriakkan "buuuuu...." keras sekali. Menderu. Tetapi toh Hakim Garis Korea bergeming.

"Saya nggak tahan lagi mas, sudah keterlaluan...," kata Icuk Sugiarto, ketika ditanya alasannya mogok bermain lawan Park Sung-Bae di nomor perseorangan perempat final ketika itu. Dan memang, bulu tangkis Indonesia di Asian Games 1986 waktu itu keok petok-petok lawan Korea Selatan, karena banyak dicurangi oleh Hakim Garis. 

Di kejuaraan beregu, Icuk dan kawan-kawan tumbang di semifinal lawan Korea Selatan, 2-3. Demikian juga di perseorangan. Andalan-andalan Indonesia waktu itu, Liem Swie King/Bobby Ertanto tumbang di semifinal. Juga andalan ganda putri Rosiana Tendean/Imelda Kurniawan, disingkirkan pasangan Korea Kim Yun-Ja/Sang Hee-yoo di semifinal. Diwarnai kecurangan.

Mau tak mau Indonesia waktu itu menelan pil pahit. Tradisi emas yang selalu dicatat cabang bulu tangkis di berbagai kejuaraan multi-event, baik regional Asia Tenggara maupun Asia, pun runtuh sudah. Coba waktu itu sudah ada penghakiman dengan cara Hawk Eye, atau replay rekaman komputer. Bulu Tangkis Indonesia tidak akan segagal itu di Asian Games 1986 Seoul... *

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun