Hampir dua abad keris pusaka Naga Siluman milik Pangeran Diponegoro ini berada di Belanda sejak berakhirnya Perang Jawa 1830. Setidaknya ada tiga keris dan tujuh tombak yang disita pasukan kolonial Kumpeni Belanda, ketika Perang Diponegoro yang meletus sejak 1825 berakhir lima tahun kemudian.
Salah satu pusaka Diponegoro yang hilang diambil pejabat kolonial dan dibawa ke Belanda, adalah Kanjeng Kiai Naga Siluman.
Selain penampilannya termasuk mewah, memiliki ornamen tinatah emas (dihias, ditatah ukiran emas) di sekujur badan bilahnya, selongsong atau pendhok yang melapisi warangka pun setidaknya suasa. Keris Naga Siluman ini juga dipercaya oleh penguasa kolonial sebagai simbol kekuasaan Sang Pangeran yang membangkang.
Direbutnya pusaka tersebut, seolah menjadi simbol ditumpasnya kekuasaan dan kewibawaan Pangeran Diponegoro yang sulit ditundukkan, selain karena bergerilya berpindah tempat dari hutan ke hutan, juga Diponegoro didukung luas oleh rakyat pendukung fanatiknya.
Keris Naga Siluman, menurut journal (catatan) petugas kolonial Lettu Knoerle diserahkan pada pihak Belanda oleh Diponegoro pada 27 Mei 1830. Catatannya sebagai berikut:
Sore ini (27 Mei 1830) pukul enam, Diponegoro menyerahkan kepada saya sebilah keris yang indah dan mahal sambil mengatakan: “Lihat inilah pusaka ayah saya yang sekarang menjadi sahabat Allah, keris ini telah menjadi pusaka selama bertahun-tahun. Ketika ayah saya, Sultan Raja (Hamengku Buwana III) bermaksud menyerahkan tanda ketaatan kepada Marsekal (Daendels) ia memberikan keris yang sama kepadanya. Marsekal (Daendels) mengembalikan keris ini karena ia tahu, keris itu adalah pusaka keramat dan bahwa ayah saya adalah sahabat sejati Belanda,” (Peter Carey, Kuasa Ramalan 2017: 970).
Lalu dikemanakan keris pusaka pemberian sang ayah, HB III, yang ‘disita’ Belanda dari tangan Diponegoro itu? Menurut sejarawan Peter Carey, keris itu “disimpan di Kabinet Kerajaan (Belanda) untuk Barang Antik atau Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden) di Den Haag.
Bentuknya seperti apa? Pelukis asal Indonesia, Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880) pernah melihat dan bahkan diberi tugas untuk menuliskan laporan tentang keris tersebut saat ia di Belanda pada bulan Januari 1831 atau setahun setelah pusaka tersebut disita Kumpeni Belanda.
Laporan Raden Saleh, yang merinci deskripsi Kiai Naga Siluman itu menyerahkan laporan itu pada direktur Kabinet yang bernama RP van de Kasteele. Kiai Naga Siluman disimpan di Kabinet Belanda, setelah diserahkan pada Raja Willem I yang bertahta 1813-1840. (Krauss 2005: 280).
Kabinet yang dimaksud di atas bukanlah “kabinet pemerintahan” atau susunan menteri, akan tetapi maksudnya adalah “rak tempat penyimpanan benda-benda antik dan bersejarah milik raja”.