Tentang penetapan apakah pusaka yang dikembalikan ke Indonesia itu benar-benar Kiai Naga Siluman atau bukan? Itu melalui proses penelitian panjang dan verifikasi dokumen-dokumen lama menyangkut keris pusaka tersebut di Belanda. Dan setelah diverifikasikan dengan pihak tim peneliti dari Indonesia, barulah keris yang diduga Kiai Naga Siluman itu dikembalikan ke Indonesia.
“Karena saya sejarawan, kesimpulan yang saya ambil tentunya berdasarkan keabsahan dokumen pendukung, serta pengamatan obyektif bendanya. Di antara tim verifikasi terakhir, hanya saya yang diperbolehkan memegangnya dan mengamatinya langsung,” ungkap Prof Sri Margana, sejarawan dari Universitas Gadjah Mada salah satu anggota tim verifikator yang berangkat ke Belanda, untuk memastikan berbagai dokumen formal serta melakukan pengamatan akhir atau pusaka milik Diponegoro tersebut. (Kutipan Prof Margana di atas, saya dapat ketika saya ikut dalam pertemuan Prof Margana dengan kalangan Komunitas Keris Lar Gangsir di Yogyakarta pada 11 Maret 2020 silam).
Secara formal, berdasarkan penegasan tim verifikasi terakhir dari Indonesia sebulan sebelum keris pusaka tersebut resmi dibawa kembali oleh Dubes Indonesia untuk Belanda 4 Maret 2020 lalu, keris berlekuk (luk) 11 dengan gandhik berhias relief Naga itu dinyatakan sebagai keris “Kiai Naga Siluman” milik Pangeran Diponegoro. Keris simbolik perjuangan sang Pangeran, yang pernah diserahkan pada penguasa kolonial Kumpeni saat berakhir Perang Jawa pada 1830.
Memang, verifikasi ada perbedaan pendapat antara Prof Margana dan tim verifikatornya, dengan kalangan perkerisan nasional lantaran beberapa hal. Menurut kalangan perkerisan, keris yang diduga Kanjeng Kiai Naga Siluman dan dikembalikan ke Tanah Air ini memang benar, berelief naga dengan tinatah emas. Namun keris yang dikembalikan ini memiliki luk 11. Sedangkan menurut catatan dari pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman, keris Naga Siluman yang dilihatnya di Belanda pada 1831 itu “berlekuk 13”.
Kalangan perkerisan nasional juga berpendapat, bahwa yang dikembalikan ini adalah bukan “keris berdapur Naga Siluman” akan tetapi dhapur Nagasasra luk 11. Bukan luk 13.
Tentang penamaan “Naga Siluman” memang masih ada kemungkinan, bahwa Diponegoro dulu menamakan keris tersebut berdasar keinginan hati dia saat ia bertapa di gua-gua Pantai Selatan, yang disebut-sebut sebagai “tempat-tempat seluman” itu. Maka, Nagasasra itu ia namai sebagai Kiai Naga Seluman. Bukan berdasarkan detail dhapur (model), bahwa keris Naga Siluman menurut “pakem” keris adalah keris luk tiga belas, berhias kepala naga di bagian gandhik, dengan badan naga menghilang di tengah bilah. Badan naga tidak terlihat sampai ke pucuk bilah seperti dhapur Nagasasra.
Empat tim peneliti
Menurut Prof Margana dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta, sejak 1984, Belanda sudah melibatkan empat tim ahli untuk menelusuri keris Naga Siluman milik Pangeran Dipoonegoro ini.
Tim peneliti pertama dipimpini Pieter Pott, Kepala Kurator Museum Volkenkunde Leiden. Mengapa perlu dilakukan penelitian? Karena menurut Prof Margana, tahun 1977 sudah dikembalikan barang-barang milik Pangeran Diponegoro yang berupa pelana kuda serta tombak Kiai Rondhan milik sang pangeran.
Kesimpulan tim Pieter Pott, mereka menemukan keris yang menurut mereka adalah milik Pangeran Diponegoro dari raja Kesultanan Yogyakarta, Hamengku Buwana (HB) V yang diserahkan pada Belanda melalui Kolonel jan-Baptist Cleerens, utusan panglima militer Hindia Belanda, Letnan Gubernur Jendral Hendrik Merkus Baron van De Kock.