Ojong memang orang yang berpendirian teguh. Tak kenal kompromi terhadap segala bentuk penyelewengan. Ia juga membenci tindakan represif pemerintah, apalagi ia juga pernah mengalami aksi represif seperti itu saat pemerintahan Presiden Soekarno. Mingguan yang dipimpinnya, Star Weekly dibreidel (7 Oktober 1961), juga sebelumnya koran Keng Po miliknya (1 Agustus 1957).
Jakob Oetama berpandangan berbeda. Menurut Jakob, "Mayat hanya bisa dikenang, tetapi tidak akan mungkin diajak berjuang. Perjuangan masih panjang dan membutuhkan sarana, di antaranya melalui media massa...," kata Jakob Oetama pula.
Sikap Ojong terlalu teguh, memegang prinsip tanpa kompromi, sehingga ia menolak permintaan penguasa Orde Baru untuk meminta maaf dan berjanji setia pada yang diminta penguasa Soeharto. Karena buntu, maka Jakob pun mengambil alih tanggung jawab, bersedia menandatangani persoalan, maju ke depan, siap memikul risiko dan menandatangani prenyataan maaf serta janji tertulis dengan Soeharto.
"Tanda tangan ini basa-basi saja. Tidak akan berlaku seumur hidup," kata Jakob Oetama menerangkan pilihannya tersebut pada PK Ojong. Tentang berbagai sikap Jakob Oetama ini dimuat dalam bukunya, "Syukur Tiada Akhir" Jejak Langkah Jakob Oetama (St Sularto, Penerbit Buku Kompas 2011)
Dan dalam Tajuk Rencananya, ketika Kompas terbit kembali pada 6 Februari 1978, Jakob Oetama pun menulis:
"... Dengan gagah berani dan benar, orang bisa bilang, manusia hidup tidak hanya dari roti. Namun ada ungkapan yang sama benarnya: orang perlu hidup lebih dulu, untuk bisa berfilsafat,"
Jakob Oetama tetap meyakini bahwa keputusan untuk menandatangani permintaan maaf pada Soeharto itu sudah tepat, dan bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis. Melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara, tetapi lentur dalam cara. Prinsip yang tak lepas dari pribadi Jakob Oetama sendiri, yang berasal dari kultur Jawa.
Kees de Jong, dari Universitas Nijmegen, dalam disertasinya tentang Kompas (1990) menemukan bahwa filsafat Humanisme Transendental merupakan pandangan hidup surat kabar Kompas. Yang intinya, manusia seyogianya banyak menenggang rasa, karena setiap manusia bisa berbuat salah. Tidak ada malaikat di dunia ini. Manusia amatlah kecil dibandingkan kebesaran Tuhan. Manusia memiliki keagungan sekaligus kekerdilan. Kalau menunjuk pada kekurangan, amatlah banyak kekurangan setiap orang. Tetapi setiap orang niscaya ada baiknya.
Sampai meninggal (9 September 2020), Jakob Oetama yakin bahwa keputusan untuk menandatangani pernyataan minta maaf dan setia kepada pemerintahaan Soeharto itu sudah tepat. Itu menurutnya bukan suatu tindakan menjual diri atau kompromis. Melainkan bentuk dari prinsip teguh dalam perkara tetapi lentur dalam cara.
Prinsip dan cara Jakob dalam menghadapi setiap masalah seperti ini mungkin tak lepas dari kulturnya sebagai orang Jawa, dan pernah mengikuti pendidikan di Seminari selama beberapa tahun. Prinsip sebagai pedoman kerja tersebut telah dikembangkan sejak Kompas lahir.
Kalimat-kalimat "Tiada Malaikat di dunia ini" menghujam dalam hati sanubari Jakob, tidak lagi sebagai slogan atau tag line, tetapi dihidupi dan menjadi nilai-nilai kemanusiaan yang senantiasa dia sampaikan dalam berbagai kesempatan dan tulisan. Tiada Malaikat di Dunia ini. Keagungan dan kekerdilan manusia. Itulah hanya sekian dari puluhan kalimat-kalimat kunci dan kata-kata mutiara yang dia coba sampaikan agar menjadi milik diri setiap wartawannya dalam bekerja menggeluti aktivitas jurnalistik.