Dewan Mahasiswa (DM) dan Senat Mahasiswa (SM) dari berbagai daerah itu, intinya mengungkapkan apa yang mereka sebut sebagai "koreksi nasional" terhadap situasi dan kondisi Indonesia saat itu. "Kenyataan yang ada sekarang ini masih jauh dari jangkauan cita-cita proklamasi, karena terjadi penyelewengan-penyelewengan dan pengebirian konstitusi...," itu bunyi 'koreksi nasional' terkeras yang disuarakan oleh kelompok mahasiswa di Semarang, yang terdiri dari DM/SM Universitas Diponegoro, IAIN, IKIP, ITKS, AKFARM, AKPELNI dan Unisula dipimpin oleh Udji Sajono Berchmans.
Di Kampus Trisakti Jakarta, tuntutan para mahasiswa juga tak kurang keras. Dewan Mahasiswa Trisakti menyampaikan tiga tuntutannya pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) agar merealisasi Ikrar Mahasiswa 28 Oktober 1977, menolak sistem pencalonan tunggal Presiden Soeharto melalui dan yang ketiga meminta agar ABRI dan rakyat bersama-sama berjuang menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan UUD'45 dan Pancasila secara murni dan konsekuen.
Di Universitas Indonesia, menurut Kompas (20/01/78) itu juga dilangsungkan dialog di antara ratusan mahasiswa. Ketua DM UI Lukman Hakim bahkan mengatakan dalam pidatonya, bahwa masyarakat Indonesia saat ini tengah dihinggapi penyakit "Empat K" yakni Kebodohan, Ketakutan, Kemiskinan dan Korupsi.
Senada dengan mahasiswa-mahasiswa Trisakti, suara dari mahasiswa-mahasiswa UI ini juga menyerukan, agar menolak dicalonkannya kembali Soeharto, menuntut diubahnya mekanisme pemilihan Presiden melalui fraksi di MPR.
Mahasiswa-mahasiswa Surabaya, menyatakan mendukung "pernyataan sikap mahasiswa ITB". Sehari sebelumnya, Ketua DM ITB Heri Akhmadi bahkan sudah membagikan "Buku Putih" kepada pejabat-pejabat dan anggota-anggota masyarakat yang isinya mengungkapkan berbagai "kebobrokan dan ketimpangan jalannya pemerintahan".
"Perjuangan mahasiswa tak hanya terbatas sampai bulan Maret saja," ungkap Heri Akhmadi, "Oposisi kita bukanlah untuk menjatuhkan atau menghancurkan pemerintahan. Melainkan untuk mengusahakan perbaikan...," katanya.
Sedemikian solid dan satu hatinya aksi unjuk perasaan mahasiswa dari seantero daerah yang diberitakan Kompas di halaman satu, pada 20 Januari 1978 itu, menyebabkan malam harinya telpon pun berdering di Redaksi Kompas dari Kepala Penerangan Laksusda (Pelaksana Khusus Daerah) Jaya. Berdasarkan "instruksi atasan" dan atas pertanggungjawaban lembaga Kopkamtib, Kompas pun dilarang terbit mulai 21 Januari 1978.
Tetap lakukan Liputan
Pagi harinya, 21 Januari 1978, hampir tiada anggota Redaksi Kompas yang tak hadir di kantor. Pak Jakob Oetama pun dikerubungi seluruh wartawan.
Selain mendengarkan laporan dari lapangan, seperti Mas St Sularto yang sehari-hari meliput kegiatan mahasiswa, juga tukar pikiran berlangsung spontan dalam kerumunan Redaksi pagi itu. Pak Jakob, seperti biasa, selalu menunjukkan sikap bijaknya.
"Wartawan, you semua tetap melaksanakan tugas, meskipun tidak diterbitkan. Terus memantau perkembangan lapangan...," kata Pak Jakob, di depan seluruh Redaktur dan juga wartawan lapangan yang berkerumun di ruang redaksi, mengelilingi Pak Jakob. Diselang-seling gelak dan celetukan, "rapat akbar darurat" di ruang redaksi sembari berdiri itupun berlangsung lama.
Suasana umum di kalangan wartawan hari itu, tidak memancarkan kekawatiran bagaimana jika "dilarang terbit ini seterusnya terjadi". Sama sekali tidak. Malah pada bercanda. Dan meja-meja kerja, tempat mesin ketik bergelimpangan pun di sana-sini berubah menjadi "meja permainan". Ada yang main gaple, main catur, bahkan juga main karambol di atas meja kerja. Saya membawa gitar klasik, dan beberapa teman pun memainkan petikan gitar di ruang kerja.